Setelah Rana tidak lagi marah padanya, Riza pun mengajak Rana makan siang lebih dulu sebelum akhirnya mengajak Rana pulang. Dan dalam perjalanan pulang Rana sudah tidak lagi merajuk padanya dan mau duduk di samping kemudi Riza lagi.
Khawatir Rana kelelahan, Riza pun langsung mengantar Rana ke kamar begitu sampai di rumah. Nyonya Wijaya dan Lubna yang melihat itu tersenyum. Keduanya berharap perhatian Riza bisa membuat semangat Rana untuk sembuh semakin besar. Karena memang jika di lihat dari kondisi Rana rasanya sangat mustahil kesembuhan itu ada. Kecuali jika Tuhan yang menghendaki.
“Riza memang laki laki yang baik.” Gumam nyonya Wijaya.
Lubna menganggukkan kepalanya setuju. Itulah yang membuat Lubna sangat mencintai pria itu. Riza mungkin tidak sempurna, tapi setidaknya Riza mau berusaha yang terbaik untuk membuat semua orang bahagia.
“Ya mah.. Itu sebabnya Una sangat mencintai Riza.” Senyum Lubna.
Ekspresi nyonya Wijaya berubah sesaat mendengar Lubna mengatakan hal tersebut. Wanita itu merasa tidak nyaman dengan apa yang putri bungsunya katakan mengingat siapa Riza sekarang. Apa lagi status Rana dan Riza sudah sah secara agama maupun hukum.
“Ya udah mah.. Una ke kamar ya.. Mau siap siap abis ini ada meet and great sama fans.”
Tidak mau Lubna menyadari perubahan pikiran nya, nyonya Wijaya pun buru buru mengembangkan kembali senyuman di bibirnya untuk putri bungsunya itu.
“Ya sudah.. Kamu hati hati ya sayang..” Ujar nyonya Wijaya mengusap lembut rambut panjang Lubna yang di gerai.
“Ya mah..” Angguk Lubna yang kemudian berlalu dari samping sang mamah.
Nyonya Wijaya menghela napas pelan menatap punggung Lubna yang semakin menjauh darinya. Wanita itu tidak mengerti kenapa pikiran nya tiba tiba berubah. Padahal di awal mereka sepakat bahwa Riza menikahi Rana hanya untuk sementara untuk kemudian menikah dengan Lubna. Namun seiring berjalannya waktu, nyonya Wijaya merasa tidak nyaman dengan hubungan Lubna dan Riza yang sebenarnya sudah lebih dulu terjalin. Nyonya Wijaya lebih mendukung Riza terus menemani Rana dan melupakan Lubna sebagai kekasihnya.
“Ya Tuhan.. Apa yang aku pikirkan. Lubna maafin mamah sayang..” Batin nyonya Wijaya merasa bersalah pada putrinya sendiri.
Nyonya Wijaya merasa dirinya sangat tidak adil karena sepakat dengan suaminya agar Riza lebih dulu menikah dengan Rana. Padahal kedatangan Riza malam itu adalah untuk meminta restu menikahi Lubna. Tapi tuan dan nyonya Wijaya malah menyuruh nya untuk lebih dulu menikahi Rana, putri sulungnya.
Nyonya Wijaya menghela napas. Wanita itu benar benar tidak bermaksud menyakiti salah satu dari kedua putrinya. Namun jika memikirkan kondisi Rana, baik nyonya maupun tuan Wijaya keduanya langsung berpusat pada kebahagiaan Rana yang usianya sudah di vonis tidak akan lama lagi itu.
Waktu terus berjalan, tidak terasa dua bulan berlalu. Hubungan Lubna dan Riza tetap terjalin dengan baik. Mereka juga sering meluangkan waktu berdua dengan sepengetahuan Rana. Rana yang memang menyadari bahwa pernikahan nya dengan Riza hanya sementara saja tentu tidak merasa keberatan sedikitpun. Rana justru selalu membantu Riza mempersiapkan hadiah untuk Lubna, adiknya. Rana mendukung penuh hubungan Riza dan Lubna.
Namun tidak dengan nyonya dan tuan Wijaya. Keduanya merasa tidak nyaman dengan hubungan Lubna dan Riza yang terlalu terang terangan. Mereka menganggap Riza dan Lubna seperti tidak menghargai pernikahan antara Riza dan Rana.
“Rana berangkat ya mah..” Senyum Rana bangkit dari meja makan setelah menghabiskan sarapan paginya.
Ya, mulai hari ini Rana akan kembali menjalani aktivitas nya di perusahaan tempat nya bekerja. Rana merasa dirinya sudah baikan karena tidak lagi mengeluh sakit kepala ataupun sakit di kulitnya saat di sentuh. Hampir satu bulan mengerjakan semuanya dari rumah membuat Rana merasa tidak enak hati pada pemilik perusahaan yang sudah mempercayakan kepemimpinan padanya. Apa lagi si pemilik juga sudah sangat baik dengan selalu memaklumi keadaan Rana.
“Ya sayang.. Hati hati ya.. Jangan lupa makan siang. Kalau kamu merasa tidak enak badan hubungi mamah atau papah, oke?”
Rana tertawa geli namun tetap menganggukkan kepalanya. Rana tau kedua orang tuanya sangat menyayangi nya. Mereka berdua sangat mengkhawatirkannya sehingga bersikap terlalu over.
“Ya mamahku sayang. Ya udah Rana pamit yah.. Lubna, kakak duluan ya..” Rana menatap Lubna yang masih menikmati sandwich nya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya.
“Oke.. Hati hati kak.” Balas Lubna tersenyum juga.
Rana hanya mengangguk saja. Setelah itu Rana berlalu dari meja makan meninggalkan adik dan kedua orang tuanya yang masih menikmati sarapan paginya.
Untuk Riza, pria itu sedang di luar kota sejak kemarin dan baru akan pulang besok malam. Itupun jika tidak ada perubahan jadwal.
“Ekhem, Una.. Boleh mamah sama papah ngomong sesuatu sama kamu?”
Lubna langsung berhenti mengunyah makanan dalam mulutnya begitu mendengar pertanyaan dari sang mamah. Gadis itu mengeryit merasa bingung karena pertanyaan tersebut.
“Mau ngomong apa mah?” Tanya nya pelan.
Nyonya dan tuan Wijaya saling menatap sesaat sebelum kembali menatap pada Lubna yang sedang menunggu apa yang hendak di pertanyakan padanya.
“Ini tentang kamu dan Riza.”
Lubna menelan makanan yang sudah selesai dia kunyah. Jika sudah menyangkut tentang dirinya dan Riza, pastilah juga menyangkut tentang Rana, kakaknya.
“Seperti yang kita semua tau nak, dari luar mungkin kakak kamu terlihat baik baik saja. Dia terlihat segar dan bugar. Dia seperti bukan orang penyakitan. Tapi kamu tau kan apa yang terjadi sebenarnya. Tubuh nya bahkan mengalami penurunan yang cukup drastis akhir akhir ini. Ingatan nya mulai melemah pertanda kanker yang ada di tubuh Rana semakin mengganas. Maka dari itu mamah sama papah minta sama kamu juga Riza untuk lebih menjaga perasaan kakak kamu. Mamah sama papah tau kamu dan Riza saling mencintai dan Rana, dia sama sekali tidak mencintai Riza. Itu jelas terlihat dari tatapan dan sikap Rana yang selalu santai saat melihat kalian bersama. Tapi setidaknya kalian sabarlah dulu, jangan terlalu mengumbar kemesraan di depan Rana. Yah.. Setidaknya sampai waktu itu tiba.” Suara nyonya Wijaya hampir tidak terdengar di akhir kalimatnya karena tidak kuasa menahan sesak dan sakit di dadanya.
Tuan Wijaya yang mendengar itu hanya diam saja. Sedangkan Lubna, dia menggelengkan kepalanya tidak menyangka mamah akan berpikir seperti itu. Padahal Lubna pikir semua nya tidak keberatan dengan kenyataan bahwa dirinya dan Riza masih berhubungan.
“Mamah mohon sama kamu sayang..” Lanjut nyonya Wijaya. Kali ini air mata sudah menetes membasahi kedua pipinya.
Lubna tidak tau harus berkata apa. Perasaan nya mulai kembali di lema antara meneruskan atau menyudahi saja hubungan nya dengan Riza demi kakaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments