RAPUH

...Salah satu penyesalan terbesarku selama ini adalah saat dimana aku menyanggupi untuk menjalani hidup dalam sebuah dunia fana yang terlalu  banyak kejutan.”...

...-Zelia Safa Tsuraya-...

 

“Ma, Pa, Safa berangkat dulu, Assalamu’alaikum.” Pamit Safa sembari menundukkan kepalanya.  Jika kalian bertanya mengapa ia tidak menyalami tangan kedua orang tuanya, maka jawabannya sederhana, mereka tidak ingin bersentuhan langsung dengan tangan seorang anak pembawa sial sebagaimana mereka menyebut safa.

Gadis itu sudah menebak bahwa seperti biasanya tidak akan ada tanggapan apapun yang diberikan kedua orang tuanya itu. Ia hanya bisa tersenyum miris, sepertinya mulai sekarang ia harus bisa sadar siapa dirinya disini.

Rencana Safa untuk beranjak dari sana sepertinya harus ia urungkan saat mendengar sang papa angkat bicara, “tunggu,” interupsi Abbas, papanya. Safa mengernyit heran, ada apa gerangan dengan pria paruh baya itu, tidak biasanya ia mau membuang waktu untuk berbicara dengan anak tirinya tersebut, iya anak tiri. “iya ada apa, Pa?” Tanyanya penasaran.

Pria paruh baya itu berdehem sejenak, “omamu akan ke Jakarta hari ini . Saya harap kamu tidak membuat masalah,” ucapnya tenang namun ada nada perintah yang tidak terbantahkan disana.  Safa tidak bodoh, ia dapat menangkap kemana arah pembicaraan papanya itu. Iya hanya mengangguk mengiyakan kemudian berlalu pergi.

Selama di perjalanan, baik di dalam angkot ataupun saat sudah memasuki gerbang sekolah gadis itu hanya melamun dengan sesekali tersenyum miris. Tidak seperti biasanya, pagi ini gadis itu malah melangkahkan kakinya menuju taman belakang sekolahnya, tidak langsung menuju kelasnya. Sesampainya di sana, ia memilih duduk di salah satu kursi yang tidak terurus di bawah sebuah pohon mangga.

 Ingatannya kebali berputar pada kejadian semalam, saat ia memutuskan untuk mencari tahu asal usul ia yang sebenarnya melalui Bi Titin.

“Sebenarnya aku ini siapa, Bi? Apa maksud mama dan Clarissa tadi?” tanyanya meminta penjelasan kepada asisten rumah tangga keluarganya yang sudah bertahun-tahun mengabdi dan menemani sang mama sedari remaja bahkan hingga mamanya menikah dan punya  keluarga seperti sekarang.

Bi Titin bergeming, jemari tangannya saling bertaut dengan gemertar, ia tak kuasa jika harus menjelaskan kebenaran ini kepada gadis yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

Safa   yang melihat itu menghela nafas, “bi, aku nggak papa, tolong kasih tau aku bi, aku berhak mengetahui siapa aku sebenarnya. Aku mohon, bi. Apa bibi tega melihatku terperangkap dalam overthinking ku selamanya, bi?” mohonnya lirih sembari menatap keluar jendela kamar dengan pandangan kosong.

Ucapan Gadis itu berhasil menerobos pertahanan bi Titin, airmata yang sedari tadi berusaha ia bendung seketika melimpah tanpa bisa ia tahan lebih lama lagi. Nada keputus asaan yang terselip di dalan ucapan gadis itu benar-benar membuat hatinya hancur. “Dulu, beberapa bulan sebelum mama dan papamu menikah, terjadi musibah yang membuat karir mamamu hancur sebagai model. Mamamu sangat terpukul dengan kejadian itu, keluarganya dan keluarga papamu sangat kecewa padanya, bahkan hampir memutuskan rencana pernikahan mereka.” Jelas bi Titin yang sengaja menjeda ucapannya, dan tiindakannya itu sukses membuat Safa menoleh meminta kelanjutan cerita itu, “kejadian apa maksud bibi? Mama kecelakaan atau apa? Kenapa pernikahan mereka hampir batal?” desaknya penasaran.

Jemari bi titin tergerak untuk menggenggam tangan gadis itu, “iya, mamamu kecelakaan. Kecelakaan yang membuat mamamu kehilangan hal berharga dalam dirinya, bukan fisik, namun mental. Pada malam itu saat mamamu baru balik dari singapura untuk melakukan pemotretan ia mengabarkan pada keluarganya bahwa mobil keluarga yang menjemputnya di bandara tiba-tiba mogok di jalan, bengkel-bengkel di dekitar sana sudah pada tutup. Mau tidak mau ia harus menginap di sebuah penginapan terdekat dari sana. Keesokan harinya kami dikejutkan dengan kepulangan mamamu dalam keadaan yang jauh dari kata baik-baik saja. Semua anggota keluarga dibuat emosi saat tau bahwa mamamu telah rusak, kedua orang tuanya kecewa hingga beberapa tamparan ia dapatkan. Awalnya mereka menyangka ini adalah akal-akalan dari mamamu untuk membatalkan perjodohan dan pernikahannya. Namun setelah diselidiki ternyata dalang dibalik semua ini adalah musuh bisnis opamu, orang itu menjebak mamamu dan merencanakan semuanya termasuk mobil keluarga yang tiba-tiba mogok itu. Opa dan omamu sepakat untuk merahasiakan hal ini agar tidak di dengan oleh keluarga papamu, namun sayangnya kehadiranmu membuat mereka curiga sampai akhirnya mereka mengetahui kebenarannya.” Jelas  bi Titin sembari membawa tubuh lemah Safa kedalam dekapannya. Sudah ia duga, gadis itu pasti akan sangat terpukul, namun cepat atau lambat pasti ia akan mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

Gadis itu terisak hebat, tubuhnya bergetar di dalam dekapan bi Titin. Setelah dirasa agak tenang, ia mendogak, “lalu? Kenapa papa tetep menerima mama?” ujarnya mengajukan pertanyaan.

Asisten rumah tangga keluarganya itu Kembali menghela nafas, “karena mamamu sempat ingin bunuh diri karena terlalu merasa malu, juga karena papamu sudah menyukai mamamu beberapa waktu sebelum mereka di jodohkan, dan itu juga demi menjaga nama baik keluargamu."

Gadis itu tersenyum miris dalam isaknya, fakta yang semalam baru ia ketahui sangat mengganggu mentalnya. Pantas saja kedua orang tuanya seperti sangat membencinya. Ia mendogak menatap langit yang mendung seolah mengerti akan perasaannya saat ini. Mata dan hidungnya sudah memerah sedari tadi, namun airmatanya tak kunjung usai membanjiri pipinya. “Allah, untuk apa Kau ciptakan aku di dunia ini?” gumamnya lirih.

“Tentu saja untuk menemaniku.” Celetuk seorang laki-laki.

Gadis itu terlonjak kaget, ia buru-buru menghapus sisa airamata di pipinya saat mendengar suara itu. Ia mengambil tas yang entah sejak kapan tergeletak mengenaskan di depannya, kemudian berdiri dan berniat beranjak dari tempat itu. Akan tetapi, ia terhenti sejenak ketika mendengar orang itu bersuara Kembali, “kalo mau nangis, nangis aja. Airmata bukan pertanda lo lemah, lo nggak perlu malu karna setiap orang punya kelemahannya masing-masing, termasuk gua.” Ujar orang itu dengan dua kata yang sengaja ia lanjutkan dalam hati.

Safa sempat tersentuh mendengar ucapan panjang yang pertama kali ia dengar dari oranng itu, namun kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya saat bell pertanda jam pelajaran pertama akan dimulai sudah berbunyi.

“Entah kenapa, ngeliat lo terpukul kayak gini malah menyakitkan bagi gua, Fa.” Batin orang itu sembari memperhatikan punggung gadis yang sudah mulai lenyap dari pandangannya.

...***...

            

Seorang pria paruh baya menatap sebuah foto yang ia pegang, airmatanya menetes mengingat usahanya selama ini  belum berhasil, “maaf,” gumamnya.

Tanpa ia sadari, ada seseorang yang tengah menatap prihatin ke arahnya, “jika kamu masih ada, tolong beri kami kesempatan untuk bertemu.” Ucapnya membatin lalu menutup gagang pintu dengan perlahan.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!