"Aish! Beruntung dia masih tidur, jadi aku tidak akan merasa malu karena ketahuan tidur di dalam pelukannya. Dan, aku juga dapat bonus sekarang. Bonus menikmati pemandangan indah pagi-pagi." Bia berkata dengan suara pelan pada dirinya sendiri.
Ada hal yang Bia tidak ketahui. Sebenarnya, Viar sudah bagun sejak tadi. Malahan, Viar sudah duluan bangun sebelum Bia sadar dari tidurnya. Tapi, karena tidak ingin mengganggu tidur Bia, Viar malah berpura-pura masih tidur saat Salbia bangun.
Wajah tampan dari pria yang berjarak cukup jauh dari umurnya itu memang punya daya tarik tersendiri. Semakin dilihat, wajah itu semakin manis saja. Ditambah saat terlelap seperti ini, dan Salbia baru pertama kali melihatnya. Wajah itu tentu sangat luar biasa sampai membuat Bia lupa akan waktu.
"Apa aku terlalu tampan sampai kamu masih tetap diam di sampingku sekarang, Bi?"
Satu pertanyaan yang langsung membuat Bia terlonjak kaget. Sangking kagetnya, dia sampai sulit untuk bernapas dengan baik. Dengan cepat Bia bangun dari duduk, lalu beranjak meninggalkan kasur tanpa menjawab apa yang Viar tanyakan.
Hal itu membuat Viar tersenyum geli. Dengan senyum lebar, ia bangun dari baringnya. Masih bisa ia lihat Salbia yang berjalan sangat cepat untuk memasuki kamar mandi, lalu menutup kasar pintu kamar mandi tersebut.
"Salbia-Salbia." Viar berucap sambil menggelengkan kepalanya pelan. Senyuman kecil masih tetap melekat di bibirnya.
Sementara itu, di dalam kamar mandi, Bia sedang menyadarkan diri di daun pintu yang baru saja ia tutup. Dadanya masih berdegup kencang. Karena itu, satu tangan sedang ia letakkan ke atas dadanya.
"Ya Tuhan ... aduh ... kenapa aku bisa sangat amat ceroboh seperti barusan itu?"
"Harusnya, sudah aman diri ini jika aku langsung beranjak meninggalkan mas Viar setelah aku bangun tadi. Lah kenapa aku malah kalah dengan perasaan lagi dan lagi? Kenapa mata ini tidak bisa aku ajak kerja sama? Dasar wanita lemah kamu, Bia."
Salbia memejamkan matanya rapat-rapat. Bayangan wajah Viar malah terlihat dengan jelas bergentanyangan memenuhi pikirannya. Membuat dada Bia semakin bergemuruh hebat.
"Agh! Kenapa terus-terusan itu yang aku pikirkan?"
"Tapi ... itu juga bukan salah aku. Salah wajahnya yang sedikit tidak bersahabat dengan umurnya. Sekarang, aku jadi ragu kalau umurnya sudah sangat dewasa."
Bia terus saja sibuk dengan apa yang ia pikirkan. Sampai-sampai, dia lupa akan sudah berapa lama ia berada di kamar mandi tanpa melakukan apapun. Karena yang ada dalam pikiran Bia hanyalah wajah Viar saja.
Ketukan di pintu menyadarkan Bia akan apa yang sedang ia pikirkan. Dengan rasa cemas, dia membalikkan tubuhnya. Hanya untuk melihat pintu saja. Tidak untuk membukanya.
"Bi. Apa yang kamu lakukan di dalam? Kok nggak ada bunyi air sejak pertama masuk hingga sekarang? Kamu baik-baik saja, kan Bia?"
"A-- aku ... baik-baik saja, mas Viar. Aku ... sedang sakit perut. Ya, sakit perut ringan. Sebentar lagi juga selesai."
Bia terpaksa berbohong. Ingatan akan apa yang sudah terjadi sebelumnya membuat ia merasa tidak kuat untuk bertemu Viar. Ditambah lagi masalah baru yang ia ciptakan sekarang. Sungguh, dia sangat menyesali atas dirinya sendiri yang tidak bisa ia ****** dengan baik.
"Apa kamu butuh obat, Bi? Jika iya, aku akan siapkan."
"Nggak, mas. Nggak."
"Aku nggak butuh apapun. Aku hanya butuh waktu sedikit lebih lama saja di kamar mandi ini. Jadi, jika tidak keberatan, kamu terpaksa harus pakai kamar mandi yang lain dulu pagi ini."
Viar hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan saja. Karena dari suara yang dia dengar, ia tahu, Bia sedang berusaha untuk menghindar darinya. Bagaimana tidak? Bia sedang berada di depan daun pintu, suaranya terdengar sangat dekat. Karena itu Viar langsung bisa menebak, Bia baik-baik saja. Apa yang ia katakan soal sakit perutnya itu bohong.
'Semakin ke sini, kamu semakin mirip Meisya, Bi. Sikapmu, caramu menghindar, juga kebohongan yang kamu buat. Semuanya hampir sama persis. Aku jadi semakin bingung untuk membedakan, kamu itu Meisya ku atau memang perempuan lain.'
Viar berkata dalam hati sambil menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Satu tangannya saat ini sedang menyentuh pintu kamar mandi tersebut.
Ada rasa bahagia, juga rasa sedih yang bersarang di hati Viar. Karena sudah jelas, kalau Salbia dan Meisya itu adalah dua orang yang berbeda. Bagaimana bisa ia menganggap Bia adalah Meisya hanya karena sikap dan wajah mereka hampir sama persis.
Pada akhirnya, Viar memutuskan untuk membiarkan Bia melakukan apa yang ia inginkan dengan leluasa. Viar memilih meninggalkan Bia, lalu menggunakan kamar mandi yang lain.
Saat ia keluar dari kamar mandi dari kamar yang ada di samping kamarnya, dia berpas-pasan dengan nenek yang ingin menemui dirinya juga Bia. Tentu saja nenek langsung memberikan tatapan aneh untuk meminta penjelasan dari apa yang baru saja si nenek lihat.
"Kamu ... kok keluar dari kamar ini dengan handuk mandi mu, Vi. Jangan bilang kalau tadi malam kamu dan Bia tidur di kamar yang berbeda yah."
"Ya ampun, nenek. Ya nggaklah. Aku dan Bia itu pasangan suami istri yang sah. Kami tidak sedang bertengkar. Jadi, nggak mungkin kami tidur dengan kamar yang terpisah, Nek."
"Lalu, kenapa kamu keluar dari kamar ini dengan handuk mandi, Vi? Jelaskan pada nenek agar tidak ada salah paham dalam hati nenek lagi nantinya."
"Nenek ku sayang, semua ini gara-gara cucu nenek itu menggunakan kamar mandi terlalu lama. Jadi, aku nggak sanggup buat nunggu. Karena itu, aku terpaksa cari kamar mandi yang lain."
Penjelasan Viar ternyata bisa nenek terima dengan baik. Si nenek malah berpikiran yang berlebihan setelah mendengarkan penjelasan dari cucunya.
Sambil tersenyum, dia mencubit pinggang Viar yang tidak tertutup oleh handuk.
"Dasar anak nakal. Bisa-bisanya kamu tetap cari kebahagiaan tadi malam. Padahal, kalian tidur hampir tengah malam kan tadi malam itu."
"Uh ... tapi itu adalah hal bagus. Dengan begitu, aku akan bisa punya cicit dalam waktu dekat. Karena aku sudah semakin tua setiap harinya. Jadi, harapan terbesar ku adalah punya cicit dari kamu yang sudah sangat dewasa ini, Viar."
Tidak ada yang bisa Viar lakukan selain nyengir kuda tak enak. Bagaimanapun, sejak ia berusia dua puluh lima tahun, si nenek sudah menginginkan hal itu darinya. Tapi, sampai detik ini, hal itu masih belum bisa ia kabulkan.
"Ya sudah. Cepat siap-siap ya, Vi. Nenek tunggu di bawah untuk sarapan bersama."
"Iya, Nek."
Viar kembali ke kamar. Saat dia masuk, Bia sudah siap dengan pakaian santainya. Dia juga sudah memolesi wajahnya dengan bedak tipis dan sedikit lipstik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
ciru
cakeepp
2023-11-24
0
Elena Sirregar
meisya itu siapa nya Viar.
2023-10-14
1