Lubna mengurung dirinya di kamar setelah itu. Gadis itu benar benar sangat kecewa dengan keputusan papah nya. Tentu saja, gadis mana yang tidak kecewa jika kekasihnya yang berniat menikahinya justru di sarankan untuk lebih dulu menikahi kakaknya. Itu benar benar sangat menyakitkan dan tentu nya sangat sulit untuk di terima oleh hati maupun pikiran.
Lubna menatap ponselnya yang sejak semalam terus saja mendapat notifikasi. Namun dari sekian banyaknya notifikasi yang masuk, tidak ada satupun notifikasi pesan dari Riza. Hal itu membuat Lubna merasa sedikit was was. Lubna takut Riza menyerah dan memilih untuk mundur.
Merasa tidak harus diam saja, Lubna pun meraih benda pipih itu. Dia memutuskan untuk menghubungi Riza lebih dulu. Namun beberapa kali menelepon Riza sama sekali tidak mengangkat nya. Tidak putus asa, Lubna pun mengirim pesan pada Riza. Tapi sayang Riza sama sekali tidak membukanya.
“Ya ampun.. Kenapa semuanya jadi kacau begini sih?” Lubna meneteskan air matanya. Dadanya terasa sesak setiap kali mengingat apa yang papahnya katakan semalam.
Sebenarnya Lubna sendiri penasaran kenapa sampai detik ini kakak nya begitu betah melajang. Padahal usianya juga sudah cukup matang untuk menikah. Namun jika melihat dingin nya sikap Rana pada laki laki rasanya memang sangat mustahil jika Rana mau dekat apa lagi menjalin hubungan dengan lawan jenis.
“Apa mungkin kakak sebenarnya tidak tertarik pada laki laki?” Pemikiran buruk Lubna tentang kakaknya mulai menghampiri. Namun detik berikutnya Lubna langsung menggelengkan kepalanya. Lubna yakin kakaknya adalah wanita normal.
Deringan ponsel yang begitu nyaring berhasil menyentak kan Lubna. Dia kemudian segera menatap layar benda pipih berharga fantastis itu. Lubna berdecak, padahal dia berharap Riza yang menelepon nya. Tapi ternyata bukan, yang menelepon nya adalah managernya. Lubna yakin managernya menghubungi nya karena dirinya yang belum sampai di lokasi pemotretan.
“Halo...”
“Ya Lubna. Kamu dimana? Kenapa belum datang sampai jam segini?”
Lubna memutar jengah kedua bola matanya. Managernya memang sangat disiplin dan tepat waktu.
“Aku akan segera datang.” Jawab Lubna singkat yang kemudian segera memutuskan sambungan telepon begitu saja. Lubna tidak ingin berdebat dengan manager nya yang memang sangat menggilai kedisiplinan itu.
Lubna kemudian segera menghubungi asisten nya untuk menanyakan tentang semua kebutuhan nya yang pasti akan sangat di butuhkan nanti di lokasi pemotretan. Dan setelah menghubungi asisten pribadinya, Lubna pun segera bergegas berangkat.
“Kamu nggak mau sarapan dulu nak?” Pertanyaan dengan nada lembut dan penuh perhatian itu keluar dari bibir nyonya Wijaya yang berhasil membuat langkah Lubna terhenti. Lubna menghela napas kasar. Dia masih merasa sangat marah karena apa yang papah dan mamahnya katakan semalam pada Riza.
Lubna kemudian menoleh menatap pada kedua orang tuanya yang duduk di kursi di meja makan dengan beberapa menu sarapan pagi yang tersaji diatas meja makan. Disana juga ada Nara yang sedang menikmati sarapan paginya dalam diam. Merasa enggan untuk bergabung, Lubna pun memilih untuk segera berlalu tanpa mau menjawab pertanyaan nyonya Wijaya, mamahnya.
Rana yang memang tidak tau apa apa hanya mengeryit saja. Dia merasa tidak biasa dengan sikap adiknya pagi ini. Padahal biasanya Lubna selalu menyapa kedua orang tuanya dengan sangat ceria. Tapi sekarang Lubna bahkan tidak menjawab pertanyaan penuh perhatian mamahnya.
Rana menatap sebentar pada kedua orang tua nya yang hanya diam saja dengan berlalunya Lubna. Mamahnya bahkan sama sekali tidak terlihat berniat ingin menyusul Lubna yang tidak bergabung sarapan pagi ini bersama mereka. Dan entah kenapa Rana merasa ada sesuatu yang tidak dia ketahui sekarang.
Namun Rana juga tidak ingin bertanya. Apa lagi jika masalah yang tidak Rana tau itu tidak ada hubungan nya dengan nya.
Rana menghela napas. Dia memutuskan untuk melanjutkan saja sarapan nya dari pada harus bertanya tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Bukan tidak perduli. Hanya saja Rana takut jika memang masalah itu sangat pribadi dan dirinya tidak di perbolehkan untuk tau.
“Rana...” Panggil tuan Wijaya yang membuat Rana langsung menoleh padanya.
“Ada yang mau papah katakan sama kamu.”
Rana melirik mamahnya yang hanya diam saja. Tidak biasanya papahnya berekspresi begitu serius.
“Ini tentang kamu juga adik kamu Lubna.”
Rana menelan ludah. Sekarang Rana yakin bahwa sikap Lubna tadi pasti ada hubungan nya dengan pertanyaan yang ingin di ajukan oleh papahnya saat ini.
“Semalam Riza datang kesini. Dia mengatakan ingin segera menikahi adik kamu. Tapi papah tidak bisa begitu saja memberi restu pada mereka berdua.”
“Kenapa?” Tanya Rana penasaran. Padahal yang Rana tau hubungan Lubna dan Riza sudah terjalin cukup lama. Rasanya tidak aneh jika memang Riza berniat serius menikahi Lubna.
Tuan Wijaya menghela napas pelan sebelum melanjutkan ucapan nya. Bukan berniat berlaku tidak adil pada kedua putri nya, hanya saja pria itu merasa kasihan pada Rana yang selama ini selalu merasa kesepian tanpa ada laki laki yang menghiasi hari harinya seperti Lubna. Tuan Wijaya juga berpikir, kalau sampai Lubna menikah lebih dulu, bukan tidak mungkin Rana akan merasa semakin minder yang akhirnya putus asa dan enggan untuk menjalin hubungan dengan pria manapun.
“Tentu saja karena kamu belum menikah Rana. Papah nggak mau Lubna menikah lebih dulu dari kamu.” Jawab tuan Wijaya dengan suara pelan.
Rana menelan ludah. Dia benar benar sangat terkejut dengan alasan papahnya tidak memberikan restu pada Lubna dan Riza. Karen itu Rana pun mulai merasa bersalah pada adiknya. Rana sedikitpun tidak ingin menghalangi apa yang menjadi tujuan dan kebahagiaan adik satu satunya itu. Tapi untuk sekarang Rana memang masih belum bisa percaya pada pria manapun setelah merasa sakit yang amat sangat di masa lalu.
“Untuk itu papah mau Riza menikahi kamu lebih dulu sebelum menikahi Lubna. Keputusan papah sudah bulat Rana. Baik kamu maupun Lubna tidak bisa mengganggu gugat. Dan juga Riza sudah setuju dengan itu.”
Kedua mata Rana membulat dengan sempurna. Bagaimana mungkin papahnya mengambil keputusan yang begitu sangat konyol. Rana harus menikah dengan Riza sebelum Riza menikah dengan Lubna yang artinya papahnya tidak mempermasalahkan jika dua putrinya menjadi istri dari satu pria yang sama.
“Pah tapi...”
“Rana papah mohon kamu mengerti dan paham dengan maksud papah. Ini demi kebaikan kita bersama.” Sela tuan Wijaya yang tidak mau jika Rana menolak apa yang menjadi keputusan nya.
Rana menghela napas pelan. Dia tidak bisa apa apa jika sang papah sudah melarangnya untuk protes. Meski memang mungkin Lubna akan membencinya nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments