Hampir seharian memejamkan kedua matanya, Rana pun akhirnya pelan pelan membuka kedua matanya. Dia mulai tersadar dari tidurnya yang terasa sangat lama bagi semua orang tuanya yang menantikan kesadaran nya.
Ketika hendak menggerakkan jari tangan nya, Rana merasakan genggaman erat sebuah tangan besar yang begitu hangat dan lembut.
Rana menoleh pelan. Dia tersenyum ketika mendapati sang papah yang tertidur dengan kepala menelungkup. Sedang tangan besarnya terus menggenggam tangan kecil Rana.
“Papah...” Gumam Rana hampir tidak terdengar.
Rana kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan tempat nya sekarang berada. Saat itu lah Rana sadar bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit. Rana sendiri tidak tahu kenapa dirinya bisa berada di sana. Yang Rana ingat hanya dirinya yang berlalu dari meja makan meninggalkan obrolan yang membuat dadanya terasa berdenyut ngilu.
Rana ingat sekarang. Dia pingsan saat memasuki gerbang kompleks perumahan tempat dokter Sam tinggal. Semua itu karena Rana yang tidak bisa menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Rana menghela napas pelan. Pikiran nya kembali berpusat pada Riza, suaminya. Rana sedikitpun tidak merasa mencintai pria itu. Tapi entah kenapa Rana merasakan sakit di hatinya begitu mendengar Riza akan menikahi Lubna, adiknya. Padahal Rana sendiri juga tau bahwa keduanya adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Apa lagi Rana juga sering membantu Riza saat Riza hendak kencan dengan Lubna. Itu semua benar benar tidak masuk akal menurut Rana. Dirinya marah pada waktu yang sangat tidak tepat. Seharusnya Rana senang mendengar Riza berencana menikahi adiknya. Karena memang dari awal yang berencana menikah adalah mereka berdua.
“Kamu sudah bangun?”
Suara Riza berhasil mengalihkan perhatian Rana. Pria itu baru saja masuk ke dalam ruang rawat Rana dengan membawa kresek putih di tangan nya yang tidak Rana tau apa isinya.
Rana berusaha mengukir senyuman di bibirnya untuk Riza. Rana tidak bisa menyalahkan Riza atau siapapun. Karena semua yang terjadi bukanlah kehendak Riza, Lubna, ataupun dirinya. Semua itu adalah permintaan papahnya yang menginginkan nya bahagia.
Riza melangkah mendekat ke brankar Rana. Pria itu tersenyum merasa sangat lega melihat Rana yang sudah membuka kedua matanya.
“Kamu membuat kita semua khawatir Rana..” Ujar Riza mengusap lembut rambut Rana.
“Maaf...” Lirih Rana balas tersenyum.
Riza kemudian menggeleng menolak permintaan maaf dari Rana.
“Aku yang harusnya minta maaf sama kamu. Maaf sudah membuat kamu menjadi seperti ini.” Katanya menatap Rana dengan tatapan penuh rasa bersalah juga menyesal.
Rana tersenyum.
“Aku mengerti. Dan aku sedikitpun tidak merasa keberatan apa lagi marah dengan keniatan kamu Za. Aku...”
“Ssshhttt.. Jangan bahas itu dulu yah.. Lebih baik sekarang kamu makan dulu. Aku siapin, oke? Setelah itu baru kamu minum obat.” Sela Riza menempelkan jari telunjuk nya di depan bibir Rana.
Rana diam. Sikap Riza membuatnya kadang merasa seperti di beri harapan. Namun kenyataan Riza sama sekali tidak mencintai nya juga kadang menyadarkan nya bahwa Rana tidak akan bisa memiliki Riza selayaknya seorang istri yang merasa memiliki suami nya.
“Aku bawain kamu makanan kesukaan kamu. Tapi kali ini nggak pedes yah, kata dokter Sam kamu nggak boleh makan pedes dulu.” Ujar Riza sambil menaruh dan membuka kresek putih yang di bawanya mengeluarkan isinya.
Rana tidak berkata apa apa. Dia benar benar tidak bisa menebak apa yang sedang di pikirkan oleh Riza sekarang.
Tidak bisa menolak, Rana pun menerima saja perlakuan baik, lembut dan penuh perhatian Riza padanya. Rana menghabiskan makanan yang di suapkan Riza padanya. Mereka mengobrol ringan yang akhirnya membuat tuan Wijaya yang tertidur sembari menggenggam tangan Rana terbangun.
Tidak lama masuklah Lubna dan nyonya Wijaya. Mereka berdua membawa masing masing bingkisan berisi makanan yang di niatkan untuk Rana dan tuan Wijaya.
“Ya Tuhan.. Kamu sudah bangun sayang.. Mamah khawatir banget sama kamu.” Ujar nyonya Wijaya yang kembali meneteskan air matanya.
Rana hanya bisa tersenyum. Dia tidak bermaksud membuat kedua orang tuanya khawatir. Tapi kondisinya yang membuat Rana terkadang tidak bisa bertahan. Dan Rana tidak tahu itu akan berlangsung sampai kapan. Mungkin sampai waktunya habis.
“Kak, Aku beliin makanan kesukaan kakak. Aku tau kakak nggak suka makanan disini kan? Jadi aku beliin sepesial untuk kakak. Aku suapin yah..” Senyum Lubna menunjukan bingkisan makanan yang di bawanya pada Rana.
Rana sesaat terdiam. Dia sama sekali tidak ingin membuat adiknya kecewa dengan tidak menerima tawaran baik itu, hanya saja Rana sudah sangat kenyang setelah di suapi oleh Riza tadi.
“Eum.. Rana sudah makan tadi. Aku yang nyiapin dia.” Ujar Riza dengan senyuman yang menghiasi bibirnya.
Senyuman di bibir Lubna seketika pudar saat mendengar apa yang Riza katakan. Gadis itu tidak menyangka Riza akan begitu sangat perhatian pada Rana, kakaknya. Padahal Lubna pikir Riza pergi untuk bekerja, bukan untuk mencari makanan untuk Rana.
“Oh begitu, syukurlah kalau begitu.” Senyum tipis Lubna. Lubna merasa kecewa juga cemburu. Kecewa karena niat baiknya pada Rana ternyata sudah di dahului oleh Riza. Dan cemburu karena perhatian Riza pada Rana.
“Ya sudah kalau begitu mending kamu sama mamah juga papah makan dulu saja. Kalian pasti belum makan kan? Rana biar aku yang jagain.” Senyum Riza kemudian.
Tuan dan nyonya Wijaya menganggukkan kepalanya setuju. Mereka kemudian mengajak Lubna untuk sama sama memakan apa yang nyonya Wijaya dan Lubna beli tadi. Mereka bertiga sedikit menjauh dari Rana dan Riza dengan duduk di sofa yang ada di ruang rawat Rana.
Lubna sesekali menatap Rana dan Riza yang asik mengobrol. Entah kenapa akhir akhir ini Lubna sering merasa cemburu dengan perhatian Riza pada Rana. Padahal Lubna sendiri selalu percaya dan yakin bahwa satu satunya yang Riza cintai hanya dirinya, bukan Rana kakaknya atau wanita manapun.
“Kenapa sayang? Makanannya nggak enak yah? Mau mamah beliin yang lain saja?” Tanya nyonya Wijaya yang menyadari Lubna yang seperti nya sama sekali tidak bernafsu menyantap makanan yang ada di depannya.
“Eh enggak kok mah. Makanan nya enak. Hanya saja bau obat di ruangan ini lumayan menyengat. Jadi rasanya sedikit mual.” Jawab Lubna beralasan.
“Iya juga sih. Ya sudah lebih baik kita makan di kantin rumah sakit saja. Rana ada yang jagain ini. Ayo sayang..”
Lubna tergagap. Bukan itu maksud dia beralasan. Lubna hanya tidak ingin mamah juga papahnya menyadari rasa cemburu dan iri yang sedang bersarang di benaknya.
“Tap tapi...”
“Nak.. Kamu nggak boleh telat makan. Mamah nggak mau kamu kenapa napa.” Sela nyonya Wijaya.
Lubna hanya bisa menghela napas kemudian mengangguk. Mereka kemudian keluar dari ruang rawat Rana, meninggalkan Rana berdua dengan Riza. Namun sebelum itu tuan Wijaya lebih dulu menitipkan Rana pada Riza.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments