"Tapi ... jika Feby kembali, maka kerjaan mu akan bertambah dua kali lipat, Fahri. Kamu mengerti bukan apa yang aku maksud?"
Sambil mengangguk pelan, Fahri berucap. "Iya, tuan Viar. Saya tahu apa yang tuan maksudkan. Saya akan lakukan tugas dengan sangat baik."
Ya. Feby adalah anak manja. Anak yang dimanjakan oleh mama tiri Viar. Karena terlalu dimanjakan, dia jadi sedikit sulit untuk dikontrol. Dia selalu berbuat sesuka hatinya. Berkata sesuai yang hatinya inginkan tanpa memikir akibat dari apa yang ia katakan.
Viar kurang menyukai Feby karena sikapnya yang Viar anggap sangat buruk. Meskipun begitu, Viar tidak bisa membenci adik perempuan satu papanya itu.
Kedatangan Feby pasti akan menimbulkan masalah bagi Viar. Tidak hanya masalah untuk urusan pribadi, tapi untuk urusan pekerjaannya juga. Feby pasti akan bertindak sesuka hati. Sesuai dengan yang ia inginkan. Karena itu, Viar mewanti-wanti Fahri agar bekerja ekstra nantinya. Karena ia tidak ingin, Feby merusak semua yang ia punya.
*
"Bi, bagaimana dengan perasaanmu sekarang? Apa kamu sudah mulai terbiasa tinggal di vila ku setelah lima hari berlalu?"
Pertanyaan Viar membuat Bia yang sedang duduk di tepi kolam menoleh seketika. Sejak ia tinggal di rumah ini, dirinya memang sangat menyukai tempat tersebut. Tepi kolam ikan di bawah pohon yang rindang. Sungguh tempat yang paling menenangkan hati.
"Mas Viar. Aku ... merasa cukup terbiasa sekarang. Hampir semua penghuni vila ini terasa sangat bersahabat. Aku bisa merasakan punya teman saat tinggal di vila ini."
"Hampir semua? Katakan padaku, siapa yang tidak bersahabat dengan kamu di vila ini. Biar aku tahu yang mana orangnya."
Bia tidak langsung menjawab. Dia menatap lekat ke arah Viar selama beberapa detik. Lalu, dengan cepat ia alihkan pandangannya dari Viar.
"He ... tidak ada. Aku hanya asal bicara. Lagian, tidak mudah juga untuk aku atau untuk orang lain akrab dalam waktu singkat, Mas. Ya ... jadi wajarlah kalau aku bicara barusan."
"Siapa, Bia? Katakan saja langsung jika ada yang sudah membuat kamu merasa tidak nyaman di sini."
"Mas Viar. Nggak ada kok."
"Bia. Aku bisa baca pikiran orang lain lho. Jadi, jangan bohong. Karena aku tahu dengan mudahnya kebohongan yang orang lain sembunyikan dari aku."
Bia terdiam. Kembali, matanya melirik cepat Viar yang saat ini sudah ikut-ikutan duduk di tepi kolam bersama dengannya.
"Janji jangan marah."
"Iya aku janji."
"Itu ... Fahri. Dia sepertinya tidak suka akan kehadiranku di sini. Terbukti dari pertama kali aku datang, dia terus seperti menganggap aku tidak ada," ucap Bia dengan jujur.
Bia bukannya ingin mengadu domba antara Viar dengan Fahri. Hanya saja, dia hanya sedang berusaha jujur dengan apa yang sedang ia rasakan.
Sejak ia datang, Fahri memang tidak pernah menyapa dia barang sekalipun. Jangankan menyapa, tersenyum untuk satu kali saja tidak pernah. Dia hanya Fahri anggap angin yang tidak terlihat. Walau sudah berpas-pasan pun, Fahri tetap tidak pernah menyapanya.
Bukannya kesal atau marah, Viar malah tersenyum setelah mendengar penuturan Bia akan Fahri. Bia yang awalnya merasa sangat bersalah dan tidak enak hati, kini malah memberikan tatapan bingung ke arah Viar.
"Ya Tuhan, Bia. Kenapa patung itu yang kamu permasalahkan? Dia memang tidak punya ekspresi sebagai makhluk hidup. Jangankan ingin disebut manusia, di sebut robot saja tidak bisa. Karena robot masih bisa mengeluarkan ekspresi sesuai yang kita inginkan. Tapi Fahri, dia lebih tepat di sebut patung. Karena sulit sekali untuk melihat ekspresi dari wajahnya."
Mendengar itu, Bia bukannya senang, tapi malah merasa semakin tidak nyaman. Wajahnya terlihat sekalu kalau dia tidak suka akan apa yang Viar bahas barusan.
Viar yang sadar akan hal itu, segera mengalihkan pandangannya ke depan. Wajah serius pun ia perlihatkan saat ini.
"Jangan ambil pusing tentang Fahri. Selama ia bekerja denganku, aku juga tidak ingat kapan dia bersikap hangat terhadapku. Dia hanya bersikap datar sejak pertama datang, hingga saat ini."
"Yang Fahri tau hanyalah, melakukan tugas yang aku berikan kepadanya dengan sebaik mungkin. Dia hanya pandai menjadi bawahan yang baik. Tapi tidak dengan menjadi teman. Karena dia tidak tahu apa itu yang di namakan kehangatan."
"Mas Viar ... ternyata cukup kenal Fahri dengan baik ya. Sepertinya, semua tentang Fahri, mas Viar ketahui. Bisa aku tahu, sejak kapan mas Viar bekerja sama dengan Fahri?"
"Sejak dia masih berusia lima belas tahun."
Dengan wajah tak percaya, Bia menoleh ke arah Viar. "Lima belas tahun?"
"Iya. Lima belas tahun, Bi."
"Ceritanya panjang. Sulit untuk aku ceritakan padamu. Tapi yang jelas, aku tidak menganggap Fahri sebagai bawahan lagi sekarang. Melainkan, sebagai adik kandungku sendiri."
Bia mengangguk pelan. Satu lagi kekaguman akan Viar yang sebelumnya di anggap monster oleh orang luar. Ternyata, Viar itu sangat lembut hatinya. Sangat jauh dari apa yang orang katakan.
'Pantas saja Fahri bisa bersikap acuh terhadap siapapun di rumah ini. Ternyata, dia sudah sangat lama mengenal mas Viar.'
Obrolan Viar dan Bia terus berlanjut. Sepertinya, waktu lima hari adalah waktu yang panjang untuk menyatukan mereka berdua. Terbukti, keduanya sudah bisa cukup akrab meski hanya baru lima hari bersama.
"Oh iya, Bi. Lusa, nenek ku akan datang bersama adik tiri ku. Sepertinya, mulai besok kamu harus memindahkan barang-barang mu ke kamarku. Karena kita harus mulai bersandiwara jika nenek tiba di sini."
Bia mengerti apa yang Viar katakan. Karena sebelumnya, mereka juga sudah membahas soal nenek yang akan datang ke kediaman tersebut. Juga, mereka sudah membahas prihal hubungan pernikahan itu berjalan setelah kedatangan nenek.
Meskipun akan terasa sangat amat canggung bagi Bia nantinya. Tapi tetap saja, dia harus menjalani peran sebagai istri dengan sangat baik di hadapan nenek Viar. Karena kesepakatan pernikahan mereka memang ini. Untuk bersandiwara sebagai pasangan yang saling mencintai di depan keluarga Viar.
"Kamu mengerti, kan Bi dengan apa yang aku katakan barusan?"
"Iya, Mas. Aku mengerti."
"Baguslah kalau begitu. Tapi, aku rasa, akting kita nanti tidak akan sulit. Karena sekarang, kamu juga sudah terbiasa dengan panggilan mas padaku."
Bia pun baru menyadari kenapa Viar bersikeras meminta ia memanggil dengan sebutan 'Mas. Ternyata, untuk membiasakan diri Bia agar tidak canggung saat nenek ada di kediaman mereka nanti.
"Jadi ... panggilan itu untuk saat ini?"
"Iya ... bisa dikatakan begitu, Bi. Tapi, sejujurnya aku memang suka mendengar panggilan itu."
Keduanya pun saling diam sambil menikmati udara sore yang hangat. Waktu bersama di rumah ini memang belum terlalu lama. Tapi, Bia bisa langsung merasa nyaman dengan suasana dan keberadaan Viar. Pria yang awalnya sangat ia takuti sebelum bertemu secara langsung.
___________________________________________
*Catatan kecil.
"Mohon maaf untuk telat up dua hari. Jaringan daerah aku lagi ngga baik-baik saja. Mohon doa biar kembali normal ya man teman. Biar ngga telat-telat lagi. Huhuhu ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Eric ardy Yahya
si Febby sama Siska ini anak manja ya . pantas saja Viar-Salbia Pusing menghadapi 2 orang yang tidak tau diri seperti mereka.
2024-01-27
0
ciru
cuakeep. ceritanya makin menarik
2023-11-24
0