Setelah nyonya dan tuan Wijaya berlalu juga Lubna, Riza pun menghela napas berat. Pria itu meraih tangan Rana dan menggenggamnya lembut.
Rana yang terkejut dengan apa yang Riza lakukan pun terdiam. Kedua matanya menatap pada tangan besar Riza yang menggenggam lembut tangan nya.
“Za....”
“Aku minta maaf.” Lirih Riza menyela.
Rana menelan ludahnya mendengar permintaan maaf Riza. Dia tidak tau untuk apa Riza meminta maaf padanya. Padahal Rana tidak merasa Riza melakukan kesalahan padanya.
“Gara gara aku kamu jadi begini. Seharusnya sebagai suami yang baik aku membicarakan semuanya dulu sama kamu. Tapi Rana, demi Tuhan sedikitpun aku tidak bermaksud membuat kamu tersinggung dengan apa yang aku katakan tadi pagi.”
Rana tersenyum. Rana sendiri masih bingung dengan perasaan nya. Tidak seharusnya dia marah mendengar Riza berniat menikahi adiknya Lubna. Sebaliknya seharusnya Rana senang karena akhirnya Lubna akan di nikahi oleh Riza, pria yang sangat Lubna cintai.
Pelan pelan Rana melepaskan genggaman tangan Riza. Rana tidak mau terlalu sering berkontak fisik dengan Riza yang akhirnya akan membuatnya merasa nyaman sehingga lambat laun perasaan nya pada Riza akan berubah. Rana takut jatuh cinta pada Riza yang begitu baik dan perhatian padanya. Rana tidak ingin membuat adik satu satunya kecewa apa lagi sampai sakit hati.
“Kamu nggak salah Za.. Apa yang terjadi sama aku sama sekali tidak ada hubungan nya dengan apa yang kamu bicarakan di meja makan tadi pagi saat kita sarapan. Aku memang sudah merasa tidak enak badan sejak semalam. Aku nggak bilang karena aku pikir aku akan baik baik saja dan tidak akan berakhir seperti sekarang ini. Jadi kamu nggak perlu memikirkan nya lagi.”
Riza menghela napas merasa lega. Pria itu sudah sangat takut jika memang benar dugaannya bahwa Rana menjadi drop karena ucapan nya tadi pagi.
“Aku sedikit lega mendengarnya Rana. Tapi aku tetap merasa tidak seharusnya aku membicarakan tentang hal itu sementara aku saja belum membicarakan nya sama kamu sebagai istri aku.”
Rana tertawa geli. Rana tau Riza sangat menghargai dirinya sebagai istri sahnya. Walaupun memang sedikitpun Riza tidak memiliki perasaan apapun padanya.
“Sudahlah tidak usah berlebihan. Aku tau, aku juga paham. Kamu sangat mencintai adikku, begitu juga sebaliknya. Kalian pantas untuk bahagia. Dan sebagai istri kamu, aku mengizinkan kamu untuk menikah dengan Lubna. Bukankah dari awal memang seharusnya kamu dan Lubna yang menikah, bukan kamu dan aku.” Rana berkata dengan hati yang berat namun dengan begitu pintar bisa dia tutupi dengan senyuman manis yang menghiasi bibirnya. Senyuman yang sebenarnya palsu karena tidak sesuai dengan apa yang Rana rasakan sekarang.
“Makasih ya Rana.. Kamu memang istri yang pengertian. Kamu juga kakak yang baik untuk Lubna. Aku janji aku akan berusaha adil setelah aku menikahi Lubna nanti.”
Rana mengernyit. Ucapan berusaha adil yang Riza lontarkan seolah Rana juga adalah wanita yang di cintai nya.
“Terlepas dari cinta atau tidak nya aku sama kamu yang jelas status kita sebagai suami istri itu sah baik menurut agama maupun negara. Jadi sebagai suami yang baik aku akan berusaha semampu aku untuk bisa bersikap adil pada kamu juga Lubna nantinya.” Lanjut Riza memperjelas maksud nya.
Rana mengangguk paham. Hampir saja dirinya salah mengartikan maksud Riza.
“Ya.. Terimakasih. Untuk itu aku juga akan membantu kamu berbicara sama mamah sama papah nanti.”
Riza mengangguk dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. Pria dengan kemeja lengan panjang warna coklat susu itu merasa sangat lega juga bahagia karena akhirnya apa yang dia dan Lubna cita citakan untuk bisa hidup bersama akhirnya akan segera terlaksana. Walaupun memang harus ada Rana di antara mereka berdua.
Selama dua hari di rawat di rumah sakit, akhirnya kondisi Rana pun membaik. Riza yang memang tidak ingin di cap sebagai suami yang tidak bertanggung jawab dengan telaten dan tulus selalu bolak balik ke rumah sakit guna menemani Rana. Dan hal itu membuat Lubna semakin merasa cemburu dan merasa di abaikan. Apa lagi selama dua hari itu juga Riza menjaga Rana di rumah sakit sampai menginap di sana. Riza bahkan melarang nyonya dan tuan Wijaya karena ingin menjaga Rana dengan baik sebagai suami Rana.
“Pelan pelan naiknya. Nggak usah buru buru.” Titah Riza saat menuntun Rana menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai dua dimana kamar mereka berada.
Ya, sore ini Rana sudah bisa pulang ke rumah karena memang kondisinya sudah baik baik saja.
“Aku baik baik saja Riza. Tolong jangan menyikapi aku seperti orang yang sedang tidak berdaya.”
“Oke oke...” Angguk Riza tidak ingin berdebat. Namun meskipun begitu Riza tetap menuntun Rana menaiki anak tangga.
Lubna yang melihat itu melengos. Ada rasa marah dan tidak terima karena perlakuan Riza yang semakin hari memang semakin berlebihan pada kakaknya. Dan sebagai kekasih Riza, Lubna mulai merasa keberatan dengan perlakuan Riza yang seolah mulai menaruh rasa di hati nya untuk Rana.
Begitu sampai di kamar, Rana meminta pada Riza untuk keluar dan menemui Lubna. Sementara dirinya segera menemui kedua orang tua nya guna membicarakan tentang niat Riza yang ingin segera menikah dengan Lubna.
“Kamu yang benar saja Rana. Riza itu suami kamu dan Lubna adalah adik kamu. Apa kata orang orang di luar sana nanti kalau Riza dan Lubna menikah. Mereka pasti akan berpikir buruk tentang Lubna. Apa lagi Lubna adalah publik figur. Lubna akan dengan mudah terkena isu tidak baik di kalangan masyarakat.” Ujar tuan Wijaya yang masih merasa keberatan dengan niat Riza.
Sementara nyonya Wijaya, dia hanya diam saja. Wanita itu bingung harus bagaimana karena Lubna dan Rana sama sama putri yang dia lahir kan dengan nyawa sebagai taruhannya.
“Pah.. Riza menikahi aku bukan karena keinginannya sendiri. Tapi karena papah yang mengajukan syarat. Akan sangat tidak adil kalau papah menghalangi niat Riza untuk menikah dengan Lubna. Lagi pula aku tidak keberatan sedikitpun pah. Aku tidak mencintai Riza begitu juga sebaliknya. Jangan sampai hanya karena papah ingin aku bahagia tapi papah mengorbankan perasaan Lubna. Aku akan bahagia kalau orang orang yang aku sayangi bahagia pah.”
Tuan Wijaya menghela napas pelan. Pria itu tidak bisa berkata apa apa sekarang. Karena memang apa yang Rana katakan memang benar. Rana dan Riza menikah karena ajuan syarat darinya saat Riza meminta izin dan restu padanya untuk menikah dengan Lubna.
“Baiklah kalau begitu. Papah akan merestui pernikahan Riza dan Lubna.” Putus tuan Wijaya yang akhirnya pasrah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments