"Rasa iba ku sudah mati untuk dia, Nek. Aku hanya punya rasa benci saja buat dia. Kenapa nenek bawa dia pulang? Padahal, nenek tahu aku dan dia tidak akan pernah bisa baikan seperti dulu lagi."
Setelah berucap kata-kata itu, Viar ingin segera meninggalkan kamar Feby. Tapi, dengan cepat nenek menahan langkah kaki itu supaya tidak pergi sekarang.
"Viar."
"Nek, aku belum bisa memaafkan dia. Jadi, jangan paksa aku untuk bersikap baik padanya."
Nenek tidak lagi bisa berucap. Hanya tatapan sedih saja yang bisa nenek perlihatkan. Sejujurnya, ia sangat rindu akan masa-masa di mana Viar dan Feby bersama sebagai satu keluarga. Tapi sepertinya, masa itu mungkin tidak akan pernah terulang lagi. Buktinya saja sekarang, sudah bertahun-tahun kejadian itu berlalu. Tapi Viar masih tetap menganggap Feby sebagai musuh. Bahkan, setelah mendapatkan pengganti dari wanita yang ia cintai, Viar masih saja sama terhadap adik tirinya itu.
"Nenek." Bia berucap sambil menyentuh lembut bahu sang nenek.
Si nenek pun langsung menyeka cepat air mata yang tumpah. Kemudian, baru menoleh untuk melihat Bia yang saat ini ada di belakangnya.
"Bia."
"Jangan sedih lagi, Nek. Mereka berdua pasti akan berdamai nanti. Aku yakin akan hal itu."
"Hal itu tidak mungkin, Bi. Karena Viar sangat keras hati."
"Nek, sekeras apapun hati manusia, tapi tetap saja itu hati. Hati bisa berubah lunak."
"Maaf, bukan ingin sok bijak, dan juga tidak bermaksud menggurui. Dan lagi, aku juga tidak tahu apa masalah yang sudah mereka hadapi sebelumnya. Tapi aku paham, antara mas Viar dan Feby, mereka hanya butuh waktu untuk sama-sama menyembuh luka, Nek. Karena aku lihat, ada luka di hati mereka yang masih belum berhasil di sembuhkan."
"Jika benar waktu yang mereka butuhkan, nenek tidak tahu lagi harus berapa lama waktu yang harus mereka lalui, Bia. Karena kejadian itu sudah sangat lama. Tapi Viar, masih saja tidak bisa memaafkan Feby."
Belum sempat Bia menjawab, suara Feby langsung mengalihkan perhatian mereka berdua. Dua pelayan yang sebelumnya ada di samping, kini memilih keluar karena Feby sudah siuman.
"Feb, apa yang kamu rasakan sekarang, sayang?"
"Hanya lemas saja, Nek. Aku hanya butuh istirahat saja sekarang."
"Baiklah. Kamu bisa istirahat, nenek akan temani kamu di sini ya, Nak."
"Tidak perlu, nek. Aku ingin sendiri saja."
"Ya sudah, nenek keluar. Tapi, jika ada apa-apa, kamu panggil nenek ya, nak. Atau, panggil pelayan dengan cepat ya, sayang."
"Iya, nek."
"Ee ... Bia." Panggilan itu langsung menghentikan gerakan Bia yang ingin ikut nenek beranjak keluar.
Dengan cepat, Bia menoleh.
"Ya."
"Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku mendorong kamu tadi, Bi."
Bia tersenyum. Sementara nenek menatap bingung. "Gak papa, Feb. Mm ... tidak perlu dibahas lagi. Istirahat saja kamu sekarang. Pulihkan kondisimu dulu. Nanti, aku ingin bercerita banyak pada kamu tentang aku yah."
Feby hanya mengangguk pelan. Kemudian, dia menutup matanya untuk menenangkan pikiran. Nenek dan Salbia pun memilih segera meninggalkan kamar Feby.
*
Dari kamar Feby, Bia langsung mencari Viar ke kamar. Tapi, tidak ia temukan keberadaan suaminya saat ini. Bia pun memilih mencari ke tempat lain. Di lantai bawah, ia bertemu dengan Fahri yang baru saja masuk ke dalam rumah.
"Fahri, dari mana?"
"Luar."
"Mm ... ngeliat mas Viar gak?"
"Iya. Di taman samping."
"Oh. Makasih ya Fahri."
"Mm."
Bia akhirnya bergegas ke taman samping untuk bertemu dengan Viar. Sejujurnya, dia malas bicara dengan Fahri. Karena pria irit bicara itu membuatnya sangat amat kikuk kalau ngobrol berdua. Tapi, bagaimanapun hanya Fahri yang sangat amat tahu banyak soal Viar. Buktinya saja sekarang, Fahri juga tahu di mana Viar yang sudah Bia cari ke semua ruangan rumah.
"Mas Viar."
"Bia."
"Boleh duduk, mas?"
"Sejak kapan kamu mau duduk harus izin padaku, Bi? Kamu istri aku, kan? Mau duduk. Ya duduk saja."
"Ya ... mana tahu, kamu sedang ingin sendirian mungkin, mas. Karena itu aku izin dulu. Takutnya, malah ganggu kamu yang ingin duduk sendirian lagi."
"Selamanya, kamu nggak akan pernah ganggu aku, Bia. Karena kamu .... Istri aku."
Kata-kata yang sempat Viar gantung barusan, Bia merasa ada yang janggal. Tapi, dia cepat menyingkirkan perasaan itu. Ada yang lebih penting dari sebatas memikirkan kata-kata yang janggal barusan.
"Mas Viar. Kamu gak papakan sekarang?"
Viar langsung menoleh ke arah Bia yang ada di sampingnya. "Maksudnya?"
"Ya, kamu gak papakan setelah kejadian tadi, Mas?"
Viar tidak langsung menjawab. Ia diam selama beberapa detik. Lalu, dia sentuh tangan Bia dengan lembut. "Maafkan aku yang sudah membuat kamu terkejut tadi, Bi. Aku ... tidak bermaksud begitu. Tidak bermaksud buat kamu takut akan diriku."
"Aku tidak takut, mas Viar. Hanya saja, aku merasa ... sedih akan kalian tadi. Aku memang tidak tahu masa lalu kalian, tapi aku tahu, luka hati kalian sama-sama dalam."
"Hanya aku Bi, yang luka. Dia tidak."
"Tidak, Mas. Kalian berdua sama-sama terluka. Terbukti ketika aku melihat Feby memandang mu, ada perasaan bersalah yang menggunung dari mata itu. Perasaan bersalah yang membuat ia merasa sangat tertekan. Aku kasihan padanya, Mas."
Viar menatap Bia lekat. Dalam hati ia berkata. 'Kenapa sifat ini juga sama persis, Bi? Jangan! Tidak! Aku tidak ingin kehilangan lagi. Sudah cukup aku kehilangan satu. Sekarang, jangan lagi Tuhan ... aku mohon.'
"Mas."
"Jangan bahas soal Feby lagi, Bia. Aku mohon. Dan, tolong jangan dekat-dekat dengan Feby. Aku tidak ingin kamu bernasib sama
seperti .... "
Viar menggantungkan kalimatnya. Karena ia sadar, nama itu tidak boleh ia ucapkan lagi sekarang. Karena nama itu, pasti akan menciptakan perasaan tak nyaman juga rasa penasaran dalam hati Bia.
Sementara itu, Bia yang tahu nama apa yang akan Viar katakan. Maka ia menyambung sendiri nama itu dengan cepat. "Seperti Meisya maksudmu, mas?"
Dengan wajah panik, Viar menatap Bia.
"Bi."
"Aku tidak akan bertanya siapa dia. Tenang saja. Karena aku tahu, rahasia masa lalu, tidak boleh dipertanyakan. Hanya boleh di dengar jika si pemilik rahasia sendiri yang ingin bercerita."
Salbia tersenyum. Tapi dari senyum itu, Viar merasa sangat amat bersalah. Sejujurnya, ia ingin mengatakan siapa Meisya pada Salbia. Tapi sayang, hatinya belum siap untuk berbagi cerita sekarang.
'Bukan aku tidak penasaran. Tapi aku tahu, ada hal yang harus terkubur selamanya karena tidak bisa untuk diungkapkan. Seperti, rahasia masa lalu yang sangat amat menyakitkan.'
Bia berkata dalam hati. Saat itu, ia ingat akan pria yang datang dari masa lalunya. Pria yang sangat ia kagumi akan ketulusan. Tapi sayang, harus kandas di tengah jalan karena terhalang restu orang tua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
ciru
cakeep
2023-11-24
0
Patrick Khan
.lanjut kak🥰
2023-10-16
1
putri anggiamurni
semakin seru..
seperti cerita² lainnya dari author, tidak pernah bertele²..
2023-10-15
3