...“Mereka perhatian, tapi aku tetap merasakan kehampaan. Orang lain mungkin mengira ini nyata, namun aku tau semua ini hanyalah fatamorgana semata”...
...-Zelia Safa Tsuraya-...
Canda tawa masuk ke dalam pendengaran seorang gadis yang menghentikan langkahnya di pintu utama rumahnya, ah bukan, lebih tepatnya rumah orang tuanya. Seketika garis bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman, bahagia sekali tampaknya mereka tanpa kehadiran dirinya. Lagi-lagi ia harus tertampar kenyataan bahwa seharusnya ia tidak pernah hadir disini hingga merusak kebahagiaan mereka.
Ia menghela nafas perlahan, ia ingat akan pesan papanya tadi pagi untuk tidak membuat masalah, itu berarti ia harus bersikap sebagaimana mestinya seorang anak yang baru pulang dari sekolahnya. “huft, semangat Safa!” gumamnya menyemangati dirinya sendiri.
Perlahan tapi pasti ia melangkahkan kakinya kearah sekumpulan orang yang sedari tadi menjadi sumber perhatiannya. “assalamu’alaikum semua, Safa pulang!” serunya berusaha seakrab mungkin dengan keluarganya.
Semua orang yang ada disana sontak mengalihkan pandangannya ke asal suara, “wa’alaikum salam, sayang. Ternyata kamu uda gede aja ya! Makin cantik lagi.” Celetuk seorang wanita yang sudah menginjak umur 60 tahun-an namun masih awet muda. Dia adalah omanya Safa. Tidak lupa dengan pelukan hangat yang mengiringi pujiannya itu. Safa sempat terkejut, namun tak lama ia langsung membalas pelukan sang oma.
Setelah pelukan mereka terurai, Safa bergegas mengambil tangan wanita itu lalu menciumnya, tidak lupa juga dengan tangan kedua orang tuanya, dan terakhir dengan ragu ia mengulurkan tangannya kepada sang adik. Ia kira adiknya tidak akan bersedia menyalami tangannya, tapi ternyata Clarissa dengan santai melakukannya, bahkan ia tersenyum manis yang membuat Safa bergidik ngeri. Oh ayolah, gadis itu tidak terbiasa dengan interaksi asing seperti saat ini, apalagi hanya didasari dengan keterpaksaan. “sungguh memuakkan,” batinnya mengeluh.
“kamu baru pulang, pasti capek banget kan, sayang? Ganti bajumu dulu gih! Habis itu makan, trus istirahat.” Ujar maudy sembari mengelus kepala sang anak perhatian.
Entah mengapa Safa tiba-tiba membeku mendengar nada lembut dari mamanya untuk pertamakalinya, hatinya sedikit tenang namun semakin sakit saat teringat bahwa ini hanyalah acting semata. Gadis itu mengulas senyum tipis, “iya, ma. Papa, oma, dek, aku ke atas dulu ya.” Ucapnya kemudian melangkah dengan cepat menaiki tangga tanpa ,enunggu jawaban dari yang lainnya.
Oma yang melihat itu seketika bingung, ia merasa ada yang janggal dengan keluarga ini. Darimulai mengapa Safa dan Clarissa tidak pulang bersamaan, hingga tentang sikap Safa yang seolah ragu bahkan gugup Ketika berinteraksi dengan orang tua dan adiknya. “Dia kenapa, Maudy?” tanyanya memancing reaksi dari anak semata wayangnya.
Maudy hanya menampilkan senyum tipis, “mungkin dia kecapean kali, ma” ujarnya dengan nada tak yakin. lalu ia Kembali bercanda dengan anak bungsunya.
Oma yang menangkap nada bicara anaknya itu semakin memicing curiga, “apa selama ini masih belum ada kemajuan sama sekali?” gumam oma dalam hati.
Disisi lain, seorang gadis tengah melamun menatap pemandangan dari balkon kamar barunya. Tadi saat ia baru menginjakkan kaki di depan gerbang rumahnya Bi Titin memberitahunya bahwa mulai hari ini ia akan menempati kamar disebelah kamar adiknya. Ia tidak terkejut sama sekali, ia sudah menebak hal ini. Mana mungkin kedua orang tuanya membiarkan oma mengetahui bahwa selama ini mereka menyuruh Safa tidur di kamar belakang, kamar asisten rumah tangga di rumah ini.
Seharusnya saat ini safa senang saat kedudukannya dengan Clarissa secara tidak langsung sudah sama di sini. Namun sayang, semua itu hanya bayang-bayang, tidak akan bertahan lama.
“Haha, gua mikirin apa sih? udah jelas gua nggak seharusnya disini, tapi gua malah nggak tau diri dan ingin mendapatkan posisi sebagai putri mereka.” Monolognya sambal tertawa hambar.
Setetes airmata jatuh dipunggung tangannya, “aneh ya? Gua padahal ketawa, kok yang hadir malah airmata? Dasar hati, kenapa lo terlalu baper sih?” ucapnya menertawakan dirinya sendiri.
Lama melamun, tidak terasa langit mulai menjatuhkan bebannya. Gadis itu mulai menjulurkan tangannya merasakan tetesan air yang mulai terkumpul di telapak tangannya. “Allah, apa aku bisa setabahnya? Jujur kejutan demi kejutan yang Engkau berikan cukup membuatku tersiksa.” Gumamnya lirih sambil memejamkan mata.
Oma yang sedari tadi melihat dan mendengar perkataan Safa seketika merasa sesak, “ternyata benar,” gumamnya membatin kemudian memututskan untuk pergi dari sana.
...***...
Dentingan sendok terdengar samar dan bersahutan di ruangan yang di dominasi dengan warna putih dan abu-abu itu. Semua anggota keluarga disana makan dengan tenang, tanpa berani membuka suara.
Keheningan itu tidak berlangsung lama saat semuanya sudah menyelesaikan ritual makannya. “Safa, Ica, Oma bawain oleh-oleh loh buat kalian.” Ujarnya lembut.
Mendengar hal itu, Clarissa langsung mendekati sang oma, “iyakah? Oma bawain apa buat ica?” tanyanya semangat.
Oma tersenyum, lalu mengammbil dua paper bag berwarna hitam dan peach itu. Kemudian ia memberikan yang warna hitam kepada Clarissa dan yang warna peach untuk Safa yang sedari tadi hanya tersenyum menanggapinya, “semoga kalian suka, ya?” kata oma dengan penuh harap.
Clarissa langsung membuka paper bag itu dengan tergesa-gesa, wajahnya berbinar menatap gaun hitam elegan namun tampak mewah, “wow, makasih oma!” serunya senang sembari memeluk sang oma yang dibalas dengan elusan lembut di kepalanya.
Oma mengalihkan tatapannya kea rah Safa, “buka donk sayang,” titahnya. Safa mengangguk lantas membuka paper bag itu, “wah, bagusnya, makasih banyak oma.” Ucapnya sembari memperhatikan gaun bewarna peach selutut dengan bahu atas yang terbuka. Ditambah dengan mutira-mutiara yang menghiasi pinggangnya.
Clarissa melihat itu seketika tak terima, ke,udian merebut gaun itu dari tangan sang kakak, “oma, aku lebih suka yang ini,” ucapnya memberenggut.
Sang oma menghela nafas, “oma sengaja memilihkanmu yang tidak terlalu terbuka karna umurmu masih kurang pantas untuk berpakaian seperti itu, Ica.” Ujarnya memberi penjelasan pada sang cucu. Namun bukannya malah menerima, Clarissa jutru semakin memberenggut.
Safa yang malas melihat adegan di depannya ini kemudian anngkat bicara, “tidak apa oma. Biarkan itu untuk Ica saja, lagian aku lebih suka warna hitam.” Safa tak berbohong, ia memang lebih suka warna hitam dan gaun yang tidak terlalu terbuka.
Clarissa bersorak senang, ia kemudian melempar asal-asalan gaun berwarna hitam itu pada safa dan Kembali ke tempat duduknya. Untung Safa dengan sigap menangkapnya, kalua tidak bisa dipastikan gaun itu sudah terletak mengenaskan di lantai.
Oma menggeleng-geleng melihat tingkah cucu paling bungsunya yang kurang beradap, “ica, lain kali jaga sikap kamu. Dan untuk kalian berdua, besok pakai gaun itu ke acara teman bisnis almarhum opa kalian besok.” Titahnya yang langsung mendapat anggukan dari kedua cucunya.
Tanpa mereka sadari, salah satu gadis itu tengah merencanakan sesuatu. “kita lihat nanti apa kau bisa pergi atau nggak,” batinnya sembari menampilkan senyum samar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments