PENOLONG

...“Saat diri mulai kehilangan harapan, carilah arah kiblat dan bersujudlah kepada-Nya.”...

...-Muhammad Kafi Al-akram-...

             Di sinilah Safa sekarang, di sebuah rumah minimalis bertingkat dua dengan desain sederhana namun tampak berkelas. Rumah itu memang jauh lebih kecil dibanding mansionnya dulu, namun suasananya sungguh sangat tentram apalagi saat mendengar lantunan-lantunan kalamullah dari beberapa santri yang sedang melatih diri. Benar, ia sekarang berada di salah satu pesantren terkenal di kotanya, namun ia tidak sedang di asrama, melainkan di rumah pemilik pesantren ini.

             Semalam lelaki yang menyelamatkannya itu membawa dirinya kesini. Bukan tanpa alasan, melainkan karna Safa yang tiba-tiba pingsan ditambah dengan koper yang dibawa gadis itu semakin membuatnya paham kalau gadis itu habis di usir. Saat siuman Safa dikagetkan karena pelukan tiba-tiba dari seseorang yang beberapa hari ini ia rindukan, orang itu adalah Jihan. Awalnya ia bingung mengapa Jihan ada di sini, kemudian Jihan menjelaskan padanya bahwa ini adalah pesantren milik keluarganya. Dan yang lebih membuatnya terkejut lagi adalah fakta bahwa seseorang yang semalam menyelamatkannya adalah kakak kandung sahabatnya itu. Ia sungguh malu sekaligus takut menghadapi pria itu lagi, ia sudah tidak punya muka untuk menemuinya. Beruntungnya semalam Jihan tidak memintanya untuk bercerita, gadis itu malah menyuruhnya untuk istirahat.

             “Udah siap untuk cerita, Fa?” celetuk Jihan membuyarkan lamunan Safa. Mereka sekarang sedang bersantai di ruang keluargaanya, hanya berdua karena neneknya Jihan sedang beristirahat di kamar, dan pria itu juga sedang keluar entah kemana.

             Safa tersenyum lalu mengangguk, tidak ada salahnya ia berbagi dengan sahabatnya ini. Toh juga mereka sedang berdua pikirnya. “jadi gini,”

“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang memotong perkataan Safa.

“Wa’alaikumsalam,” jawab kedua gadis itu serentak.

             ”Duh, ngapain sih dia pake datang segala. Mau ditarok di mana muka gua?” batin Safa gelisah saat mendengar suara Langkah kaki pria itu semakin dekat.

             “loh, kakak darimana?” tanya Jihan saat menyalimi tangan kakak satu-satunya itu. pria itu menjawab, “dari asrama putra tadi bentar, ngecek keadaan.” Pria itu duduk di samping di Jihan. Ia melirik sekilas ke arah seorang gadis yang ia tolong semalam, “gimana keadaannya?” ujarnya bertanya pada Jihan, bukan pada gadis itu.

             Jihan tersenyum curiga, tumben kakaknya ini peduli dengan seorang gadis selain dirinya. Ada rasa ingin meledek, namun ia sadar sepertinya ini bukan waktunya. “Dia Udah baikan kok kak, iya kan Fa?” tanyanya pada sahabatnya itu yang dijawab dengan anggukan. “o iya kak, aku lupa ngasih tau kakak. Orang yang kakak selamatkan ini adalah sahabat aku selama di sini kak, sekaligus orang yang pernah aku tabrak di rumah sakit waktu aku ngejar kakak. Namanya Zelia Safa Tsuraya, kakak bisa panggil dia Safa. Dan Safa, kenalin ini kakak yang pernah gua certain ke elo, namanya Muhammad Kafi Al-akram.” Lanjutnya memperkenalkan kedua orang itu.

             Safa yang sudah panas dingin mau tak mau mengangkat pandangannya hingga bertemu dengan Netra hitam itu beberapa detik kemudian mereka lansung memutuskannya, “Safa, kak,” ucap Safa ramah. Sementara lelaki itu mengangkat salah satu alisnya, ia tertawa dalam hati melihat gadis itu terkesan malu sekarang, padahal semalam sangatlah galak dan kasar. “Kafi,” jawabnya dengan nada andalannya, datar.  Jihan menggeleng-gelengkan kepalanya saat mendengar intonasi yang digunakan kakaknya itu.

             “Ayo, Fa. Tapi tadi lo mau cerita,” ujar Jihan mengingatkannya. Safa tampak ragu sembari mellirik ke arah Kafi, Kafi yang peka pun langsung membuka suara, “saya akan tetap di sini, silahkan cerita.”

             Safa meminta bantuan kepada sahabatnya itu, namun Jihan malah menyuruhnya untuk mengikuti titah kakaknya barusan. Ia pasrah, ia menghela nafas sejenak, “ Clarissa meninggal satu hari sebelum kak Kafi nyelamatin gua. Dia maninggal saat ingin nahan gua ngambil handphone gua yang dia lempar ke jalan, ada mobil yang melaju kencang ke arah kami. Gua sempat menghindar namun dia lengah hingga terpental jauh. Papa sama mama nuduh gua yang dorong Clarissa, ditambah dengan kesaksian Jasmin yang katanya berada di lokasi saat kejadian itu. Kedua orang tua gua ngusir gua, gua nggak tau harus kemana lagi. Gua nggak mungkin balik ke panti, itu pasti bakal bikin pukulan telak ke ibu panti yang udah nyerahin gua ke mama lagi. Gua nggak mau semua orang jadi sedih karna gua. Gua putus asa, makanya gua sempat ingin mengakhiri penderitaan gua seperti semalam,” jelasnya sembari berusaha menahan tangis. Jihan yang sudah menangis pindah ke sebelah sahabatnya itu lalu mendekapnya bermaksud untuk menenangkannya. Jihan tidak menyangka gadis itu menanggung beban seberat ini.

             “Gua tau lo capek, gua tau lo pengen istirahat. Tapi nggak gitu juga caranya, Fa. Masih banyak orang yang sayang ke elo, termasuk gua.” ucapnya menangkan gadis yang berada dalam dekapannya itu.

             Safa melepaskan pelukan jihan, ia menatap gadis itu dengan senyum hambar, “banyak? Termasuk elo? Lo yakin? Bahkan saat gua ditindas pun lo diam aja, Han. Lo kemana saat gua di bully habi-habisan. Lo juga dengan gampangnya percaya pada fitnah itu,” papar Safa kecewa.  ia hanya manusia biasa, ia juga bisa kecewa saat melihat orang terdekatnya sendiri berpangku tangan saat ia butuh.

             Jihan terdiam, “semua bukti yang ada di mading membuat gua ragu, Fa. Ditambah lagi gua sering liat lo lemas dan muntah-muntah.” Cicit gadis itu membela diri.

             Safa lagi-lagi tersenyum, “lihat, ini yang lo bilang sahabat? Lo lebih tau gua, Han, tapi lo malah lebih percaya sama isu-isu murahan itu. Apa salahnya lo dengerin penjelasan gua, baru marah.” Ucapnya penuh emosi. “Semua foto yang ada di mading emang real gua, tanpa editan. Foto pertama yang gua di dekap laki-laki saat malam hari adalah foto saat gua dihadang anak geng motor dan diselamatkan oleh papanya, Alva. Foto yang kedua, foto gua keluar ruangan dokter kandungan adalah foto waktu gua bantuin ibu hamil yang lagi kesusahan buat jalan, jadi gua anter ke dalam. Seawam-awamnya gua soal agama, gua juga nggak mau ngelakuin hal menjijikkan itu, Han.” Lanjutnya dengan nafas memburu. Jihan lagi-lagi terdiam mencerna penjelasan sahabatnya itu. Namun ada satu hal lagi yang belum ia temukan jawabannya, “terus kenapa lo muntah-muntah?” tanyanya meminta penjelasan.

             Safa tersenyum hambar, ia menatap langit-langit ruang tamu itu. “Lo lupa gua penyakitan?” tanyanya balik.

             Airmata Jihan kembali menetes, ia sudah suudzon kepada sahabatnya itu. sementara Kafi yang sedari tadi menyimak mendadak mengernyitkan keningnya, “kamu sakit apa?” celetuknya spontan yang tanpa sadar mengubah gaya bicaranya pada gadis itu.

             Sejujurnya Safa kaget saat mendengar suara pria itu, ia tidak menyangka jika Kafi mau ikut campur dengan urusannya. Bukan hanya Safa, namun Jihan juga diam-diam merasa aneh dengan kakaknya ini.  “Safa sakit kanker otak, kak,” jawab Safa sesopan mungkin.

             Kafi tampak terkejut, bagaimana tidak? Penyakit yang di derita gadis itu adalah penyakit mematikan. “Stadium berapa?” tanyanya lagi. Safa tersenyum gugup, entahlah saat bersama pria itu ia mudah sekali nervous padahal biasanya ia sangat santai menghadapi seorang laki-laki. “Stadium 3, kak,” jawabnya.

             Lagi-lagi jawaban Safa membuat pria itu tak habis pikir.“Ternyata gadis ini lebih kuat dari yang saya bayangkan,” monolognya.

             “Maafin gua, Fa. Sebenernya gua udah sadar dari beberapa hari yang lalu, tapi lo hampir seminggu nggak masuk sekolah. Gua udah nyari lo ke rumah, tapi asisten rumah tangga lo bilang kalo elo lagi di panti, dan gua nggak tau panti mana yang beliau maksud.” Celetuk Jihan membuat kepala sahabatnya itu tertoleh padanya.

             Safa tersenyum, “gua udah maafin lo kok, tenang aja. Dan sebenernya gua nggak pernah nginap di panti, lagian kalau gua nginap di panti kenapa gua juga libur sekolah, hmm?” balas Safa yang sukses membuat gadis itu mengernyit heran. Safa terkekeh pelan, “gua di rawat rumah sakit, kan gua ada jadwal kemoterapi, Jihan. Gua baru di bolehin pulang di hari kecelakaan itu terjadi” ucapnya gemas dengan kelemotan sahabatnya itu.

             Jihan melotot mendengar ucapan gadis itu, ia mencubit keras lengan Safa. “Lo kok nggak bilang-bilang sih? Kan lo butuh penyemangat saat lo kemo,” gerutunya tak terima.

             Safa malah balik memukul sahabatnya itu, “heh, lo kan lagi marah sama gua. Gimana gua mau bilang, pintar?” jawabnya yang sukses membuat gadis itu menyengir dengan wajah tanpa dosanya. Kafi yang melihat tingkah kedua gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

             “Eiit, ada yang galau loh selama saat lo nggak masuk,” goda Jihan pada Safa.

             “Galau? Siapa?” tanya gadis itu penasaran.

             Jihan mengerlingkan matanya, “noh si kutub utara, eh maksudnya si Alva. Gua rasa dia suka deh ke elo, Fa. Habisnya dia care banget sama lo, dan dia juga yang bikin gua sadar.” Celetuk gadis itu tanpa melihat sepasang mata di seberangnya sudah menatapnya tajam. “masih SMA nggak usah suka-sukaan, tamatin dulu tuh sekolah.” Ucap Kafi yang kemudian pergi dengan wajah kesal.

             Kedua gadis itu saling pandang, kemudian mengendikkan bahu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!