11

Keduanya pun saling diam sambil menikmati udara sore yang hangat. Waktu bersama di rumah ini memang belum terlalu lama. Tapi, Bia bisa langsung merasa nyaman dengan suasana dan keberadaan Viar. Pria yang awalnya sangat ia takuti sebelum bertemu secara langsung.

Kabar burung memang tidak selamanya benar. Juga, tidak selamanya salah. Tapi, alangkah baiknya jika jangan langsung mempercayai kabar itu dengan sepenuh hati. Seperti halnya Bia saat ini. Dia baru menyadari kalau tebakan tentang Viar itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang saat ini ia terima. Viar itu ternyata pria yang hangat. Jadi, sangat mudah untuk Bia merasa nyaman ketika berada di dekatnya.

*

Hari yang di nantikan akhirnya tiba. Nenek Viar pulang ke tanah air bersama cucu perempuannya. Feby Adimartha.

Mobil yang membawa nenek Viar tiba di depan rumah. Dengan wajah kurang nyaman, Viar menyambut kedatangan nenek beserta adik tirinya di depan rumah bersama para pelayan dan juga Bia.

"Nenek."

"Ya ampun, dasar cucu tidak punya sopan santun kamu, Vi. Bisa-bisanya kamu tidak datang ke bandara buat jemput nenek. Nggak suka kamu ya, kalau nenek pulang ke sini?"

Baru juga bertemu, Viar sudah langsung kena semprot aja. Hal itu membuat Viar menarik napas dengan kasar.

"Kan nenek sendiri yang bilang kalau aku tidak perlu jemput nenek ke bandara lagi. Nenek akan datang sendiri ke rumah. Cukup tunggu di rumah saja nenek bilang."

"Ya kamu jadi pria kok nggak peka banget sih, Viar. Kalau nenek bilang begitu, artinya, nenek mau kamu jemput ke bandara. Bukan beneran tunggu di rumah. Dasar cucu nggak punya perasaan."

Si nenek malah memukul manja Viar dengan tas yang ada di tanagnnya. Membuat Viar berusaha menghindar dengan cepat.

"Ee ... nenek nggak bisa seperti ini padaku. Nggak boleh begini lah. Kan, yang tau seperti apa aku itu nenek. Jadi, kenapa main pakai perasaan segala. Udah tahu aku nggak peka, kenapa pula nenek malah uji aku. Ya kan begini jadinya."

"Eh ... cucu kurang ajar. Malah ngejawab kamu ya." Nenek semakin gencar buat memukul Viar. Hingga Viar kewalahan.

"Ampun, Nek. Ampun. Jangan pukul lagi. Aku ngaku salah. Tolong, jangan pukul lagi, nenek."

"Makan tuh! Biar tahu rasa kamu, Vi. Nggak peka. Cucu tega."

Pemandangan itu perlahan membuat buliran bening di mata Bia jatuh begitu saja. Rasa haru membuatnya tidak bisa menahan air mata agar tidak jatuh. Rasa rindu yang menyeruak dalam hati Bia saat melihat kedekatan nenek dengan Viar. Salbia tiba-tiba ingin merasakan kehangatan keluarga yang selama ini tidak pernah ia rasakan setelah ia berusia delapan tahun.

"Nona Salbia. Kenapa nona malah menangis?"

Satu pertanyaan dari seorang pelayan yang melihat Bia sedang menyeka air mata membuat semua perhatian terpusatkan ke arah Bia. Tapi, tepat di saat itupula, mobil yang membawa Feby sampai di depan pintu vila Viar.

Nenek yang tertegun, masih belum sempat berucap satu patah katapun untuk Bia. Tapi Feby yang baru tiba, langsung menatap Bia dengan tatapan tajam. Tak lupa, sebuah nama seketika meluncur dengan sempurna dari mulut Feby.

"Meisya!"

"Meisya. Kamu .... "

Belum sempat Feby menyelesaikan apa yang ingin ia katakan, dengan cepat Viar menghadangnya. "Nenek. Dia Salbia. Istri Viar yang nenek ingin sekali temui."

Nenek tidak menjawab. Namun, gerakan perlahan tapi pasti, si nenek berjalan untuk menghampiri Bia yang masih terpaku akan keadaan yang membuatnya banyak berpikir.

"Sal-- bia." Nenek memanggil dengan suara pelan sambil menjatuhkan sentuhan ke bahu Bia yang sedikit kurus.

"Iy-- iya, Nek. Namaku, Salbia."

"Aish. Maafkan aku yang sibuk dengan cucuku sebelumnya. Padahal, tujuan utamaku datang ke tanah air hanya untuk bertemu istri dari cucuku secara langsung. Maaf, Salbia. Barusan, aku sudah mengabaikan mu sehingga kamu menangis."

Bia membalas ucapan itu dengan senyum manis. "Gak papa, Nenek. Tidak perlu minta maaf. Aku menangis bukan karena diabaikan. Tapi, karena aku terharu akan kehangatan keluarga yang aku lihat tadi."

"Dan seharusnya, akulah yang harus minta maaf. Karena aku, kehangatan itu berubah seketika." Bia berucap dengan nada penuh sesal.

"Ya ampun, cucuku. Kamu tidak salah. Jadi, jangan minta maaf ya."

"Ya sudah, nenek. Ayo masuk ke dalam. Kita lanjutkan di dalam saja yah. Nggak enak terlalu lama ngobrol di luar."

"Jangan ganggu, Vi. Ada aja ini cucu satu. Nggak bisa lihat neneknya senang."

"Ayo, sayang! Kita masuk ke dalam." Nenek malah menarik Bia untuk masuk berbarengan dengannya. Sementara Viar, ia tinggalkan begitu saja.

Setelah nenek dan Bia beranjak, Viar juga ingin mengikuti langkah keduanya sambil tersenyum lebar. Namun, dengan cepat tangannya di tahan oleh Feby.

"Tunggu, kak Viar!"

"Apa?" Dengan galaknya, Viar melontarkan kata sambil melirik Feby dengan garang.

"Jawab aku! Dia .... "

"Dia Salbia. Bukan Mesya, Feby."

"Dan, satu hal yang aku inginkan dari kamu, jangan pernah merusak hidupku lagi."

Ucapan itu mampu membuat Feby menatap sedih ke arah Viar. "Apakah kamu masih tidak bisa memaafkan aku, kak? Kamu tidak bisa menyayangi aku seperti .... "

"Cukup! Aku tidak akan pernah bisa menyayangi kamu karena sikapmu yang bikin aku muak. Kau memang adikku, Feby. Tapi bukan bearti, kamu bisa melakukan semua yang kamu inginkan terhadap aku. Terhadap hidupku, dan juga keluarga ini. Ingat itu!"

Feby terdiam. Kesedihan akan kata-kata Viar membuatnya sangat ingin menangis. Namun, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, kalau dia tidak akan terlihat cengeng lagi di depan kakak satu-satunya ini. Dia akan membuktikan, kalau dirinya, bukan Feby yang dulu lagi.

"Kak."

"Jangan ajak aku bicara. Dan jangan coba-coba kamu dekati Bia. Jika kamu tetap melakukannya, maka aku tidak akan punya kesabaran lagi untukmu, Feby."

"Bi Nunung. Antar nona Feby ke kamar!"

"Baik, tuan."

"Ayo, Non. Silahkan ikut bibi."

Dengan tatapan sedih, Feby melirik Viar sebelum ia beranjak meninggalkan Viar. Sebenarnya, Feby sangat ingin bergaul dengan keluarganya sekarang. Tidak ingin masuk ke kamar saat ini. Tapi, perintah Viar yang tidak pernah suka padanya sejak kejadian itu membuar dia tidak bisa menolak. Dia ingin menunjukkan, kalau Feby yang sekarang, bukan Feby yang pembangkang lagi. Melainkan, Feby yang penurut dan sangat patuh.

"Fahri. Terus awasi dia. Jangan sampai kita kecolongan akal bulusnya."

"Mengerti, tuan. Akan saya lakukan sesuai perintah, tuan."

"Mm."

Ketika Viar datang ke ruang keluarga, ia tersenyum melihat kedekatan antara neneknya dengan Bia. Hatinya mendadak hangat akan apa yang saat ini ada di depan mata.

'Mungkinkah, ini pilihan yang paling baik untuk aku?' Satu pertanyaan muncul dalam hati. Pertanyaan yang datang bersama dengan harapan besar.

Terpopuler

Comments

ciru

ciru

cakep

2023-11-24

0

Lisa Halik

Lisa Halik

sebenarnya mesiya itu sapa,di mana dia,juga apa kaitannya sama feby hinggakan viar marah/benci sekali sama feby

2023-11-17

1

Hari Dunddung

Hari Dunddung

sapa Mesya 🤔🤔🤔

2023-10-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!