16

Bia yang sejak tadi melihat semua perdebatan antara Viar dan Feby, lalu memilih untuk menghampiri Feby meski hatinya sendiri masih tak karuan. Tatapan iba ia berikan untuk Feby yang saat ini terus menangis di balik tangan yang ia tutup kan ke wajahnya.

Ingatan akan masa lalu di mana ia sering mengalami hal buruk, kini kembali tergambar dengan jelas. Dia yang di perlakukan tidak adil di rumah keluarga tirinya, membuat hati Bia tergugah untuk menenangkan Feby.

"Jangan menangis. Hidup memang tak mudah, Feby." Bia berucap sambil menyentuh pelan bahu Feby.

Tentu saja sentuhan itu langsung mengejutkan Feby. Dengan cepat, ia angkat wajahnya yang saat ini masih basah dengan air mata. Feby juga beringsut mundur untuk menjauhi Bia.

"Bia."

"Sejak kapan kamu ada di sini? Kenapa kamu bisa ada di sini sekarang?"

Pertanyaan dengan nada yang agak panik membuat Bia menatap lekat wajah Feby.

"Aku ... maaf, aku tidak sengaja mendengarkan perdebatan antara kamu dengan mas Viar. Karena itu, aku datang untuk melihat. Tapi, aku sadar, aku tidak berhak ikut campur urusan kalian kakak adik. Karena itu, aku memilih diam."

"Tapi tidak berniat untuk menguping juga. Karena setelah aku putuskan untuk pergi, eh ... malah mas Viar yang pergi duluan. Jadinya, aku langsung mengubah keputusan ingin pergi ku menjadi menghampiri kamu."

"Ayo, Feb! Bagun dulu," ucap Bia sambil mengulurkan tangannya.

Feby tidak langsung menyambut uluran tangan itu untuk kali ini. Dia malah melihat uluran tangan itu dengan tatapan lekat. Dalam hati, dia merasa kalau Bia memang semakin mirip Meisya. Hanya saja, umur keduanya yang cukup jauh berbeda.

Jika Meisya masih hidup, mungkin wajahnya sudah agak berubah. Tapi Bia yang saat ini, rasanya seperti Feby mengulang waktu saja. Mengulang kejadian pertemuan antara dirinya dengan kakak ipar yang sudah tidak akan pernah bisa ia lihat lagi di atas dunia ini.

"Feb, ayo!"

"Tidak. Jangan lagi bantu aku. Aku .... "

"Feby. Jangan marah padaku. Aku .... "

Feby benar-benar dibuat akan gila karena kata-kata Bia barusan. Karena kata-kata itu sama persis dengan apa yang Meisya ucapkan saat ingin membantu Feby untuk yang pertama kali. Bahkan, dia juga tahu apa kelanjutan kata-kata yang akan Bia ucapkan. Karena itu, dengan cepat ia menutup telinga karena tidak ingin merasa berada di waktu yang sama lagi sekarang.

"Tidak ...! Cukup! Jangan dilanjutkan!" Feby berteriak keras sambil terus menutup kedua telinganya. Dia benar-benar terlihat sangat memprihatinkan sekarang.

Bia yang mendengar teriakan itu tentu saja merasa sangat amat terkejut. Tapi, rasa iba yang semakin besar mampu mengalahkan rasa terkejut dengan cepat. Bia tidak menghiraukan teriakan Feby yang memintanya menjauh. Dia malahan semakin mendekat, memberikan pelukan hangat agar Feby bisa lebih tenang sekarang.

Viar yang lupa niat sebelumnya mencari Feby, kini memilih untuk menghampiri Feby kembali. Tapi, teriakan dari Feby barusan membuat Viar berlari dengan langkah besar agar segera tiba ke tempat di mana Feby berada sebelumnya.

Kebetulan yang sungguh tak terduga. Saat Viar tiba, Feby malah tengah mendorong Bia yang sedang berusaha menenangkan Feby. Hal itu tentu sangat amat membuat Viar muka. Dengan tatapan tajam. berapi-api, dia langsung menerkam Feby.

"Apa yang kau lakukan padanya! Kenapa kau juga ingin menyingkirkan dia dari aku! Kau tahu, sangat amat banyak hal yang aku lakukan untuk mendapatkan dia! Aku sudah berusaha keras baru bisa memiliki dia, Feby!"

Viar dengan suara keras berteriak ke arah Feby. Tak lupa, dua lengan adik tirinya ia cengkram dengan sangat keras pula. Sambil berucap, Viar mengguncang-guncang keras tubuh kurus itu. Bia yang melihat hal itu terpaku untuk beberapa saat lamanya. Sedangkan Feby, dia seakan sudah kehilangan kesadaran.

"Mas Viar. Apa yang kamu lakukan, Mas? Jangan sakiti dia. Aku mohon lepaskan tanganmu dari dia."

Ucapan Bia langsung menyadarkan Viar akan keberadaan Bia di dekatnya. Dengan cepat ia lepaskan tubuh Feby, lalu beralih menghampiri Bia dengan tatapan panik. Tak menunggu lama, dia langsung menarik Bia ke dalam pelukannya. Ia peluk tubuh itu dengan berlinangan air mata.

Bia yang menerima pelukan itu, tentu saja agak terkejut. Tapi, dia tidak mungkin menolak. Karena apa yang baru saja ia lihat, sungguh membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. Masih ada banyak hal yang dia tidak ketahui tentang Viar dan keluarganya. Karena itu, Bia tidak tahu harus memposisikan diri seperti apa sekarang.

"M-- mas Viar." Bia memberanikan diri membuka suara setelah beberapa saat berada dalam pelukan Viar. "Apa ... bisa kamu lepaskan pelukanmu dari aku?"

Terdengar dengusan pelan, tapi Viar menuruti apa yang Bia katakan. Pelukan erat langsung merenggang secara perlahan.

"Kamu gak papa, kan Bi? Gak ada yang terluka, bukan? Atau ... apakah ada yang sakit sekarang, Bia?"

"Mas, aku nggak terluka. Aku gak papa. Tapi Feby." Bia berucap sambil melihat ke arah Feby. Saat itu dia baru tahu kalau gadis itu sudah terbaring di bawah sana.

"Ya Tuhan, Feby kenapa, mas?" Dengan panik, Bia menghampiri tubuh yang sedang terkulai lemah tak sadarkan diri ini. Sementara Viar, ia masih melihat adik tirinya dengan tatapan datar alias tenang. Tidak ada wajah panik atau terkejut sedikitpun di wajah Viar saat ini.

"Ya Tuhan. Feby pingsan, Mas. Cepat bawa dia kembali ke rumah. Kasihan dia."

"Biarkan saja, Bi. Nanti juga dia akan kembali sendiri ke rumah setelah sadar."

Dengan tatapan tak percaya, Bia menatap Viar.

"Ya Tuhan, Mas. Kenapa kamu begitu tega terhadap adikmu sendiri."

"Dia pantas menerima perlakuan buruk dari aku, Bia."

"Mas. Aku memang tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan kalian di masa lalu. Tapi hati nurani ku sebagai manusia tidak bisa diam saja. Jika kamu tidak bersedia membawanya kembali, biar aku saja yang bawa."

Usai berucap, Bia langsung berusaha mengangkat Feby. Tentu saja Viar tidak akan membiarkan Bia kesulitan. Dengan cepat, meski dengan perasaan terpaksa, ia hampiri tubuh Feby yang terkulai lemah.

"Biar aku saja, Bi. Ini demi kamu, biar aku yang bawa dia kembali ke rumah."

Viar mengangkatnya dengan cepat, lalu membawa Feby kembali disusul Bia di belakangnya. Nenek langsung panik saat melihat Feby pingsan, dia pun kelabakan memanggil nama cucu perempuannya dengan suara sedih.

"Nenek tidak perlu menangis. Dia juga akan sadar dengan sendiri nantinya."

"Vi, kenapa seperti ini, nak? Kenapa kamu tidak merasa iba sedikitpun atas adikmu yang sedang pingsan ini."

"Rasa iba ku sudah mati untuk dia, Nek. Aku hanya punya rasa benci saja buat dia. Kenapa nenek bawa dia pulang? Padahal, nenek tahu aku dan dia tidak akan pernah bisa baikan seperti dulu lagi."

"Viar."

Terpopuler

Comments

ciru

ciru

cakep

2023-11-24

0

Elena Sirregar

Elena Sirregar

dendam itu tidak baik biar kasian Feby

2023-10-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!