...“Hidayah itu tidak muncul dari arah mata angin. Namun ia muncul di hati seseorang dikehendaki oleh sang pencipta.”...
...-Zelia Safa Tsuraya-...
Seorang gadis tengah berdiri di balkon kamarnya, tempat favoritnya jika sedang di mansion itu. Ia baru balik dari kamar sang oma untuk mengecek keadaan beliau. Semenjak Oma sakit, ia jadi kehilangan sandaran. Biasanya kalau ada apa-apa ada oma yang selalu menghiburnya. Tapi sekarang jangankan menghibur Safa, untuk sekedar tersenyum saja beliau sudah susah. Untungnya papa dan mamanya menggaji seorang perawat untuk membantu oma, kalau tidak Safa tidak akan pernah tenang.
”sebenernya kita tuh nggak sendiri, kita punya Allah untuk tempat mengadu. Kita juga masih punya bumi yang luas untuk kita bersujud, insya Allah ketenangan itu akan datang sendirinya.” Ucapan Jihan waktu itu tiba-tiba berputar-putar di kepalanya. Sebenarnya sudah sejak lama terbesit niat untuk berubah, namun keinginan hati itu selalu saja bisa di redam oleh overthingkingnya yang mengatakan ia belum siap.
Lama berkecamuk dengan fikirannya, ia memutuskan untuk menghubungi sahabatnya itu di kamar.
“Assalamu’alaikum, tumben lo nelpon gua. Kangen ya lo?
Safa masih membisu, ia ragu sekaligus malu untuk menyampaikan maksudnya.
“Halo, hoiii! Ck, mlah ngomong sendiri gua. Gua matiin nih?”
“Wa’alaikumsalam, khem, itu gua mau minta lo nemenin gua ke mall hari ini, bisa?”
“Tumben, nggak biasanya lo mau shoping gini?”
”Hmm, gua mau beli hijab, gamis dan seragam baru.”
”Hah? Tunggu-tunggu, apa tadi?”
“Is, mau nggak?”
“Hehe, ashiap otw, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam,”
Safa menggeleng menatap panggilan di ponselnya yang sudah lebih dulu diputuskan sepihak. Ia yang menelpon, eh sahabatnya yang mematikan. Ia segera bersiap sebelum sahabatnya itu datang menjemput.
Saat ini Safa dan Jihan sudah sampai di salah satu pusat perbelanjaan di kotanya. Toko yang pertama mereka datangi adalah toko perlengkapan muslimah, mulai dari rok, gamis, blus, jilbab, hingga kaos kaki pun diborong oleh Safa. Setelahnya mereka pergi ke toko perlengkapan sekolah untuk membeli seragam baru buat Safa. Hingga tak terasa hampir 3 jam mereka berkeliling di tempat perbelanjaan itu.
Jihan yang tadinya exited sudah mulai lelah, “Fa, laper nih,” adunya pada sang sahabat. Safa yang merasakan hal yang sama langsung mengajak sahabatnya itu memasuki salah satu restoran di sana.
“Huft, capek juga ya, Fa.” Ujar Jihan membuka suara setelah memesan makanan. Safa mengangguk membenarkan ucapan sahabatnya itu, “btw, thanks ya udah nemenin gua,” ucap Safa tulus.
“Nggak ikhlas gua, gua mau bayaran,” balas gadis itu dengan tampang terpaksa. Sontak Safa mengernyit heran dengan tingkah sahabatnya itu. Seketika Jihan merubah raut wajahnya jadi tersenyum tulus, “gua mau sebagai bayarannya lo harus janji ke diri lo sendiri, apapun yang terjadi nanti baik itu ada gua atau enggak, lo nggak boleh lepasin apa yang udah lo pasang. Lo paham kan maksud gua?” lanjutnya memperjelas.
...***...
“Masya Allah, ini teh beneran non Safa?” tanya bi Titin saat melihat putri sulung keluarga Sanjaya itu mengenakan seregam yang longgar tidak lupa dengan hijabnya yang terulur menutupu punggu dan dadanya.
Safa tersenyum, “iya bi, ini Safa. Safa mohon doanya ya bi, semoga safa bisa istiqomah menjalankan kewajiban ini,” balasnya menatap sang bibi. “o iya bi, oma sudah bangun belum, bi?” lanjutnya bertanya.
Safa beranjak ke kamar sang oma setelah mendengar dari bi Titin bahwa oma sudah bangun. ia membuka pintu kamar beliau, kemudian mendekat ke arah sang oma yang kini menatapnya sembari tersenyum. Ia berlutut di depan kursi roda wanita itu, “oma, hari ini Safa memutuskan untuk menuruti kata hati Safa. Mohon doanya ya oma, semoga semua ini adalah awal yang lebih baik dan semoga Safa bisa istiqomah dengan keputusan Safa ini,” ucapnya sembari menyalimi kedua tangan oma yang sedang memandangnya dengan tatapan berkaca-kaca.
“ka-mu past-i bii-sa,” balas oma terbata-bata. Safa memeluk tubuh lemah wanita itu, lalu berpamitan. Saat ia melewati meja makan, ia mendapati keluarganya memandangnya dengan pandangan yang berbeda-beda. Namun ia berusaha acuh dan berlalu karena semenjak insiden ia pulang malam waktu itu, hubungan keluarganya tambah renggang.
Langkah gadis itu terhenti ketika sang adik membuka suara, “dah hamil ya? Makanya make pakaian kelebihan bahan itu biar nggak ketahuan busuknya.”
Safa terus beristighfar dalam hati apalagi saat mendengar mamanya ikut mengangkat suara, “bener yang dikatakan Ica, Fa?”
Safa menoleh kemudian tersenyum, “Safa jawab iya atau nggak bukannya nggak akan bisa merubah dugaan kalian, bukan?” ucapnya melenggang pergi mengabaikan teriakan mamanya yang kepalang kesal. “ini baru awal, Fa. Semangat untuk pujian-pujian berikutnya,” monolognya menyemangati dirinya sendiri.
Tanpa ia sadari, Clarissa sudah menyiapkan satu kejutan untuknya di sekolah. Ia sudah tau perubahan kakaknya hari ini karena kemarin ia tidak sengaja menguping perbincangan kakaknya dengan sahabatnya saat mereka telponan. “Well, mari kita liat apakah sahabat lo itu bisa percaya ke elo atau enggak?” batinnya senang.
Di sisi lain, Jihan yang sudah tak sabar menunggu keadatangan sahabatnya dibuat bingung dengan keramaian yang terjadi di depan mading sekolahnya. Jiwa keponya mendadak terpencing, ia mendekan ke kerumunan tersebut. Namun belum sempat ia melihat berita itu, ia malah dikagetkan oleh salah satu perkataan sisiwi disana, “lo nggak kayak Safa juga kan?” Pertanyaan itu membuatnya bingung, apa maksud gadis itu. ia lantas membelah kerumunan dan membaca berita yang membuat ia tidak bisa berkata-kata. Disana terpampang jelas beberapa foto sahabatnya denngan berbagai situasi, mulai dengan sahabatnya yang seperti di peluk laki-laki sampai foto sahabatnya keluar dari ruangan dokter kandungan. Foto itu jelas, Jihan tau bahwa itu bukan editan. Dibawah foto itu tertera kata-kata yang membuat ia kecewa dengan Safa. “Ternyata ini alasan lo mau berubah secara tiba-tiba, Fa,” batinnya kecewa dan segera berlari meninggalkan tempat itu.
Safa yang sudah sampai di sekolah di sambut dengan pandangan mencibir dari para murid. Ia sempat merasa janggal kenapa mereka serentak menghinanya dengan embel-embel perempuan murahan, namun ia langsung membuang fikkiran itu. Tujuannya sekarang adalah menemui sahabatnya, ya siapa lagi kalau bukan Jihan.
Gadis itu mengembangkan senyumnya saat melihat sahabatnya duduk sendirian dilapangan sekolah. Ide jahilnya mmuncul untuk mengagetkan gadis itu, namun gadis itu lebih dulu membuka suara,”nggak usah deket-deket gua, gua nggak punya temen yang nggak punya harga diri,” ucapnya menohok. Gadis itu bangkit hendak meninggalkan Safa, namun safa lebih dulu menahan tangannya. “Lo kenapa? Gua ada salah sama lo?” tanyanya bingung, setaunya kemarin mereka masih baik-baik saja. Mengapa sekarang seperti ini.
Jihan menghempas tangannya, ia menatap Safa dngan pandangan yang sulit diartikan. “Gua? Kenapa? Lo yang kenapa? Kenapa lo berubah? Kenapa lo bohongin gua? Kenapa lo lakuin hal itu padahal lo udah merasakan penderitaan akibat sebuah insiden menjijikkan itu?” tanyanya penuh emosi. Ia tersenyum sinis saat melihat sahabatnya terdiam, “kenapa lo? Kaget ya gua tau darimana? Tuh lihat di mading, semua orang juga udah tau, Fa. Gua malu punya Sahabat kayak lo!” lanjutnya sebelum pergi.
Ucapan itu berhasil meruntuhkan pertahanannya, airmatanya jatuh begitu saja. Ia masih tidak mengerti apa maksud sahabatnya itu, tapi ia tau ia bisa menemukan jawaban itu di mading sesuai dengan ucapan sahabatnya tadi. Tanpa menunggu lama ia segera berlari menuju mading, ia menghiraukan berbagai tatapan dan tanggapan para murid yang dilemparkan kepadanya. Setibanya disana, ia melihat seorang kai-laki yang sangat ia kenali beranjak dari tempat itu tepat saat mellihat dirinya menuju ke sana.
Mata gadis itu membola kala melihat berita tentang dirinya di mading, pantas saja sedari awal semua murid disini menatapnya dengan begitu hina. Ia langsung merobek kertas itu dengan penuh emosi, ia bingung siapa yang setega ini memfitnahnya. Namun satu hal yang ia tahu, orang ini adalah dalang dibalik insiden malam itu. “Apa dia juga percaya setelah melihat berita ini tadi? Ah bukan urusanku,” batinnya berkecamuk.
Safa melangkah menuju kelasnya, ia mendekati mejanya yang sudah dipenuhi oleh sampah dan coretan-coretan tak bermoral itu. ia mengalihkan pandangan pada Jihan yang sudah memilih pindah tempat duduk, Safa ingin menghampirinya namun ia urungkan saat mellihat gadis itu sengaja membuang pandangan ke arah lain. Gadis itu menghela nafas sejenak, kemudian ia membuang kertas-kertas itu ke tong sampah yang berada di luar. Langkahnya sempat terhenti saat hampir menabrak seorang laki-laki yang tadi ia temui di mading, pandangan mereka bertemu selama beberapa detik akan tetapi lelaki itu lebih dulu memutuskan kontak mata diantara mereka dan melengos begitu saja. Safa tersenyum paksa sebelum sesuatu yang ada di dalam perutnya mendesak ingin keluar melalui mulutnya, mukanya pun ikut pucat, ia segera berlari ke toilet.
Tingkah gadis itu tidak lepas dari pandangan Jihan. Hal itu dimanfaatkan oleh Jasmin, “gimana? Kapok nggak punya temen munafik kayak gitu?” ucapnya memanas-manasi. Tentu saja Jasmin sangat senang saat mengetahui persahabatan kedua gadis itu renggang karna berita ini, ia tidak peduli berita ini fitnah atau memang benar adanya, yang penting sekarang tidak ada lagi yang melindungi gadis yang sedari dulu ia benci.
Jihan emosi mendengar ucapan gadis dengan pakaian serba kekecilan itu, sangat tidak pantas jika disebut sebagai seragam sekolah. “Jaga ya ucapan, lo!” jawabnya marah.
Jasmin terkekeh lalu berbisik pada gadis itu, “gua tau lo tadi juga ngeliat dia mual-mual. Nggak usah nyangkal fikiran lo sendiri,” ucapnya yang sukses membuatnya terdiam. Ia antara percaya dan tidak percaya pada berita ini, namun bukti seakan membuatnya harus percaya sepenuhnya. Ia kecewa, ia salah mempercayai seseorang. Sahabat yang sudah ia anggap seperti saudarinya tega membohonginya. “Fa, kenapa lo kayak gini?” gumamnya kecewa.
“ck, gadis bodoh,” batin seseorang yang menatap malas kejadian itu dari kejauhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments