TERPAKSA

...”Ada beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Yang pertama karena keinginan sendiri, yang kedua kerena kehendak orang lain yang memaksa diri.”...

...-Zelia Safa Tsuraya-...

 

             Hari ke hari terus berlalu, minggu demi minggu berhasil Safa lewati. Tidak ada yang istimewa dengan hidupnya, semua berjalan seperti biasanya. Baik keluarga yang selalu mengabaikannya kecuali oma, adik satu-satunya yang selalu mencari-cari kesalahannya, Alva yang semakin hari semakin gencar mendekatinya yang membuat masalah ia bertambah. Namun ada beberapa hal yang sedikit berubah, yaitu Jasmin dkk yang sudah tak sesering dulu menganggunya. Kalian penasaran bukan kenapa hal itu bisa terjadi? Ya, sesuai dugaan kalian, perubahan sikap queen off bullying itu bbukan tanpa alasaan, melainkan karena seorang gadis barbar yang tengah duduk anteng memakan semangkok bakso di sampingnya saat ini.

             Dia Jihan, Jihan Agnia Mumtaz. Gadis cantik berkulit kuning langsat lengkap dengan rok dan keudung yang selalu memaninya kemana-mana. Ya, dia gadis yang waktu itu  menabrak Safa di koridor rumah sakit. Selang dua hari setelah itu, gadis itu menjadi murid baru di sekolah Safa. Saat itu Safa tidak berani mendekatinya, karena ia takut dikira sok akrab. Akan tetapi tanpa ia duga, gadis itu sendiri yang datang dan meminta berteman dengannya. Safa sempat terkejut, bagaimanapun juga selama ini belum ada yang mau berteman dengannya.  Semenjak saat iitu, ia dan Jihan selalu menghabiskan waktu berdua saat di sekolah. Jihan yang tipikal gadis ramah namun barbar sangat tidak suka kalau sahabatnya dijadikan sebagai bahan bulian, karena itu Jasmin jarang menganggunya ataupun Safa.

             “Woi! Bengong bae lo,” sentak Jihan saat melihat gadis itu melamun sembari menatapnya.

             Hal itu membuat sang empu terkejut dan menormalkan Kembali raut wajahnya, “ye, apa sih? Ganggu aja lo, gua lagi mikirin masa depan juga.” Celetuknya asal. Sementara gadis di sampingnya malah bergidik ngeri, “masa depan? Trus ngapain lu mikirnnya malah ngeliat gua sambil tersenyum? Jangan- jangan…” tanyanya sengaja menggantungkan kalimatnya.

             Safa yang melihat sahabatnya itu memicing curiga padanya lantas memgambil buku pelajaran yang berada di sampingnya dan menabok pelan bahu gadis itu, “eh dahan, gua masih normal ya!” ucapnya.

             Jihan meringis sembari mengusap bahunya yang tidak begitu sakit, “kamu kok gitu sih sama dedek? Dedek salah apa sampe dipukul gicu?” ucapnya memasang wajah menjijikkaan menurut Safa.

             Mereka sama-sama tertawa. Tiada hari tanpa  ke absurd-an sejak Jihan menjadi sahabat Safa.  Safa tersenyum jahil, lalu meraup wajah gadis itu hingga ia berhenti tertawa, “noh mending belajar, setelah ini mapel terakhir ujian kita. Gua nggak mau lihat nilai lo yang angka sembilan terbalik lagi.” Ledek Safa sembari memberikan buku pelajaran yang akan di ujikan kepada gadis itu yang dibalas gerutuan olehnya.

             Memang di beberapa pelajaran sebelumnya Jihan mendapatkan nilai rendah, alasannya karena ia baru pindah. Simple bukan? Safa terkekeh sejenak saat Jihan masih menggerutu sembari membaca buku yang ia berikan dengan sesekali mengernyit dan menghela nafas.

             “Safa!” panggil seseorang yang membuat perhatian gadis itu teralihkan. Bukan hanya dia, namun Jihan juga. Safa tidak menjawab, ia bangkit dan beranjak dari sana, namun sebelum seseorang itu lebih dulu memegang tangannya. Jihan yang melihat itu langsung bangkit dan memukul tangan lelaki itu dengan sendoknya, “heh, bukan mahram. Main pegang-pegang aja lo!” sentaknya. Meskipun ia sedikit barbar, namun ajaran agama yang ditanamkan keluarganya sedari dini tidak pernah ia abaikan. Dan itu juga berimbas pada Safa yang kini semakin mendekatkan diri pada Tuhannya. Ya walaupun ia belum bisa merubah penampilannya, menurutnya ia harus mempunyai niat terlebih dahulu agar nantinya tidak melepas pasang jilabnya. Dan tentu Jihan tidak pernah memaksanya.

 Hal itu sukses membuat genggaman lelaki yang tak lain adalah Alva itu terlepas. Ia berdecak kesal, lagi-lagi keberadaan gadis itu selalu menggangu rencananya untuk mendekati Safa. Safa yang peka terhadap sistuasi kali ini langsung menenangkan Jihan, ia menyuruh Jihan untuk kembali ke kelas terlebih dahulu karena ia akan berbicara dengan Alva. Gadis itu sempat menolak, namun saat Safa memasang wajah memelasnya akhirnya ia mengalah. Dan berlalu meninggalkan mereka.

Safa Kembali duduk, ia diam menunggu hal apa yang akan diucapkan lelaki di depannya itu. Bukan tanpa alasan ia mau berbicara lagi dengan laki-laki yang dulu sempat menjadi teman sebangkunya itu, ia hanya merasa masalah ini perlu diluruskan. Ia ingin lelaki ini berhenti menggangu ketenangannya.

             Alva menghela nafas sejenak, “kenapa?” tanyanya. Safa mengernyit tak mengerti. Alva lagi-lagi menghela nafas, “kenapa tiba-tiba menjauh? Gua ada salah sama, lo?” tanyanya lagi memperjelas.

             Safa tersenyum sebentar, ia mengaduk-aduk minumannya yang tinggal setengah itu, “menjauh? Emang kita pernah dekat?” jawabnya sarkas. Jujur saja Safa tidak sampai hati mengucapkan hal itu kepada Alva, namun ini satu-satunya jalan agar laki-laki itu membencinya dan menjauhinya. Keterdiaman Alva membuat gadis itu Kembali membuka suara, “gua rasa nggak ada hal yang istimewa diantara kita. Lo bukan siapa-siapa bagi gua, begitu juga sebaliknya.”

             Alva terhenyak mendengar penuturan gadis itu, ia lantas memandang Safa dengan tatapan yang sulit diartikan, “tahu apa lo tentang perasaan gua?” tanyanya. Safa mengangkat pandangannya hingga bertubrukan dengan mata hazel yang sama persis dengan miliknya, “gua nggak tahu, karena gua nggak pernah peduli akan perasaan lo. Kedepannya gua harap lo sadar bagaimana harus bersikap. Gua, gua risih saat lo ganggu gua,” balasnya seraya bangkit.

             Safa tidak kuat untuk bersandiwara sekejam ini, ia ingin keluar dari situasi ini. “Apa karena Clarissa?” tebak Alva yang sukses membuatnya mengurungkan niat untuk pergi. ia terdiam, tidak sanggup untuk menoleh karena ia yakin jika ia menoleh, laki-laki itu akan tau jawaban sebenarnya dari raut wajahnya.

             Alva terkekeh saat mendapati tubuh gadis itu membeku setelah mendengar tebakannya, “udah gua duga. Semenjak malam itu lo selalu ngejauh dari gua, sejak gua tau lo adalah anak tuan Sanjaya. Gua sedikit heran kenapa perlakuan bokap lo terkesan tidak adil? Dan kenapa lo mau nurutin keinginan adik lo buat jauhin gua? Lo kira gua bola yang bisa lo oper sesuka hati?” ucapnya menohok.

             Sadut hati safa tersayat mendengar ucapan lelaki itu, ia sempat merasa bersalah namun detik berikutnya ia kembali sadar, bukankah ini tujuannya agar laki-laki itu membencinya.  Ia menoleh sebentar menatap laki-laki itu, “ya, karna lo nggak seberharga itu bagi gua,” ucapnya sembari tersenyum sinis lalu melangkahkan kaki menuju taman belakang sekolah.

             Gadis itu menumpahkan seluruh tangisnya di sana, di tempat yang sama saat pertama kali Alva melihatnya menangis. Untung saja suasana kantin  tadi sudah sepi karena para murid sibuk mempersiapkan ujian selanjutnya. Kalau tidak mereka akan heboh saat mendengar ia dan Clarissa adalah saudara kandung, ah tidak lebih tepatnya saudara tiri.

             “Maaf, gua terpaksa.” Lirihnya dalam hati.

             Tanpa ia sadari, dari kejauhan seseorang tengah tersenyum kemenangan, “kakak yang malang,” gumamnya sembari tersenyum sinis.

 

 

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!