Nyonya Wijaya melangkahkan kakinya satu demi satu dengan tatapan nanar. Wanita itu benar benar di lema sekarang harus membiarkan Lubna tetap berhubungan dengan Rana atau melarang nya. Sedangkan dia sendiri tau bahwa dari awal Riza memang adalah milik Lubna. Riza juga berniat menikahi Lubna sebenarnya bukan Rana, putri sulungnya. Namun menurut nyonya Wijaya kebersamaan Lubna dan Riza yang terlalu terbuka juga sangat tidak pantas untuk di teruskan. Terlebih mengingat Riza yang sudah berstatus sebagai suami dari Rana, putri sulungnya.
Begitu kakinya menapaki lantai dua rumah nya, nyonya Wijaya mengeryit ketika melihat Rana yang tampak kebingungan keluar dari kamarnya. Rana juga sesekali menoleh dan menyentuh apa saja yang ada di sekitarnya seperti sedang mencari sesuatu.
Karena penasaran, nyonya Wijaya pun memutuskan untuk mendekat pada putri sulungnya itu.
“Kenapa nak?” Tanya nyonya Wijaya yang langsung berhasil menarik perhatian Rana.
“Eh mamah..” Senyum Rana begitu manis saat nyonya Wijaya berdiri di hadapan nya.
“Aku lagi handphone aku mah.. Aku lupa naruhnya dimana.” Ujar Rana dengan ekspresi nya yang mendadak berubah sendu.
Nyonya Wijaya tertawa pelan. Wanita itu merogoh saku dress rumahan yang di kenakan nya meraih ponsel miliknya.
“Sebentar coba mamah telepon.” Katanya bermaksud membantu putri sulungnya.
“Oke..” Angguk Rana setuju saja.
Begitu nyonya Wijaya menghubungi nomor Rana, deringan ponsel yang begitu sangat nyaring terdengar dari dalam kamar Rana. Itu adalah deringan ponsel milik Rana.
Rana yang mendengarnya segera masuk kembali ke dalam kamar di ikuti oleh nyonya Wijaya di belakangnya yang masih terus menghubungi ponsel Rana.
“Itu di kasur sayang...” Ujar nyonya Wijaya saat melihat ponsel milik Rana yang ternyata ada di samping guling di atas ranjang berseprei ungu motif Rana.
“Oh ya ampun.. Aku cari cari dari tadi nggak ketemu mah. Ternyata diatas kasur.” Tawa Rana yang kemudian melangkah menuju ranjang. Rana meraih ponsel miliknya karena memang ada hal penting yang harus Rana lakukan menggunakan benda pipih itu.
Sementara nyonya Wijaya, wanita itu merasa aneh karena perkara menaruh ponsel diatas tempat tidur saja putrinya bisa sampai lupa. Apa lagi saat mencarinya tadi Rana seperti orang yang sedang sangat kebingungan.
Baru saja Rana menyentuh ponselnya, namun tiba tiba dia menutup mulutnya dan berlari dengan cepat menuju kamar mandi. Rana juga mencampakkan begitu saja ponsel yang baru dia temukan dengan bantuan mamahnya.
Nyonya Wijaya yang khawatir segera mengikuti putrinya yang ternyata muntah muntah di kamar mandi. Dengan sangat lembut nyonya Wijaya mengusap usap punggung Rana yang membungkuk di wastafel kamar mandinya. Akhir akhir ini memang Rana terlihat berbeda dan sering mengeluh sakit pada kepalanya. Beberapa kali nyonya Wijaya membujuk agar Rana segera mengecek kondisinya ke dokter, namun Rana selalu saja menolak dengan alasan dirinya sibuk dan pekerjaan nya tidak bisa dia abaikan begitu saja.
“Ayo mamah bantu.”
Rana mengangguk saja. Tubuhnya terasa sangat lemas dan kepalanya pusing setelah muntah muntah. Rana sendiri tidak tau kenapa hari ini dirinya sering sekali merasa mual kemudian muntah. Bahkan saat sedang rapat tadi Rana juga merasakan nya yang membuat Rana terpaksa harus menunda rapat yang siang tadi sudah berjalan.
Rana di papah oleh nyonya Wijaya keluar dari kamar mandi. Dengan sangat pelan dan hati hati nyonya Wijaya memapah putri sulungnya itu menuju ranjang dan kemudian membantu Rana berbaring di sana.
“Kita ke dokter ya kak ya.. Mamah takut kamu kenapa napa.” Ujar nyonya Wijaya yang mati matian menahan tangisnya. Wanita itu selalu di hantui rasa takut yang amat sangat besar jika mengingat penyakit putrinya yang sudah parah. Penyakit yang memang sudah di derita oleh Rana sejak kecil.
“Aku nggak papa kok mah. Mungkin cuma kecapean aja. Tidur sebentar juga pasti aku akan baikan.” Senyum Rana yang memang tidak mau membuat mamah juga papahnya khawatir.
Rana sendiri sadar penyakit nya memang sangat mustahil untuk sembuh. Apa lagi dia menderita penyakit tersebut juga sejak kecil. Dengan dirinya bisa bertahan sampai dewasa saja itu sudah sangat hebat.
“Tapi kamu pucat sekali sayang..” Lirih nyonya Wijaya yang akhirnya tidak bisa menahan air mata yang sejak tadi membuat pandangan nya mengabur.
“Aku nggak papa mah. Aku kan kuat. Percaya sama aku. Aku baik baik saja.” Rana meyakinkan mamahnya bahwa dirinya baik baik saja. Namun itu tidak berhasil karena mamahnya tetap saja menangisi kondisinya.
“Kak kamu...”
“Ssshhh...” Rana meringis saat nyonya Wijaya menggenggam tangan nya. Entah kenapa kulitnya terasa sangat sakit saat di sentuh oleh mamahnya.
“Kenapa sayang? Katakan sama mamah mana yang sakit?” Nyonya Wijaya yang khawatir tidak menyadari bahwa sentuhan tangan nya di kulit Rana membuat Rana kesakitan.
“Awh.. Mah sakit mah...”
Rana mengeluh kesakitan memegangi kulitnya yang di sentuh oleh sang mamah. Saat itulah nyonya Wijaya menyadari bahwa kesakitan yang di rasakan oleh putrinya adalah akibat dari sentuhan tangan nya.
“Ya Tuhan..” Nyonya Wijaya segera menjauhkan tangan nya dari lengan putrinya. Wanita itu menutup mulutnya terkejut karena sentuhan lembutnya bahkan membuat Rana kesakitan.
Khawatir setengah mati dengan keadaan putrinya, nyonya Wijaya pun segera menghubungi suaminya yang memang belum pulang dari perusahaan nya. Wanita itu memberitahukan tentang keadaan putrinya pada tuan Wijaya yang membuat tuan Wijaya segera bergegas pulang dan tidak perduli lagi dengan pekerjaan nya.
Dengan sangat membabi buta tuan Wijaya mengendarai mobilnya. Pria itu sama sekali tidak memikirkan akibat fatal yang akan dia alami karena kebut kebutan di jalanan yang masih ramai malam itu. Itu semua karena rasa khawatirnya terhadap kondisi Rana sekarang. Yang ada di dalam pikirannya hanya dirinya harus segera sampai di rumah untuk melihat keadaan putri sulungnya detik itu juga.
Dalam waktu yang sangat singkat tuan Wijaya sampai dengan selamat di kediaman nya. Pria itu bergegas menuju lantai dua dimana kamar putrinya berada. Begitu sampai disana, tuan Wijaya menggeleng melihat istrinya yang menangis sembari terus menenangkan putri sulung mereka yang mengeluh sakit.
“Apa yang terjadi mah?” Tanya tuan Wijaya yang langsung bercucuran air mata begitu melihat kondisi memperihatinkan putrinya.
“Mamah juga nggak tau pah. Tapi tadi Rana Tiba tiba muntah muntah. Mamah bantu Rana berbaring dan pas mamah sentuh tangan nya Rana mengeluhkan sakit...” Jawab nyonya Wijaya sambil menangis. Ingin sekali dia merengkuh tubuh putrinya namun itu tidak mungkin karena Rana saja sudah kesakitan hanya karena sentuhan nya.
Tuan Wijaya menelan ludah. Pria itu menangis dalam diamnya. Merasa tidak mungkin membopong tubuh Rana untuk dibawa ke rumah sakit, tuan Wijaya pun memilih untuk menghubungi dokter yang sudah biasa menangani Rana agar secepatnya datang ke rumahnya untuk memeriksakan keadaan Rana.
-------------
Di tempat lain, Riza dan Lubna sedang berdansa setelah selesai makan malam. Ya, Riza memang sengaja membooking restoran untuk makan malam romantis mereka berdua. Semua itu Riza lakukan untuk menyenangkan hati kekasih pujaan hatinya.
“I love you sayang.. I love you so much.” Bisik Riza pada Lubna.
Lubna tersenyum bahagia mendengarnya. Pernyataan cinta Riza selalu menjadi syair paling indah yang dia dengar. Di tambah lagi dengan tatapan lembut penuh cinta Riza yang selalu membuatnya hanyut dalam keindahan cinta yang mereka jalani.
Cup
Sedetik kemudian bibir keduanya menyatu. Mereka berciuman dengan begitu lembut dan penuh cinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments