GUGUR

...“Untuk apa Engkau menyelamatkanku, jika akhirnya mereka akan tetap membunuh mentalku, Tuhan?”...

...-Zelia Safa Tsuraya-...

Safa tersadar dari tidur panjangnya, ia menatap sekeliling ruangan itu hingga matanya bersitatap dengan netra hitam seorang dokter yang baru masuk ke ruangannya. “Alhamdulillah kamu akhirnya siuman juga. Ada yang sakit, Fa?” tanya dokter yang sangat ia kenali. Iya, beliau adalah dokter Ani. Dokter yang menangani Safa beberapa bulan terakhir ini. Safa menggeleng pertanda ia baik-baik saja.

             “Kamu doyan banget ya, Fa, tidur di rumah sakit? Sampe kamu malah balik kesini lagi kemarin, belum juga sehari pulang, sorenya udah ketemu lagi di sini.” Omel dokter itu menatap Safa tajam. Safa hanya mampu meringis mendengarnya, kemudian netranya kembali melotot saat tersadar dengan salah satu kata yang baru ia dengar, “kemarin? Maksud dokter aku pingsan dari kemarin dan baru bangun hari ini?” tanyanya meminta penjelasan.

             Dokter itu memutar bola mata malas, “emang kamu pikir tubuh kamu sekuat apa, hmm? Baru beres kemo disuruh bedrest eh malah tidur di tengah jalan, untung nggak lewat,” kata dokter Ani tajam sambil bercanda, “tapi gadis yang masuk kesini bersama kamu sekarang lagi kritis di ICU,” lanjutnya saat merasa bahwa gadis itu berhak mengetahui keadaan saudarinya. Iya, dokter Ani sudah mengetahui perihal itu saat tak sengaja mendengar papa Safa marah-marah di ruangan ini. Ia menyalahkan gadis itu bahkan hampir ingin membunuh gadis itu kemarin dengan bantal. Untung saja ia datang tepat waktu, kalau tidak ia tidak yakin Safa dapat terbangun lagi.

 Safa terdiam sejenak, kemudian ia bergegas turun dari brankar walaupun tubuhnya masih lemas. Pergerakannya di tahan oleh sang dokter, “heh, kamu mau kemana?” tanyanya.

             Safa menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca, “aku mau ketemu adikku, Dok,” pintannya lirih. Dokter Ani tidak tega untuk melarangnya, ia langsung menyuruh salah satu perawat untuk membawakan kursi roda dan mengantarkan gadis itu ke ruang ICU.

             Di depan ruangan ICU, Safa dapat melihat kedua orang tuanya tengah memandang kosong pintu di depannya. Mereka sangat terlihat gelisah dan terpukul. Namun bukan hanya mereka berdua yang berada disana, tetapi juga ada dua orang pria lain yang berbeda usia tengah duduk di kursi tunggu yang ada di ruangan itu. Safa tersenyum masam, “ternyata hubungan kalian sudah sejauh ini,” ujarnya dalam hati. Gadis itu mendekat setelah meminta perawat yang tadi membantunya pergi, “Pa, Ma!” panggilnya pelan.

             Semua orang yang berada di sana menatap gadis itu dengan pandangan yang berbeda-beda. Maudy melempar pandangan benci kepada gadis itu, ia segera mendekati Safa lalu menamparnya. Wajah Safa tertoleh kesamping, pipinya terasa panas, kepalanya juga kembali sakit tetepi ia mencoba untuk tetap tersenyum. “Nggak papa, ma. Tampar lagi sampai hati mama yang sakit itu terobati, aku emang pantes dapetin ini semua,” ujar Safa dengan nada lemah. Sang mama yang mendengar itu pun berniat melayangkan tamparannya kembali, namun terhenti ketika mendengar suara dokter yang keluar dari ruangan anaknya.

             “Dengan keluarga, Clarissa?” tanya dokter itu.

             Maudy dan Abbas langsung mendekati pria paruh baya yang menangani anaknya itu, “bagaimana dok? Anak saya berhasil melewati masa Kritisnya kan, dok?” tanya Abbas tak sabaran. Dokter itu tampak menghela nafas sejenak, “mohon maaf, pak, buk. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi tuhan berkehendak lain. Putri bapak dan ibu tidak bisa kami selamatkan.” Balas dokter itu membuat Abbas dan maudy menggeleng tak percaya.

             “NGGAK, NGGAK MUNGKIN ANAK SAYA NGGAK MUNGKIN MENINGGAL, DOK! DOKTER SALAH LIAT, CEK LAGI KONDISINYA DOKTER!” teriak Maudy histeris sembari menangis sejadi-jadinya. Dokter itu pamit, Maudy kembali mendekati Safa, “DASAR ANAK PEMBAWA SIAL! BELUM PUAS KAMU MERENGGUT MASA DEPAN SAYA DULU? SEKARANG KAMU MALAH MERENGGUT NYAWA ANAK SAYA, PEMBUNUH!” bentaknya membabi buta dengan mendorong kursi roda Safa hingga gadis itu terjatuh.

             Cukup, Alva yang sedari tadi memperhatikan mereka tidak dapat lagi menahan dirinya untuk tidak melindungi gadis itu. Ia langsung mendekap Safa saat Maudy akan melemparkan heelsnya ke kepala sang anak. Alhasil heels itu mendarat di punggung Alva. Pria itu sempat meringis pelan.

             Alva menepuk-nepuk pelan pipi Safa saat gadis berkerudung hitam itu perlahan kehilangan kesadarannya. Ia segera membawa gadis itu ke ruanng rawat inapnya yang semalam pernah Alva datangi diam-diam. ”setau gua, lo itu pingsan karna keserempet dan shok. Tapi kenapa tubuh lo lemah seakan ada hal yang lebih serius? Gua harus cari tau nanti.” Batinnya bertanya-tanya. Wajar saja pria itu curiga, sebab beberapa kali ia melihat Safa muntah-muntah, wajahnya akhir-akhir ini pucat, belum lagi ia sering libur beberapa hari dengan alasan ada urusan keluarga. Sungguh sangat tidak logis.

             Sementara di sisi lain, Devid mengepalkan tangannya sembari menatap sepasang suami istri yang tengah berduka itu. “Jika bernar itu dia, saya akan membuat kalian menderita karna telah memperlakukannya seperti itu,” janjinya dalam hati kemudian berlalu tanpa pamit menyusul sang anak yang membawa Safa ke ruangan gadis itu.

...***...

Tuhan,

Hari ini syair dukacita datang  menggerogoti kalbuku.

Pilu rasanya saat mendengar satu jiwa melayang karenaku.

Ia pergi jauh tanpa dapat menjanjikan sebuah pertemuan.

Ia pergi dengan rasa benci yang masih ia pendam.

 

Tuhan,

Belakangan ini ragaku selalu meminta untuk beristirahat.

Di kala matahari berdiri, ragaku sering kali tak sadarkan diri.

Setiap kali kegelapan merenggut kesadaranku,

Aku selalu berharap Engkau mengundangku pulang.

^^^-Sebelum Gelap Jatuh-^^^

Pandangan Safa kembali dibanjiri oleh airmata, ia sangat terpuruk setelah mendengar kepergian adikny, Clarissa. Mau bagaimanapun ia sangat menyayangi gadis itu, walaupun ia tahu di dalam hati Clarissa hanya terdapat kebencian untuknya.

  Ia meremas kasar kertas yang tadi menjadi tempat curahan hatinya, ia benci takdirnya saat ini. Seharusnya ialah yang saat ini pergi, bukan Clarissa. Seharusnya ia yang tertabrak mobil, bukan gadis itu. “Maafkan kakak, Ca” monolognya menyesal.

Safa larut dalam kesedihannya, hingga ia tidak sadar bahwa sedari tadi ada sepasang mata yang menatapnya nanar, “gua nggak tau apa yang selama ini udah lo lewati sendirian, Fa. Tapi gua sadar, nggak seharusnya gua juga ikut nyumbang luka buat lo. Maaf,”sesalnya dalam hati dan beranjak meninggalkan ruangan iitu dengan fikiran berkecamuk.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!