...“Aku babagaikan setitik debu yang menempel pada sebuah berlian. Hanya bisa menunggu waktu kapan aku dihempaskan, tanpa ada harganya lagi.”...
...-Zelia Safa Tsuraya-...
Derap langkah kaki menarik seluruh perhatian dua orang paruh baya berbeda gender yang terlihat akan memulai sarapan mereka, begitu juga dengan seorang gadis yang berada tak jauh dari tempat mereka.
“Pagi, Ma! Pagi, Pa!” Sapa Clarissa pada kedua orang tuanya. Ya, Clarissa lah dalang dibalik derap langkah itu. Derap langkah yang dapat menimbulkan rasa ngilu pada seseorang yang melihat kehangatan keluarga kecil itu.
Sapaan yang diberikan Clarissa tentu disambut baik oleh mama dan papanya. “Pagi, princess!” Balas mama dan papanya. Clarissa langsung mengambil tempat di samping sang papa dan berseberangan langsung dengan sang mama.
Jika ada orang luar yang melihat mereka pasti orang itu akan iri melihat keharmonisan keluarga ini. Penuh kasih sayang di antara mereka, namun sayang semua itu tidaklah adil bagi seseorang yang seharusnya menjadi salah satu bagian dari mereka. Seseorang yang sedari tadi memperhatikan semuanya, seseorang yang tidak bisa menjangkau keluarganya sendiri padahal keluarganya sudah berada di depan matanya. Seperti ada penghalang tak kasat mata yang mengharuskan ia menjaga jarak. Menyesakkan itulah yang ia rasakan setiap harinya, “Tuhan, apa sebenarnya rencana-Mu hingga menyelipkanku di antara mereka yang bahkan lebih bahagia tanpa kehadiranku?” bisiknya membatin sembari mengusap airmata yang entah sejak kapan mengalir indah di pipinya.
Tidak mau berlarut dalam kesedihan, ia memasukkan kotak bekal yang sudah ia siapkan ke dalam tasnya, kemudian membawanya berjalan menghampiri keluarga kecil yang sedari tadi menjadi objek perhatiannya.
Langkahnya terhenti saat jarak mereka tinggal beberapa langkah lagi. “Ma, Pa. Aku mau berangkat sekolah dulu.” Pamitnya. Namun seperti biasanya tidak ada tanggapan yang ia dapatkan, ia tersenyum getir. Hal itu sudah biasa, namun sakitnya masih sangat luar biasa. Perlahan tapi pasti ia beranjak pergi, namun baru beberapa langkah, ia berhenti saat mendengar sebuah interupsi wajib yang ia dengar setiap harinya, “jangan membuat masalah, lagi.” Celetuk sang papa tidak ingin dibantah. Ia hanya mengangguk tanpa membalikkan badannya. Ia melanjutkan langkahnya keluar dari rumah itu. Terdengar tidak sopan bukan? Tapi sungguh ia lelah jika harus menjelaskan bahwa ia tidak pernah membuat masalah di sekolahnya, melainkan ia yang selalu dijahati dan dirundung, tapi ia yakin papanya juga tidak akan peduli. Yang papanya mau ia tidak terlibat dalam masalah tanpa mau tau siapa yang selalu membuat masalah.
Saat ini ia sudah berada di angkot setelah beberapa menit ia menunggu angkutan umum itu. Ini adalah rutinitasnya sehari-hari. Pergi dan pulang sekolah dengan angkot, dan tidak pernah sarapan di rumah melainkan membawa bekal ke sekolah. Jika ditanya kenapa, tentu karena keluarganya tidak ingin ia bergabung untuk sarapan bersama mereka.
Sesampainya disekolah ia langsung menuju ke kelasnya, menuju bangkunya yang ada di pojokan. Ia duduk sendirian di sana. Tidak ada yang mau berteman dengannya karna di sini statusnya hanyalah anak dari seorang pembantu keluarga Sanjaya yang mendapat beasiswa. Di sekolah ia di kenal sebagai gadis pendiam dan kutu buku, sebenarnya itu hanya pendalaman perannya saja. Jika boleh jujur bahkan ia sangat membenci membaca, kecuali membaca novel. Untung saja otaknya sangat mendukung hingga meskipun ia tidak rajin belajar tidak akan bermasalah bagi nilainya.
Kriiing
Bel masuk sudah berbunyi, itu artinya sebentar lagi jam pelajaran pertama akan dimulai. Kelas yang tadinya hanya diisi oleh beberapa orang mendadak full seketika. Hingga tiba-tiba,
Brakk
“Hai, cupu!” Sapa salah satu siswi yang tadi menggebrak mejanya, dengan tanpa rasa bersalah gadis itu pergi begitu saja dengan senyum miringnya. Seluruh penghuni kelas itu menertawakannya yang membuat safa tertunduk, bukan, bukan karna ia takut. Melainkan karna meredam emosi kekesalan yang tidak boleh ia tumpahkan. Bisa-bisa imagenya sebagai gadis pendiam rusak. Jika kalian mengira Safa adalah seorang good girl, maka kalian salah. Lihat saja saat ini, sedari tadi ia sudah mengabsen nama-nama binatang bahkan segala macam sumpah serapah terpendam di dalam hatinya. Ya, sekali lagi harus dipendam.
Guru fisika sudah memasuki kelas, keadaan kembali kondusif sampai akhirnya sebuah ketukan pintu yang diikuti dengan suara salah satu staff TU menghentikan kegiatan di kelas, “mohon maaf, Buk. Ini saya membawa siswa baru yang kebetulan masuk di kelas ini.” Ujar staff itu sopan.
“owh, iya Pak. Baik, silahkan masuk, nak!” Respon buk Kiki, guru fisika itu.
Siswa itu masuk setelah staff tadi berpamitan, ia masuk dengan malas raut wajah datar. Sontak hal itu membuat ricuh suasana kelas.
“Wow, cool banget, gilaa!”
“fiks, ini bakal jadi incaran jasmin dkk.”
“untuk pertama kalinya gua ngaku kalau gua kalah ganteng dari tu anak baru.”
“emakk, anakmu kepeleset cogan mak, eh kepelet maksudnya.” Dan masih banyak celetukan-celetukan tak berfaedah lainnya.
Bu Kiki yang mendengar kerusuhan tersebut langsung geleng-geleng, “sudah-sudah! Kamu, perkenalkan dirimu.” Seru buk Kiki.
Siswa itu menghela nafas jengah, kemudian merotasikan pandangannya ke segala sudut ruangan itu sejenak. “Alva, King Alvandress Dawson.” Ucapnya singkat dengan mata yang masih terpaku pada satu titik.
“Srius dia anak tunggal keluarga Dawson?”
“kampret, pendek banget kayak si Loly.”
“ngapain lo manggil-manggil gua, sumo?”
“idaman gua ini mah”
“nikah sama dia bisa-bisa tajir melintir gua.”
“suaranya berdamage woi”
Buk Kiki yang sudah sangat jengah dengan kelakuan siswa-siswinya ini langsung menyuruh mereka untuk diam. “Alva, Silahkan duduk di samping Safa. Safa angkat tanganmu!” perintah sang guru karena tidak ingin terlalu berlama-lama berada di samping siswa baru itu karena terlalu dingin.
Sedangkan gadis yang disebutkan namanya tadi mengangkat tangannya malas-malasan, sedari tadi ia sama sekali tidak tertarik dengan anak baru itu, ia malah sibuk melamun sembari melihat ke luar kelas.
Tanpa disadari, Alva tersenyum tipis. Kemudian berjalan ke arah bangkun yang barusan di tetapkan untuknya dan mendudukkan dirinya di samping gadis yang sedari tadi tak lepas dari perhatiannya. Tidak ada yang membuka suara, sampai akhirnya seseorang angkat bicara, “Safa, pindah! Gua mau duduk bareng Alva.” Ujar jasmin mengalihkan perhatian seluruh penghuni kelas.
Tidak ingin memperpanjang masalah, Safa bangkit berniat untuk pindah. Namun ia urungkan ketika sebuah tangan menggenggam pergelangan tangannya, “Duduk!” Pinta Alva dingin.
Melihat hal itu membuat jasmine kepanasan sendiri, ia mendekati meja kedua sejoli itu, namun lagi-lagi dihentikan oleh suara Alva, “Pergi atau gua buat lo nyesel!” Dengan perasaan yang dongkol, jasmin kembali dengan hati dongkol, “awas aja lo Safa!” gumamnya dalam hati.
Tidak jauh beda dengan Jasmin, Safa ia juga kepalang kesal, “Lepas!” Ucapnya sambil menyentak tangan Alva yang sedang menggenggamnya. Setelah itu ia kembali duduk dan memandang keluar kelas.
“Menarik.” Batin Alva.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
ndaaa
semoga alva bisa jd pelidung buat safa..
2023-11-07
0