Untuk menebus rasa bersalahnya, Riza pun berencana mengajak Lubna untuk makan malam. Namun sebelum itu Riza memberitahu Rana lebih dulu. Dan Rana tentu saja sangat mendukung apa yang ingin Riza lakukan. Bahkan dengan penuh semangat Rana memilihkan baju yang pas untuk Riza. Rana juga mengajak Riza untuk membeli hadiah berupa cincin berbatu biru yang sangat cantik dan pas di sematkan di jari Lubna menurut Rana.
“Kalau begitu aku pergi yah.. Thank's sudah bantuin aku memilih hadiah untuk Lubna. Aku janji tidak akan pulang terlalu malam.” Senyum Riza menatap Rana.
Rana yang mendengar itu tertawa geli mendengarnya. Lucu sekali rasanya mendengar Riza yang seperti sedang meminta izin padanya.
“Apaan sih, kaya sama siapa aja. Aku itu mendukung seratus persen hubungan kamu dan Lubna. Aku yakin kamu adalah laki laki yang baik. Kamu pasti bisa membuat adik aku bahagia.” Senyum Rana.
Sesaat Riza terdiam. Senyuman Rana membuat wajah cantik alami yang hampir tidak pernah di polesi make up itu semakin terlihat cantik. Sangat jauh berbeda dengan Lubna yang hampir setiap hari tidak pernah lupa merias wajahnya dengan make up yang selalu membuat semua orang memujanya dengan wajah bak bonekanya.
Sedetik kemudian Riza langsung tersadar dan menggelengkan kepalanya, tidak seharusnya dia membandingkan Rana dan Lubna. Apa lagi Lubna yang adalah kekasihnya sendiri.
Rana yang merasa aneh dengan perubahan Riza pun mengeryit penasaran.
“Kenapa?” Tanya Rana menatap heran pada Riza.
“Ah enggak, nggak papa kok. Ya sudah aku pergi.”
“Oke, hati hati.” Angguk Rana tersenyum manis.
Riza memutar tubuhnya kemudian melangkah menjauh keluar dari kamarnya dan Rana. Riza berdecak pelan karena merasa keterlaluan sendiri sudah membandingkan Rana dan Lubna. Meski itu hanya terlintas di benak Riza, namun tetap saja pemikiran itu sangatlah salah dan tidak akan di benarkan sampai kapanpun. Apa lagi mengingat keduanya adalah kakak beradik yang saling menyayangi.
Di lantai satu tepatnya di ruang tamu kediaman Wijaya, Lubna sudah menunggu Riza. Gadis itu mengenakan dress simpel selutut tanpa lengan warna orange yang membuat semakin terlihat manis. Lubna sedang menunggu Riza turun dari lantai dua agar mereka berdua lekas pergi.
Senyuman Lubna terukir begitu manis saat mendapati Riza yang sedang melangkah menghampiri nya. Sejak Riza menikah dengan Rana ini memang adalah kali pertama mereka akan jalan berdua. Itupun karena Riza yang berinisiatif mengajak sebagai tanda maaf atas sikap nya yang sudah keterlaluan pada Lubna.
“Sudah siap?” Tanya Riza begitu sampai tepat di depan Lubna yang sedang menunggu nya.
“Eum.. Iya..” Angguk Lubna tersenyum menjawab pertanyaan Riza.
“Ya sudah kalau begitu kita pergi sekarang keburu kemalaman nanti.” Ujar Riza yang kembali mendapat anggukan kepala dari Lubna.
“Kalian berdua mau kemana?”
Baru saja Riza dan Lubna hendak melangkah keluar rumah suara nyonya Wijaya yang bertanya dengan nada yang cukup lantang mengurungkan niat mereka berdua. Keduanya memutar kembali tubuhnya dan tersenyum menatap nyonya Wijaya yang melangkah mendekat.
“Riza, Lubna.. Mana Rana? Kenapa sepertinya kalian berdua mau pergi berdua?”
Lubna mengernyit. Nada pertanyaan sang mamah seperti sedang menuduhnya. Padahal jelas jelas mamahnya sendiri tau bahwa Riza adalah miliknya terlepas dari pernikahan yang Riza lakukan dengan Rana.
“Aku sama Riza mau pergi sebentar mah. Kak Rana ada di atas.” Jawab Lubna pelan.
Sementara Riza, pria itu bingung. Riza seperti orang yang ketahuan selingkuh di belakang istrinya.
“Oh begitu. Ya sudah hati hati.” Nyonya Wijaya yang melihat ekspresi putri bungsunya langsung tersadar. Hampir saja dia lupa tentang hubungan Lubna dan Riza. Hampir juga nyonya Wijaya marah karen melihat Riza dan Lubna yang begitu akrab dan mesra.
“Iya mah.. Kami pergi dulu.” Angguk Lubna tersenyum. Lubna melingkarkan tangannya di lengan Riza. Sedikitpun Lubna tidak merasa canggung meski harus menggandeng Riza di depan sang mamah. Berbeda dengan Riza yang merasa sangat tidak enak hati karena tertangkap berdua dengan Lubna yang berstatus sebagai adik iparnya.
Lubna mengajak Riza berlalu dari hadapan sang mamah setelah berpamitan. Gadis itu merasa sangat lega karena ternyata sang mamah tidak marah padanya. Meskipun memang saat di tanya Lubna merasa seperti sedang di tuduh, namun ternyata pemikiran nya tentang pertanyaan menuduh mamahnya itu salah.
Riza dan Lubna masuk ke dalam mobil dengan kompak. Riza menghela napas berat setelah mereka sama sama duduk di dalam mobil.
“Kenapa?” Tanya Lubna menatap pada Riza yang tampak tidak se-sumringah sebelumnya.
Riza menelan ludah kemudian menoleh pada Lubna yang menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Apa nggak papa kalau kita begini?” Tanya Riza.
“Maksud kamu?” Tanya balik Lubna bingung.
“Ya kan bagaimanapun juga aku ini status nya adalah suami dari kakak kamu sayang.. Aku kakak ipar kamu. Memangnya nggak papa kalau kita jalan berdua secara terang terangan begini? Apa mamah sama papah nggak marah?”
Lubna berdecak. Status itu memang terkadang membuatnya merasa di lema. Namun kembali lagi di awal kesepakatan bahwa Riza tetaplah kekasihnya meski dia sudah menjadi suami dari kakaknya. Dan Rana pun tidak pernah merasa keberatan sedikitpun dengan fakta itu.
“Jadi menurut kamu baiknya gimana?” Tanya Lubna yang kemudian meluruskan pandangan nya ke depan.
Riza terdiam. Semuanya tidak lagi sama seperti dulu. Dan tentu saja semuanya juga sudah berbeda. Dirinya dan Lubna tidak bisa sebebas dulu jalan di depan kedua orang tua Lubna dan Rana.
“Sudahlah kita pikirkan nanti saja. Malam ini kita harus bersama. Ah ya sayang, aku punya sesuatu loh buat kamu.”
Ekspresi Lubna yang semula sendu langsung berubah. Dia tersenyum merasa sangat senang dengan Riza yang mengatakan mempunyai hadiah untuk nya.
“Oh ya? Apa itu?” Tanya Lubna dengan sangat antusias.
“Tutup mata dulu dong.”
Lubna tertawa merasa geli dengan apa yang Riza katakan. Namun dia tetap menuruti apa yang Riza katakan yaitu memejamkan kedua matanya.
Riza merogoh saku dalam jasnya mengeluarkan kotak kecil yang berkilauan saat terkena cahaya lampu dari luar mobil. Pria itu membuka kotak kecil tersebut dimana di dalamnya ada sebuah cincin berbatu biru pilihan Rana untuk Lubna. Riza berharap Lubna menyukai hadiahnya kali ini.
“Oke, kamu boleh buka mata.” Katanya.
Lubna perlahan membuka kedua matanya. Begitu melihat cincin yang di sodorkan oleh Riza padanya, Lubna menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Lubna tidak menyangka Riza akan memberinya sebuah cincin.
“Aku harap kamu suka dengan hadiah kecil ini.” Senyum Riza tulus.
Lubna merasa sangat terharu dengan hadiah tersebut. Apa lagi saat Riza meraih tangan kirinya dan menyematkan cincin berbatu biru itu di jari manisnya.
Dari ambang pintu yang terbuka nyonya Wijaya melihat semua itu. Dia melihat putrinya yang sangat bahagia karena Riza. Helaan napas berat keluar dari mulut nyonya Wijaya. Wanita itu tidak menyangka semuanya akan terasa begitu sangat rumit.
Riza adalah suami dari Rana, putri sulungnya yang menurut nya sangat tidak pantas jika harus pergi berdua dengan Riza.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments