Sebelum Gelap Jatuh
“Aku tahu betul akibat dari menggantungkan harapan. Namun sayangnya aku masih nekat untuk melakukannya.”
...-Zelia Safa Tsuraya-...
Semerbak harumnya bunga menusuk ke indra penciumannya. Hembusan angin menyapu wajah cantik milik seorang gadis yang terlalu asik berperang dengan pikirannya
sendiri. Ia begitu khusyuk dalam lamunannya dengan sesekali menghela nafas dan kemudian menengadah membawa ingatannya ke kejadian beberapa tahun silam.
“Semoga betah ya, Safa! Selamat berkumpul kembali dengan keluarga kandungmu.” Seru seorang wanita paruh baya yang mengenakan tudung biru itu.
Anak perempuan berusia 12 tahun itu menampilkan cengiran andalannya, tampaknya hatinya sangat bahagia hari ini. “Iya, Bu. Safa Pamit ya,” riangnya sembari
menyalami tangan wanita paruh baya itu.
“Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih banyak karna ibu sudah mau merawat Safa selama ini, maaf jika Safa sering membuat masalah selama di sini, Bu.” Ucap Maudy, mama kandung Safa.
Ibu panti tersenyum menanggapi ucapan orang tua Safa, “enggak ada yang perlu dimaafkan, Bu. Karena Safa tidak pernah menyusahkan saya di sini, dia anak yang baik kok.” Balasnya.
Orang tua Safa melempar pandang satu sama lain kemudian mengangguk, “ya sudah, kami pamit, Bu. Ayo, Fa!” Ujar ibunya Safa berpamitan seraya membawa Safa
memasuki mobil menyusul suaminya yang sudah terlebih dulu berada di sana.
Wanita paruh baya bertudung biru yang tak lain adalah ibu panti itu menerbitkan seutas senyumannya ketika melihat betapa riangnya gadis belia yang selama ini ia asuh
setelah bertemu keluarganya . Namun di lubuk hatinya, tersisip kekhawatiran mengingat bagaimana dulu orang tuanya Safa membuang anaknya secara sengaja ke panti itu.
“Semoga kamu bahagia, Safa. Semoga mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama.” Ucapnya membatin seraya membalas lambaian tangan Safa yang mulai hilang dari penglihatannya.
Mobil yang ditumpangi Safa melaju membelah jalanan Ibu Kota, di dalam mobil hanya ada keheningan, tidak ada satu pun yang angkst bicara. Safa yang masih canggung pun ikut diam, ia takut berbuat salah nantinya. Beberapa waktu berlalu, kini mobil yang mereka tumpangi sampai di depan sebuah rumah berlantai 4 bergaya Eropa dengan nuansa
putih. Mata Safa membola memandang takjub rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai saat ini. Safa yang melihat papa dan mamanya turun, ia pun bergerak menyusul
mereka.
“Papaaa mamaaa! Akhirnya kalian pulang juga, aku kangen. Masa aku ditinggal sendirian di rumah.” Seru seorang anak perempuan yang tiba-tiba muncul dari dalam bangunan itu, kemudian langsung menghambur ke pelukan pria paruh baya yang sedari tadi bersama Safa.
Safa yang melihat itu langsung tersenyum, oh ayolah berati sekarang ia memiliki seorang adik. Ia sangat senang membayangkan bagaimana hari-hari kedepannya yang akan
ia jalani bersama adiknya itu.
Bagas langsung mengelus kepala sang putri yangt mengerucutkan bibirnya itu, “ututu, si cantiknya papa. Jangan cemberut donk sayang, nanti jadi jelek loh!” celetuknya
berusaha membujuk putrinya itu yang dibalas jururan lidah dari anaknya.
“Loh loh loh, tadi mama dengar ada yang manggil mama juga, tapi kok yang dipeluk Cuma papanya ya?” Ucap Maudy menyindir putrinya sembari berpura-pura berpikir.
Anak perempuan yang merasa disindir itu langsung menghampiri sang mama dan memeluknya, “Hehe, maaf, Ma!” cengirnya dengan menampilkan gigi gingsulnya, membuat ia terkesan manis.
Disisi lain, Safa yang melihat keharmonisan keluarganya itu merasa sedikit iri dengan adiknya itu. Bagaimana tidak, ia saja yang baru ditemukan di panti asuhan tidak mendapatkan sebuah pelukan pun dari kedua orang tuanya. Sementara adiknya yang ditinggal sebentar saja langsung disambut dengan pelukan hangat dari papa dan mamanya.
Ketiga manusia berbeda umur itu melangkah memasuki tempat tinggal mereka dengan sesekali tertawa karena candaan yang membuat perut mereka tergelitik. Safa
tersenyum getir melihat pemandangan di depannya ini, lihatlah bahkan mereka tidak ingat dengan kehadiran Safa di sini.
Perlahan tapi pasti, gadis belia itu melangkahkan kakinya mengikuti keluarganya. Mata Safa tak henti-hentinya memandang takjub kemewahan desain kediaman orang tuanya ini.“Ini mah hotel sih kayaknnya, bukan rumah lagi.” Gumamnya lirih.
Mereka berhenti di ruangan yang Safa yakini sebagai ruang keluarga, ia kembali mengedarkan pandangannya ke segala penjuru rumah hingga terhenti di satu titik. Lagi-lagi
ia tersenyum getir melihat sebuah figura besar yang berisikan foto ketiga orang yang terlihat sangat harmonis itu. “ternyata sebahagia ini mereka tanpa kehadiranku,” bisiknya membatin
sedih, namun segera ia enyahkan.
“Pa, dia siapa?” Tanya anak perempuan yang sedari tadi sibuk bercanda dengan papanya. Safa sontak mengalihkan pandangannya ke sumber suara tersebut. Ia memutar
bola mata jengah, oh ayolah sepertinya anak itu baru sadar akan kehadirannya di sana.
Sepasang suami istri itu saling melempar pandangan seperti meminta persetujuan. Kemudian sangat suami menyamakan tingginya dengan anak perempuan yang tadi bertanya,
lalu menjawab, “kenalin dia kakak kamu, Ica. Papa sama mama baru saja menjemputnya dari panti.”
Anak perempuan itu tampak tak suka, sangat kentara dari raut wajahnya yang tampak tak bersahabat. Ia menoleh menatap sang papa, “kalau dia udah di panti dari dulu,
kenapa harus dijemput lagi sih, Pa? Aku nggak sudi punya kakak, aku mau jadi satusatunya anak papa sama mama.” Ujarnya kesal kembali menatap sinis ke arah kakaknya.
Deg
Safa merasa ada sesuatu yang menghantam sudut hatinya, ekspektasi-ekspektasi tinggi yang sebelumnya sempat ia bayangkan runtuh seketika. Bagaimana tidak, baru
perkenalan saja ia sudah ditolak mentah-mentah, lantas apalagi yang harus ia harapkan dari keluarga ini. Safa tetap berusaha tersenyum saat melihat papa dan mamanya berusaha membujuk putri kecil mereka itu.
“Safa, sini kamu!” Seru sang mama menyentaknya dari lamunannya. Dengan langkah ragu ia berjalan menghampiri keluarganya, walaupun ia dapat merasakan ada
tatapan tidak suka yang sedari tadi mengintimidasinya.
Wanita paruh baya itu menatapnya sebentar seolah memberi isyarat agar ia berkenalan dengan sang adik. Safa menurutinya dan mulai mengulurkan tangannya, tak lupa dengan senyum tulus yang terpatri di bibirnya. “Kenalin aku Zelia Safa Tsuraya, Panggil aja Safa. Kalau kamu?” Ucap Safa menatap seorang anak perempuan yang mungkin berusia tiga tahun dibawahnya.
Sementara yang ditatap malah memasang wajah dingin, “Clarisa,” celetuknya tanpa berniat membalas uluran tangan kakaknya. Safa berusaha untuk tetap mempertahankan
senyumnya walaupun kondisi hatinya sungguh tidak sedang baik-baik saja.
Terdengar helaan nafas dari orang tuanya, “namanya Clarisa Aindy. Panggil saja Ica,” ujar sang mama bermaksud memperjelas. Safa mengangguk pertanda mengerti, “salam
kenal I...” “aku nggak sudi dipanggil Ica olehmu, panggil aku Clarisa.” Ucap Ica memotong perkataan Safa dan lagi-lagi ia hanya mampu mengangguk dan tersenyum membalas ucapan sang adik.
Safa hanya bisa tersenyum masam, “ah tak apalah, ini kan baru awal dan pastinya masih banyak kesempatan lain agar aku bisa mengambil hatinya hingga ia mau menerimaku
sebagai kakaknya.” Ucapnya membatin.
Gadis itu tersenyum getir mengingat saat pertama kali ia memasuki rumah ini. Tidak ada sambutan ataupun pelukan hangat yang menantinya. Hanya ada keterpaksaan dan
kepalsuan yang ia terima. Saat itu mungkin ia masih bisa baik-baik saja karena ia sempat menyangka kedua orang tuanya menerima kepulangannya dengan tulus, tidak seperti sang adik. Ternyata setelah beberapa hari berlalu, semuanya berubah hingga ia mengerti bahwa hanya ada kepalsuan dan keterpaksaan yang menemani hari-harinya di sini.
Pandangannya melayang menatap semburat jingga di bibir langit tepat lurus di depannya. “Aku sungguh selalu menanti senjamu, Tuhan. Tapi aku sangat membenci kegelapan yang engkau hadirkan setelahnya.” Gumamnya lirih.
...
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
ndaaa
bismillah ..baru mampir sepertinya ada bau2 tebaran bawang nkedepannya thor..awalan yg menarik
2023-11-07
0