Keadaan Rana benar benar sangat mempengaruhi hubungan Lubna dan Riza. Keduanya kembali berjarak karena Riza yang sibuk menemani dan memperhatikan Rana yang memang sedang sangat membutuhkan semangat dari orang orang di sekitarnya.
Lubna yang melihat kedekatan Riza dan kakaknya yang semakin terlihat intim itu hanya bisa menangis dalam diam. Lubna berusaha menutupi kecemburuan nya karena Lubna sendiri tau Riza melakukan itu untuk kebaikan kakaknya.
“Kamu nggak kerja?” Rana mengernyit melihat Riza yang berpakaian santai seperti hendak pergi. Itu tidak seperti biasanya mengingat setiap pagi Riza pasti selalu berpakaian rapi karena hendak bekerja.
“Aku ambil cuti hari ini.” Jawab Riza tersenyum.
Rana mengangguk paham. Dia berpikir mungkin Riza akan pergi dengan Lubna yang memang sedang libur syuting hari ini.
“Bagaimana kalau kita jalan jalan?”
“Hah?!” Rana kaget mendengar apa yang Riza tawarkan padanya. Detik berikutnya Rana tertawa. Bagaimana mungkin dirinya ikut dengan Riza dan Lubna yang akan jalan berdua. Yang ada dirinya akan menjadi pengganggu untuk keduanya nanti.
Riza yang melihat Rana tertawa mengernyit bingung. Riza tidak merasa sedang melawak namun Rana malah tertawa.
“Kok malah ketawa?” Tanya Riza menatap Rana heran.
“Ya abisnya kamu lucu sih. Kamu mau kan mau pergi sama Lubna. Masa iya aku ikut. Aku ya nggak mau dong jadi obat nyamuk.” Geleng Rana dengan sisa tawanya.
Riza tersenyum paham. Rana mungkin salah mengartikan maksudnya.
“Maksud aku kita jalan berdua. Bukan sama Lubna juga. Kan waktu itu aku sudah jalan sama Lubna. Sekarang gantian dong aku jalan sama kamu. Aku kan nggak cuma mau jalan sama pacar aku, tapi sama istri aku juga.” Kata Riza.
Rana tertawa geli. Mendengar Riza menyebut Lubna sebagai pacar dan dirinya sebagai istri rasanya sangat aneh. Jika orang lain pasti akan menjadi masalah, namun tidak untuk nya, Riza dan Lubna. Tentu karena mereka sama sama tau bahwa Cinta yang Riza miliki hanya untuk Lubna saja.
“Jangan bercanda. Lubna akan salah paham nanti.”
“Aku serius Ana..”
Rana terdiam. Ana adalah panggilan masa kecilnya dari kedua orang tuanya. Panggilan kesayangan yang hanya di lontarkan oleh mamah dan papahnya. Tapi sekarang Riza juga memanggilnya dengan sebutan tersebut.
“Kamu...”
“Mamah bilang kamu sangat suka di panggil Ana.” Sela Riza pelan.
Riza menghela napas pelan kemudian meraih kedua tangan Rana, menggenggamnya dengan sangat lembut. Ajaibnya Rana sama sekali tidak merasakan sakit dengan sentuhan Riza. Sebaliknya, Rana merasa nyaman dan terlindungi hanya dengan genggaman lembut kedua tangan suaminya.
“Aku bolehkan panggil kamu Ana?” Tanya Riza dengan tatapan lembut dan penuh perhatian pada Rana.
Rana menelan ludah. Sesaat dia merasa terlena dengan kelembutan serta tatapan penuh perhatian Riza padanya. Tapi kemudian Rana segera tersadar. Rana sadar dirinya tidak boleh berpikir terlalu jauh karena meski Riza adalah suami sahnya, namun Riza tetap lah kekasih dari adiknya, Lubna.
“Tidak, panggilan itu hanya boleh di lontarkan oleh mamah sama papah. Panggil saja aku seperti biasanya.” Ujar Rana kemudian.
“Baiklah kalau begitu.” Angguk Riza mengerti.
“Ya sudah kalau begitu aku tunggu kamu siap siap ya.”
“Tapi...”
“Sshhtt... Aku tidak menerima penolakan kali ini Rana.” Sela Riza yang benar benar serius ingin meluangkan waktunya untuk Rana hari ini.
Rana terdiam. Tidak ada yang bisa dia katakan sekarang meski dalam benaknya penuh dengan tanda tanya tentang kenapa tiba tiba Riza mengajak nya pergi berdua hari ini.
Selang beberapa menit Riza keluar, masuklah Lubna dengan senyuman manis yang menghiasi bibi berlipstiknya. Gadis itu melangkah cepat menghampiri Rana yang masih terdiam di tempatnya.
“Aku bantuin kakak dandan yah...”
Rana mengangkat sebelah alisnya tidak mengerti kenapa adiknya begitu sangat antusias.
“Tapi Lubna...”
“Aku tau kakak mau pergi sama Riza. Jadi hari ini kakak harus cantik. Oke?” Sela Lubna masih dengan sangat antusias.
“Tapi kamu...”
“Tenang saja, aku nggak akan marah kok. Kita kan saling percaya. Pacar aku adalah suami kakak. Kita harus bisa berbagi. Dengan begitu baru adil.” Sekali lagi Lubna menyela apa yang ingin Rana katakan. Meski sebenarnya apa yang Lubna katakan sangat berlawanan dengan kenyataan yang ada karena sebenarnya Lubna merasa cemburu dan keberatan dengan ide Riza mengajak Rana pergi berdua saja. Tapi Lubna juga tau itu demi kebahagiaan sang kakak sehingga seberat apapun itu Lubna akan tetap menerima nya.
“Sudah ayo sini aku dandanin.” Lubna melangkah menuju meja rias sang kakak. Dia mulai mengeluarkan semua alat make up milik Rana yang meskipun sangat lengkap namun tidak pernah di gunakan oleh Rana. Tentu karena Rana memang tidak terlalu suka berdandan. Rana lebih suka tampil sederhana dan apa adanya. Wajah cantiknya bahkan nyaris tidak pernah di polesi make up sehingga saat menjadi pengantin Rana membuat semua tamu undangan pangling.
Rana menghela napas. Dia melangkah pelan mendekat pada Lubna yang begitu semangat ingin membantunya untuk berdandan. Entah terbuat dari apa hati adiknya itu sehingga bisa begitu lapang dada menerima kenyataan bahwa kekasihnya menjadi suami sah kakaknya sendiri.
“Sini kak duduk.” Titah Lubna.
Rana menurut saja. Dia duduk di kursi di depan meja riasnya yang kemudian langsung di dandani oleh Lubna.
Tidak sampai 15 menit Lubna selesai mendandani kakaknya. Dia kemudian melangkah menuju lemari baju sang kakak, membukanya dan memilih gaun yang pas untuk sang kakak kenakan hari ini.
“Kakak coba pake yang ini deh.” Lubna menyodorkan dress warna pastel pada kakaknya. Lubna masih sangat ingat, dress itu adalah hadiah dari sang papah saat kakaknya berulang tahun. Dress dengan harga fantastis yang sekalipun tidak pernah di kenakan oleh Rana.
“Tapi ini dress lama Una... Pasti udah nggak muat. Terakhir kakak coba waktu mau acara di perusahaan tapi nggak muat.” Kata Rana dengan wajah sendu.
“Coba dulu saja kak.. Mungkin sekarang udah muat. Kakak tampak langsing sekarang.” Senyum Lubna memaksa.
Rana menghela napas kemudian menganggukkan kepalanya. Adiknya benar, berat badannya memang turun. Tidak ada salahnya dia mencoba dress yang di berikan sang papah.
Rana mengambil dress itu kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk mengganti bajunya. Benar saja, dress itu sudah kembali muat di tubuhnya.
“Kan muat.. Apa aku bilang. Kakak cantik banget loh kalau di dandanin.” Puji Lubna yang membuat Rana tertawa geli.
“Apaan sih berlebihan banget.”
Lubna ikut tertawa. Gadis itu kemudian menggiring kakaknya keluar dari kamar untuk menemui Riza yang sudah menunggu di bawah. Dan begitu keduanya turun ternyata disana juga ada kedua orang tuanya juga.
“Anak mamah sama papah cantik banget.” Puji nyonya Wijaya yang membuat Rana tersipu malu.
“Mamah bisa aja.”
Tuan Wijaya tertawa. Melihat putrinya yang begitu cantik dan bahagia membuat harapan besar itu muncul kembali. Tuan Wijaya berharap keajaiban dari Tuhan benar benar berlaku untuk putri sulungnya.
“Kalian berdua hati hati yah... Riza, mamah titip Ana yah...”
“Siap mah.. Riza akan jaga Rana dengan sebaik mungkin. Ya sudah kami berdua jalan ya mah pah..”
“Hati hati...” Senyum lebar Lubna melambaikan tangan mengiringi kepergian Rana dan Riza.
Nyonya dan tuan Wijaya tersenyum penuh harap menatap kepergian Rana dan Riza. Mereka berharap putrinya tidak patah semangat untuk bisa sembuh dari penyakitnya meskipun kemungkinan nya memang sangat kecil untuk Rana bisa sembuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments