“Bagaimana keadaan Rana dokter?” Tanya tuan Wijaya setelah dokter memeriksa keadaan Rana.
Dokter Samsul menghela napas. Pria yang sebaya dengan tuan Wijaya itu menghela napas berat. Dokter Sam sapaan akrab dokter itu. Dia memang sudah sejak Rana kecil menangani Rana. Dia juga sudah akrab dengan Rana. Bahkan dokter Sam juga sudah menganggap Rana seperti anaknya sendiri.
Saat ini mereka berdua sedang berada di depan pintu kamar Rana yang sengaja di tutup. Mereka berdua memang sengaja membicarakan tentang kondisi Rana di luar agar Rana tidak bisa mendengar nya. Sedangkan nyonya Wijaya, dia menemani Rana yang masih sedikit merasa kesakitan di bagian lengan yang di sentuh olehnya.
“Seperti yang kita ketahui tuan, kondisi Rana memang sudah sangat parah. Dan rasa sakit yang Rana alami adalah akibat dari sentuhan dari nyonya Wijaya. Hal itu di sebabkan karena sel kanker yang di derita oleh Rana sudah menyebar. Jika Rana juga memperlihatkan gejala seperti mudah lupa dan sering merasa pusing atau sakit kepala itu juga berarti sel kankernya mulai menyerang otak.”
Seketika tubuh tuan Wijaya melemas mendengarnya. Pria itu tidak menyangka kondisi putrinya akan semakin buruk. Padahal tuan Wijaya selalu berharap ada keajaiban untuk putrinya agar bisa sembuh dan bisa beraktivitas tanpa harus takut akan sesuatu yang bisa saja memperburuk kondisinya.
Dokter Sam yang melihat tuan Wijaya melemas hanya bisa diam. Selama ini sudah berbagai pengobatan di jalani oleh Rana, namun kondisi Rana tetap saja seperti itu. Bahkan bukannya sembuh kanker yang di derita Rana justru semakin ganas.
“Ya Tuhan...” Tangis tuan Wijaya dalam diam. Pria itu benar benar tidak berdaya mendengar penjelasan dokter Sam tentang keadaan putri sulungnya.
----------
Pagi ini Rana tidak keluar dari kamarnya. Rasa mual, pusing, bahkan sakit saat di sentuh membuat Rana mau tidak mau harus beristirahat dari segala aktivitas yang biasa dia lakukan sehari hari.
Riza yang belum tau tentang keadaan Rana pun maklum mengingat penyakit yang di derita oleh Rana memang tidak bisa di sepelekan.
“Kamu mau sarapan apa? Biar aku ambilkan.” Ujar Riza yang sudah rapi dengan kemeja putih tulang lengan panjang berdasi serta celana bahan warna hitam yang melekat di tubuh tinggi tegap nan kekarnya.
Rana yang sejak tadi merenung di kursi di balkon kamarnya menoleh dan tersenyum.
“Aku nggak lapar.” Katanya pelan.
Riza menghela napas pelan. Pria itu mendekat pada Rana dan berdiri tepat di depan nya.
“Sarapan itu penting. Jangan di sepelekan. Katakan saja apa yang sedang ingin kamu makan. Aku akan ambilkan untuk kamu.”
Rana tertawa pelan. Lucu sekali rasanya jika ada pria yang perhatian padanya. Dulu Rana memang pernah menjalin hubungan dengan seorang pria namun akhirnya dia berkhianat dan memilih untuk pergi dengan wanita lain yang adalah selingkuhan nya. Sejak saat itu Rana pun memutuskan untuk menutup pintu hatinya untuk pria manapun.
“Oke oke, sandwich boleh?”
“Ya sudah tunggu sebentar. Aku akan ambil ke bawah.”
Riza berlalu dengan langkah santai dari hadapan Rana. Pria itu keluar dari kamar untuk mengambilkan sandwich yang di inginkan oleh Rana.
“Riza, mana kak Rana?” Tanya Lubna begitu Riza sampai di meja makan. Lubna sudah duduk sambil menyantap nasi goreng di meja makan bersama tuan dan nyonya Wijaya.
“Eum.. Rana katanya sedang nggak enak badan. Ini aku mau ambil sarapan buat Rana.” Jawab Riza apa adanya.
“Apa?” Lubna terkejut mendengar jawaban dari Riza. Rasa khawatir langsung merayapi hati Lubna saat itu juga.
Sementara tuan dan nyonya Wijaya, keduanya hanya bisa diam saja. Tuan Wijaya sudah mengatakan tentang keadaan Rana pada istrinya yang sampai menangis semalaman meratapi penderitaan putri sulungnya akibat dari penyakit kanker darah atau Leukimia yang menggerogotinya.
“Ya sudah aku ke atas lagi yah. Mah pah, Riza ke atas dulu.”
Nyonya Wijaya hanya menganggukkan kepalanya. Wanita itu tersenyum karena merasa senang dengan perhatian Riza pada Rana.
Setelah Riza berlalu kembali menuju kamarnya dan Rana, Lubna langsung memusatkan perhatian nya pada kedua orang tuanya yang hanya diam saja sejak tadi. Lubna yakin keduanya sudah tau tentang keadaan Rana.
“Mah, pah.. Kak Rana..”
“Ya, semalam saat kamu dan Riza pergi keadaan Rana tiba tiba memburuk. Kamu tau nak? Kakak kamu bahkan merasa sakit hanya karena sentuhan tangan mamah. Rana mengeluhkan sakit saat mamah menyentuh tangan nya.” Ujar nyonya Wijaya dengan suara serak menahan tangis.
Lubna menelan ludah tidak menyangka mendengar apa yang mamahnya katakan. Lubna juga merasa bersalah karena saat kakaknya sedang dalam keadaan tidak baik baik saja dirinya justru tidak ada di rumah bahkan asik berduaan dengan Riza di luar.
“Dokter Sam juga bilang sama papah kalau keadaan kakak kamu semakin memburuk. Kakak kamu juga mulai lupa dengan hal hal sepele. Itu karena kanker yang di derita kakak kamu sudah mulai menyebar bahkan sudah sampai menyerang otaknya.” Lanjut nyonya Wijaya yang sudah tidak bisa lagi menahan laju air matanya. Wanita itu bahkan langsung terisak tidak kuasa menahan rasa sesak di dadanya.
Lubna menutup mulutnya. Kedua matanya mulai berkaca-kaca mendengar penjelasan dari mamahnya tentang keadaan kakaknya, Rana. Andai saja dirinya tau Lubna tidak mungkin mengiyakan ajakan Riza untuk pergi makan berdua di luar semalam.
“Aku harus ke atas mah.. Aku mau liat keadaan kakak.”
“Tidak. Jangan Lubna. Biarkan kakak kamu bersama Riza untuk sekarang. Mamah tau kamu sangat mencintai Riza begitu pula sebaliknya. Tapi mamah mohon sama kamu, sebentar saja kamu biarkan kakak kamu merasakan perhatian dari Riza. Mamah sama papah percaya Riza adalah laki laki yang baik. Walaupun memang dia tidak mencintai kakak kamu, tapi mamah yakin Riza pasti bisa menjaga perasaan kakak kamu.” Cegah nyonya Wijaya dengan nada memohon pada Lubna.
Lubna terdiam. Jika di pikir pikir dirinya memang jauh lebih beruntung dari kakaknya. Lubna punya tubuh yang sehat dan bersih dari berbagai penyakit berbahaya. Lubna juga mempunyai Riza yang begitu tulus dan sangat mencintai nya.
Sementara kakaknya Rana, dia menderita sakit yang sangat serius bahkan sudah di vonis tidak akan bisa hidup lama lagi. Rana juga kurang beruntung dalam masalah percintaan sehingga hari harinya selalu dia habiskan dengan berbagai kesibukan di perusahaan tempat nya bekerja. Namun dari semua penderitaan yang di rasakan kakaknya itu dia mempunyai keistimewaan yaitu otak cerdas yang menurun dari sang papah, tuan Wijaya. Itulah kenapa Rana bisa menjadi seorang CEO di perusahaan tempat nya bekerja. Kepintaran nya dalam berbisnis benar benar patut di acungi jempol. Bahkan perusahaan yang di pimpin nya mampu bersanding dengan perusahaan milik sang papah.
--------
Di balkon kamarnya, Rana sarapan dengan di temani oleh Riza. Pria itu juga sedang menyantap sandwich yang sama dengan sandwich yang di makan oleh Rana. Riza juga sebenarnya sudah bisa menebak tentang hal buruk yang mungkin saja terjadi pada Rana tanpa dia dan Lubna ketahui.
“Bagaimana semalam kencan nya?” Tanya Rana yang membuat Riza berhenti mengunyah makanan dalam mulutnya.
Riza tersenyum tipis. Keberhasilan nya membuat Lubna bahagia juga karena jasa Rana juga yang sudah mau membantunya.
“Semuanya lancar, Ra. Makasih yah udah mau bantuin aku.” Jawab Riza tulus.
Rana tersenyum dan mengangguk pelan. Dia ikut senang mendengar nya.
“Syukurlah kalau begitu.” Senyum nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments