KEJUTAN, LAGI

...“Aku selalu berusaha agar kau memandangku. Namun aku lupa bahwa di matamu aku sama sekali tidak mempunyai wujud.”...

...-Zelia Safa Tsuraya-...

 

“Widih, masya Allah lo termasuk rangking dua besar paralel. Gila ini mah.” Heboh Jihan saat melihat pengumuman rangking yang tertera di mading. Safa hanya tersenyum sekilas, hari ini adalah hari pembagian rapornya. Namun berbeda dengan semester-semester sebelumnya yang selalu diambil oleh orang tua, semester kali ini sekolah langsung memberikannya kepada para murid. Mungkin sekolah sudah kehabisan wejangan-wejangan untuk murid-murid tercintanya.

             Tidak ada yang berubah dari rangking Safa, tetap menjadi dua terbaik di sekolah. Seharusnya sekarang ia mendapati peringkat satu karena ia berhasil mengalahkan sang juara satu semester lalu, akan tetapi posisinya di rebut oleh laki-laki yang sangat ia kenali. Alva, lelaki pemillik sorot mata tajam itu meraih peringkat tertinggi semester ini. Safa tidak menyangka lelaki yang gemar sekali membolos dan sangat penyendiri itu akan memiliki otak seencer itu.

             Berbicara tentang lelaki itu, semenjak kejadian di kantin minggu lalu ia benar-benar tidak mendekati Safa lagi. Mungkin karena ucapan Safa yang sangat keterlaluan, juga karna ia lelah berjuang sendirian, maybe. Sebenarnya Safa merasa sedikit kehilangan, ingat ya, sedikit. Alva tipikal lelaki yang lebih banyak menggunakan tindakan daripada perkataan. Ia juga sering menolong Safa. Namun lagi-lagi Safa tidak mempunyai pilihan lain.

             Jihan yang sedari tadi merasa tidak ada respon dari sahabatnya sontak menoleh, ia malah mendapati wajah gadis berlesung pipi itu murung. Jihan menghela nafas, Safa terlalu tertutup untuk hanya sekedar berbagi kesedihan padanya. Berbanding terbalik dengan dia yang suka blak-blakkan. Ia merotasikan pandangan ke belakang gadis itu, di sana ada seorang laki-laki yang belakangan ini dihindari sahabatnya. Ah lebih tepatnya mereka seperti sama-sama menghindar.

Lelaki itu memberi isyarat padanya agar mengambil dua buah ice cream berbentuk kerucut yang masih tersegel di tangannya, kemudian melirik ke arah Safa yang masih melamun. Jihan mengangguk paham, kemudian menerima dua ice cream tersebut. Alva langsung pergi tanpa sepatah kata pun. Jihan yang melihat itu hanya mengedikkan bahu, sebenarnya ia bingung kenapa Safa dan Alva harus seperti orang bermusuhan, padahal mereka saling peduli satu sama lain. Ia penasaran, namun ia tak ingin mengganggu privasi sahabatnya. Toh nanti kalau sahabatnya sudah siap bercerita pasti ia akan menceritakannya.

Ide jahil terlintas begitu saja di otak Jihan, ia mengambil handphonenya dan memotret wajah Safa yang tengah melamun, kemudian ia cekikikan sendiri. Ia menempelkan satu ice cream yang tadi di berikan Alva ke pipi gadis itu, dan berhasil membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. Niatnya ingin marah, namun saat melihat ice cream itu amarahnya langsung reda dan mengambilnya tanpa meminta persetujuan dari Jihan.

Jihan melotot melihat tingkah ajaib temannya, “temen minim akhlak,” gumamnya pelan. Safa malah terkekeh, “iyalah, kan belajar dari suhu yang nggak punya akhlak,” jawabnya santai sembari berlari meninggalkan Jihan yang sudah Bersiap dengan amukannya.

“lo lebih cantik ketika senyum tanpa beban gini, Fa,” batin seseorang yang memperhatikan kedua gadis itu sedari tadi.

...***...

 

             Semua anggota keluarga Sanjaya tengah berkumpul di ruang makan. Dentingan sendok yang menyapa piring tidak lagi terdengar, ritual makan mereka sudah selesai. Abbas sebagai kepala keluarga disana melirik anak kesayangannya, siapa lagi kalau bukan Clarissa yang sedari tadi sibuk makan sambil bermain handphone, sungguh tidak punya tatakrama bukan? “Ica, bagaimna nilai hasil ujianmu tadi, sayang?” tanyanya lembut. Clarissa terdiam, ia menatap sang mama bermaksud meminta pertolongan. Mamanya yang mengerti pun langsung memberi pembelaan, “nilainya masih sama seperti sebelum-sebelumnya, Pa, saat masih SMP. Tapi mama yakin ini hanya karna ia yang baru saja mulai menempuh jenjang Pendidikan yang baru, jadi masih menyesuaikan diri.”

             Sang papa mengangguk, “nggak papa, anak papa kan hebat. Lain kali lebih ditingkatkan lagi ya, sayang,” nasehatnya. Kemudian beliau mengalihkan pandangannya pada Safa, “kamu bagaimana?” ucapnya dengan nada yang bertolak belakang dengan nada yang ia pakai saat bertanya pada Clarissa tadi.

             Safa tersenyum, “Alhamdulillah rangking 2 paralel, Pa,” jawabnya semangat. Clarissa yang tidak terima kakaknya lagi-lagi lebih unggul darinya kangsung angkat bicara, “halah, kakak aja kalah sama anak baru, pa” celetuknya.

             Abbas menyipitkan matanya kea rah Safa, “benar begitu? Memalukan,” jawabnya mendatarkan ekpresinya. Clarissa tersenyum kemenangan membuat Safa naik pitam.

             “Pa, cukup ya selama ini papa sama mama selalu ngerendahin aku. Papa sama mama selalu bedain aku sama Clarissa. Lihat pa, dia bahkan mendapat ranngking terakhir di kelasnya, tapi papa sama mama tetap bangga padanya. Sedangkan aku hanya kalah dari satu orang dan papa bilang itu memalukan?” ucapnya mengeluarkan semua unek-uneknya selama ini. Bahkan oma yang sedari tadi diam di sampingnya sudah mendekap tubuhnya. Ia lelah berdiam diri dalam ketidak berdayaannya, ia juga ingin diapresiasi seperti sang adik, ia sudah mengusahakan semuanya namun keluarganya tetap tidak memandanganya.

             Abbas menggebrak meja membuat semua orang disana terkejut, mama dan Clarissa hanya diam menikmati pertunjukan ini dengan tenang. “SIAPA YANG MENGAJARKANMU BERKATA DEMIKIAN, HA?” bentaknya tanpa bisa di tahan.

             Safa tersenyum kecut, ia melepas dekapan sang oma, “NGGAK ADA YANG MENGAJARIKU, PA, SEBAB ORANG TUAKU NGGAK PERNAH MENGANGGAP KEHADIRANKU. AKU CAPEK PA, SELAMA INI DI PERLAKUKAN LAYAKNYA SEORANG PEMBANTU, TIDUR DI KAMAR PEMBANTU, IDENTITAS JUGA SEBAGAI ANAK PEMBANTU. Lantas apa yang membuat papa malu? Bukankah jikapun aku menduduki posisi pertama hanya akan membuat Bi Titin bangga, bukan atas nama anak papa dan mama?” paparnya lantang dengan merendahkan intonasinya pada kallimat terakhirnya.

             Decitan kursi mengalihkan perhatian mereka, disana terlihat sang oma memandang kecewa pada anak dan menantunya, “kalian ke-terlaluan,” ucapnya kemudian pinsan. Semua orang disana langsung kalang kabut, Safa langsung memangku kepala omanya sembari menangis, Abbas tengah menghubungi ambulans, dan mama dan Clarissa yang masih shok, namun tak berselang lama sang mama langsung mengambil alih oma dari pangkuan Safa. “Gara-gara kamu, GARA-GARA KAMU MAMA SAYA JADI SEPERTI INI. JIKA TERJADI SESUATU DENNGAN MAMA SAYA, SAYA TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKANMU ANAK PEMBAWA SIAL!” bentaknya penuh emosi dan mendorong Safa menjauhi omanya.

             Safa terisak, “Allah, sepertinya Engkau tidak mengizinkanku untuk berterus terang. Aku mohon jangan ambil oma,” pintanya dalam diam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!