MELANKOLIA

...“Aku ingin menepi dari keramaian, tapi Engkau malah meghadiahkanku sebuah permasalahan.”...

...-Zellia safa Tsuraya-...

... ...

Safa menatap pantulan dirinya di cermin toilet, ia menghela nafas perlahan. belakangan ini penyakitnya sering kambuh tanpa melihat situasi dan kondisi. Tubuhnya sangat mudah lelah, tak jarang ia merasakan mual dan sakit kepala seperti saat ini. Tak hanya itu, makin kesini ia semakin sukit untuk berkonsentrasi dan pandangan yang sering mengabur. Padahal ia rutin melakukan pengobatan seperti yang disarankan oleh dokter. Tentunya dengan menggunakan uang jajan dari kartu rekening yang diberikan papanya. Ia sungguh lelah menghadapi perubahan tubuhnya belakangan ini, belum lagi permasalahan yang sudah macet minta di selesaikan. Rasanya ia ingin menghilang saja.

Seharusnya hari ini ia sudah mulai menikmati libur semester dan menjaga oma di rumah, namun sayangnya hari ini sekolah mengadakan acara penutupan claasmeeting. Padahal seharusnya acara ini diadakan sebelum menerima rapor kemarin. Entahlah, peraturan kadang berubah-ubah sesuai hati dan keadaan.

 Berbicara tentang oma, wanita itu divonis sakit stroke. Beliau tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, bibirnya pun sudah mulai sulit untuk mengucapkan sepatah dua patah kata. Jangan ditanyakan bagaimana perasaan Safa, tentu ia sangat terpukul apalagi kedua orang tuanya malah menyalahkannya.

“Guys, lihat nih. Tumben anak ini nggak dikawal sama sahabat sejatinya, haha.” Celetuk Jasmin tertawa bersama kedua temannya. Safa memejamkan matanya sejenak, berusaha meredam rasa mual yang mengganggunya, “pliss jangan sekarang,” batinnya entah pada siapa.

Ia memutuskan untuk memasuki salah satu bilik toilet, mengabaikan Jasmin dkk. Namun sepertinya keputusannya salah, bukannya malah terhindar dari masalah ia malah mendapat kejutan kembali dari tiga sekawan itu. Mereka menahan pintu toilet saat Safa akan menutupnya. Jasmin ikut masuk dan mengambil air dan memasukkan sabun pel yang entah dari mana ia dapat ke dalam ember berisi air tersebut. Gina dan Sheril sudah berhasil menahan tangan Safa agar tidak memberontak, safa pasrah tubuhnya yang lemas kini telah diguyur oleh Jasmin dengan air sabun itu.  ketiga gadis itu tersenyum puas, “awalnya gua udah nggak berniat bully lo karna lo udah jauhin Alva, namun sayang adik lo malah mencuri start gua,” ucap jasmin yang membuat Safa menegang. Darimana gadis itu tau bahwa ia dan Clarissa adalah saudara? Seingatnya tidak ada murid disini yang datang sewaktu Oma mengenalkannya sebagai putri sulung dari keluarga Sanjaya, kecuali Alva tentunya karena itu adalah acara milik dadynya.

Safa terlalu sibuk dengan fikirannya hingga tanpa ia sadari jasmin dkk sudah menguncinya di toilet ini. Segala cara sudah ia coba, namun nihil usahanya tidak membuahkan hasil. Rasa mual dan pusing yang sedari tadi tidak berhenti perlahan merenggut kesadarannya.

Di satu sisi, Alva yang tengah berjalan menuju perputakaan dibuat bingung dengan tiga orang gadis yang tertawa senang di depan toilet perempuan. firasatnya mendadak tidak enak, seingatnya tadi sebelum ia disuruh oleh guru untuk menjemput buku di perpus, ia melihat gadis itu meminta izin untuk ke toilet. Setelah itu ketiga gadis itu juga brakting pura-pura sakit, kenapa sekarang mereka malah tertawa di depan toilet.

Lelaki itu teringat pada satu nama, lalu ia segera memasuki toilet itu saat melihat ketiga gadis itu sudah pergi. Pandangannya terpaku pada toilet paling pojok, ia melihat sebuah gelang bewarna hitam yang selalu dipakai Safa. ia mendekat, “Fa, lo ada di dalam?” tanyanya sembari mengetuk pintu. Namun ia tidak mendapat respon apapun. Ia mencoba untuk membuka pintu itu namun tidak bisa sepertinya pintu itu dikunci. Tanpa menunggu lama, ia memutuskan untuk mendobrak pintu itu, dan berhasil menampakkan seorang gadis yang sudah tak sadarkan diri di sana dengan keadaan basah kuyup.

Alva menggeram marah, ia segera melepas jaket yang selalu ia bawa kemana-mana, kemudian memasangkannya pada gadis itu. kemudian langsung menggendong tubuh lemah itu menuju UKS tanpa peduli bajunya akan ikut basah.

...***...

Safa termenung memikirkan ucapan sahabatnya tadi, ia masih tidak percaya bahwa laki-laki yang beberapa waktu lalu ia sakiti masih peduli padanya. Tadi saat ia siuman ia mendapati Jihan dengan raut khawatir, ia kira Jihan yang sudah menyelamatkannya. Akan tetapi gadis itu bilang bahwa Alva lah yang sudah menolongnya.

Saat ini ia masih berdiri di depan gerbang sekolahnya, ia sengaja tidak pulang lebih awal karena ingin menunggu lelaki itu. Sebab setelah menyelamatkannya tadi Alva tidak masuk kelas, melainkan membolos. Safa yakin lelaki itu masih di sekolah karena motornya masih terparkir rapi di sana. Ia melihat jam di handphonenya, sudah menunjukkan pukul 5 sore, “kemana sih dia?” ucapnya menggerutu pelan.

Tak berselang lama, ia melihat lelaki itu berjalan menuju motornya. Safa langsung menghampirinya, “thanks udah bantuin gua tadi,” ucap Safa sembari tersenyum. Satu detik, dua detik, tetep tidak ada balasan. Alva bahkan sudah menaiki motornya dan bersiap menjalankan kendaraan roda dua itu,  Safa yang kesal malah berdiri menghalangi laju motor itu. “loh? Koko jadi dingin sih? Gua ada salah ya?” tanya Safa tanpa sadar.

Alva tersenyum sinis di balik helmnya, “sorry, gua rasa kita nggak seakrab itu, bukan? So, minggir!” titahnya yang tanpa sadar dituruti oleh Safa. Gadis itu terdiam memandang punggung Alva yang mulai lenyap dari penglihatan. Airmatanya sempat jatuh, detik berikutnya ia kembali menghapusnya secara kasar, “cengeng banget gua, padahal emang ini yang gua inginkan dari dulu. Eh tapi kok sakit ya?” gumamnya lirih

Gadis itu memutuskan untuk pulang menggunakan taksi, karena angkot yang biasanya ia tumpangi sudah tidak ada jam segini. Di tengah perjalanan, taksi yang ia tumpangi tiba-tiba mogok. Mana taksi ini membawanya melewati jalan yang cukup sepi, jujur saja ia tidak tahu daerah ini. Sopir taksi tadi menyuruhnya untuk berjalan lurus dan nannti jika ketemu perempatan baru belok kanan. Kesialannya bertambah saat handphonenya kehabisan daya, mana hari sudah magrib lagi.

Di tengah perjalanan ia di cegat oleh beberapa laki-laki yang dapat ia tebak sebagai anggota geng motor. Safa memegang erat tali tasnya, “minggir, gua mau lewat.” Pintanya saat dua orang laki-laki mulai mendekatinya.

Kedua lelaki itu tertawa, “lewat? Nggak segampang itu, cantik.” Ucap salah satu dari keduanya yang memiliki rambut gondrong sembari mencoba menyentuh pipinya namun ia tepis. Safa ketakutan sekarang, semakin lama mereka semakin berani dan mengepungnya. Kondisi jalanan yang sepi sangat tidak berpihak pada Safa, ia hanya berharap ada seseorang yang dapat membawanya pergi dari situasi menjijikkan ini.

Hingga lampu sebuah mobil tiba-tiba menyorot ke arah mereka, mobil itu berhenti. “Lepaskan gadis itu!” titah seorang pria paruh baya yang baru keluar dari mobil itu bersama dua bodyguardnya.

Safa bersyukur dalam hati, saat semua anggota geng motor itu lengah, ia menggigit tangan lelaki yang sedari tadi menggenggam pergelangannya kasar. Ia berhasil kabur ke belakang pria paruh baya itu. Tubuhnya gemetar ketakutan, ia tidak pernah menyangka harga dirinya akan tercoreng jika tidak ada yang menolongnya saat ini.

Pria paruh baya itu menatap bodyguardnya, “bereskan mereka!” titahnya sekali lagi yang di balas oleh anggukan dari kedua pengawalnya.

Pria paruh baya itu menatap gadis di belakangnya itu, “tenang Zea,” ucapnya yang berhasil mengalihkan pandangan gadis itu padanya. Mata hazel gadis itu berkaca-kaca, “Dady?” ujarnya terkejut. Pria paruh baya yang tak lain adalah Devid itu tersenyum yang membuat hati Safa tenang.

Devid memutuskan untuk mengantar Safa pulang, di mobil hanya tercipta keheningan. “Mengapa jam segini baru pulang?” tanya pria itu membuka suara.

Safa terdiam, tidak mungkin kan bahwa ia bilang ia telat pulang karna menunggu Alva, anak dari lelaki itu. ia memutar otak mencari jawaban yang tepat, “itu, tadi Zea ada tugas kelompok, Dad, trus pas jalan pulang taxi yang Zea tumpangi malah mogok.” Jawabnya dengan setengah berbohong.  Pria paruh baya itu mengangguk sebagai jawaban.

Mobil sudah berenti di perkarangan rumah Safa, ia pamit dan menolak bantuan dari Devid yang ingin mengantarnya masuk rumah. Namun saat akan membuka pintu rumah, ia malah mendapatkan tamparan dari sang papa, “bagus, jam segini baru pulang. Darimana? Habis jual diri?” cercanya tanpa bertanya dahulu.

Safa meringis merasakan pipinya yang perih, ia tidak menjawab karna percuma. “pantas saja akhir-akhir ini pengeluaran kamu di rekening menjadi banyak, ini kerjaan kamu di luar sana? Berfoya-foya dan menjadi gadis yang tak punya harga diri,” tudingnya lagi. Safa dapat melihat Clarissa yang berada di belakanng papanya tersenyum sumringah.

“Oo, jadi seperti ini sikap seorang tuan Sanjaya terhadap anaknya?” celetuk seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Safa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!