NovelToon NovelToon

Sebelum Gelap Jatuh

PROLOG

“Aku tahu betul akibat dari menggantungkan harapan. Namun sayangnya aku masih nekat untuk melakukannya.”

...-Zelia Safa Tsuraya-...

Semerbak harumnya bunga menusuk ke indra penciumannya. Hembusan angin menyapu wajah cantik milik seorang gadis yang terlalu asik berperang dengan pikirannya

sendiri. Ia begitu khusyuk dalam lamunannya dengan sesekali menghela nafas dan kemudian menengadah membawa ingatannya ke kejadian beberapa tahun silam.

“Semoga betah ya, Safa! Selamat berkumpul kembali dengan keluarga kandungmu.” Seru seorang wanita paruh baya yang mengenakan tudung biru itu.

Anak perempuan berusia 12 tahun itu menampilkan cengiran andalannya, tampaknya hatinya sangat bahagia hari ini. “Iya, Bu. Safa Pamit ya,” riangnya sembari

menyalami tangan wanita paruh baya itu.

“Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih banyak karna ibu sudah mau merawat Safa selama ini, maaf jika Safa sering membuat masalah selama di sini, Bu.” Ucap Maudy, mama kandung Safa.

Ibu panti tersenyum menanggapi ucapan orang tua Safa, “enggak ada yang perlu dimaafkan, Bu. Karena Safa tidak pernah menyusahkan saya di sini, dia anak yang baik kok.” Balasnya.

Orang tua Safa melempar pandang satu sama lain kemudian mengangguk, “ya sudah, kami pamit, Bu. Ayo, Fa!” Ujar ibunya Safa berpamitan seraya membawa Safa

memasuki mobil menyusul suaminya yang sudah terlebih dulu berada di sana.

Wanita paruh baya bertudung biru yang tak lain adalah ibu panti itu menerbitkan seutas senyumannya ketika melihat betapa riangnya gadis belia yang selama ini ia asuh

setelah bertemu keluarganya . Namun di lubuk hatinya, tersisip kekhawatiran mengingat bagaimana dulu orang tuanya Safa membuang anaknya secara sengaja ke panti itu.

“Semoga kamu bahagia, Safa. Semoga mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama.” Ucapnya membatin seraya membalas lambaian tangan Safa yang mulai hilang dari penglihatannya.

Mobil yang ditumpangi Safa melaju membelah jalanan Ibu Kota, di dalam mobil hanya ada keheningan, tidak ada satu pun yang angkst bicara. Safa yang masih canggung pun ikut diam, ia takut berbuat salah nantinya. Beberapa waktu berlalu, kini mobil yang mereka tumpangi sampai di depan sebuah rumah berlantai 4 bergaya Eropa dengan nuansa

putih. Mata Safa membola memandang takjub rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai saat ini. Safa yang melihat papa dan mamanya turun, ia pun bergerak menyusul

mereka.

“Papaaa mamaaa! Akhirnya kalian pulang juga, aku kangen. Masa aku ditinggal sendirian di rumah.” Seru seorang anak perempuan yang tiba-tiba muncul dari dalam bangunan itu, kemudian langsung menghambur ke pelukan pria paruh baya yang sedari tadi bersama Safa.

Safa yang melihat itu langsung tersenyum, oh ayolah berati sekarang ia memiliki seorang adik. Ia sangat senang membayangkan bagaimana hari-hari kedepannya yang akan

ia jalani bersama adiknya itu.

Bagas langsung mengelus kepala sang putri yangt mengerucutkan bibirnya itu, “ututu, si cantiknya papa. Jangan cemberut donk sayang, nanti jadi jelek loh!” celetuknya

berusaha membujuk putrinya itu yang dibalas jururan lidah dari anaknya.

“Loh loh loh, tadi mama dengar ada yang manggil mama juga, tapi kok yang dipeluk Cuma papanya ya?” Ucap Maudy menyindir putrinya sembari berpura-pura berpikir.

Anak perempuan yang merasa disindir itu langsung menghampiri sang mama dan memeluknya, “Hehe, maaf, Ma!” cengirnya dengan menampilkan gigi gingsulnya, membuat ia terkesan manis.

Disisi lain, Safa yang melihat keharmonisan keluarganya itu merasa sedikit iri dengan adiknya itu. Bagaimana tidak, ia saja yang baru ditemukan di panti asuhan tidak mendapatkan sebuah pelukan pun dari kedua orang tuanya. Sementara adiknya yang ditinggal sebentar saja langsung disambut dengan pelukan hangat dari papa dan mamanya.

Ketiga manusia berbeda umur itu melangkah memasuki tempat tinggal mereka dengan sesekali tertawa karena candaan yang membuat perut mereka tergelitik. Safa

tersenyum getir melihat pemandangan di depannya ini, lihatlah bahkan mereka tidak ingat dengan kehadiran Safa di sini.

Perlahan tapi pasti, gadis belia itu melangkahkan kakinya mengikuti keluarganya. Mata Safa tak henti-hentinya memandang takjub kemewahan desain kediaman orang tuanya ini.“Ini mah hotel sih kayaknnya, bukan rumah lagi.” Gumamnya lirih.

Mereka berhenti di ruangan yang Safa yakini sebagai ruang keluarga, ia kembali mengedarkan pandangannya ke segala penjuru rumah hingga terhenti di satu titik. Lagi-lagi

ia tersenyum getir melihat sebuah figura besar yang berisikan foto ketiga orang yang terlihat sangat harmonis itu. “ternyata sebahagia ini mereka tanpa kehadiranku,” bisiknya membatin

sedih, namun segera ia enyahkan.

“Pa, dia siapa?” Tanya anak perempuan yang sedari tadi sibuk bercanda dengan papanya. Safa sontak mengalihkan pandangannya ke sumber suara tersebut. Ia memutar

bola mata jengah, oh ayolah sepertinya anak itu baru sadar akan kehadirannya di sana.

Sepasang suami istri itu saling melempar pandangan seperti meminta persetujuan. Kemudian sangat suami menyamakan tingginya dengan anak perempuan yang tadi bertanya,

lalu menjawab, “kenalin dia kakak kamu, Ica. Papa sama mama baru saja menjemputnya dari panti.”

Anak perempuan itu tampak tak suka, sangat kentara dari raut wajahnya yang tampak tak bersahabat. Ia menoleh menatap sang papa, “kalau dia udah di panti dari dulu,

kenapa harus dijemput lagi sih, Pa? Aku nggak sudi punya kakak, aku mau jadi satusatunya anak papa sama mama.” Ujarnya kesal kembali menatap sinis ke arah kakaknya.

Deg

Safa merasa ada sesuatu yang menghantam sudut hatinya, ekspektasi-ekspektasi tinggi yang sebelumnya sempat ia bayangkan runtuh seketika. Bagaimana tidak, baru

perkenalan saja ia sudah ditolak mentah-mentah, lantas apalagi yang harus ia harapkan dari keluarga ini. Safa tetap berusaha tersenyum saat melihat papa dan mamanya berusaha membujuk putri kecil mereka itu.

“Safa, sini kamu!” Seru sang mama menyentaknya dari lamunannya. Dengan langkah ragu ia berjalan menghampiri keluarganya, walaupun ia dapat merasakan ada

tatapan tidak suka yang sedari tadi mengintimidasinya.

Wanita paruh baya itu menatapnya sebentar seolah memberi isyarat agar ia berkenalan dengan sang adik. Safa menurutinya dan mulai mengulurkan tangannya, tak lupa dengan senyum tulus yang terpatri di bibirnya. “Kenalin aku Zelia Safa Tsuraya, Panggil aja Safa. Kalau kamu?” Ucap Safa menatap seorang anak perempuan yang mungkin berusia tiga tahun dibawahnya.

Sementara yang ditatap malah memasang wajah dingin, “Clarisa,” celetuknya tanpa berniat membalas uluran tangan kakaknya. Safa berusaha untuk tetap mempertahankan

senyumnya walaupun kondisi hatinya sungguh tidak sedang baik-baik saja.

Terdengar helaan nafas dari orang tuanya, “namanya Clarisa Aindy. Panggil saja Ica,” ujar sang mama bermaksud memperjelas. Safa mengangguk pertanda mengerti, “salam

kenal I...” “aku nggak sudi dipanggil Ica olehmu, panggil aku Clarisa.” Ucap Ica memotong perkataan Safa dan lagi-lagi ia hanya mampu mengangguk dan tersenyum membalas ucapan sang adik.

Safa hanya bisa tersenyum masam, “ah tak apalah, ini kan baru awal dan pastinya masih banyak kesempatan lain agar aku bisa mengambil hatinya hingga ia mau menerimaku

sebagai kakaknya.” Ucapnya membatin.

Gadis itu tersenyum getir mengingat saat pertama kali ia memasuki rumah ini. Tidak ada sambutan ataupun pelukan hangat yang menantinya. Hanya ada keterpaksaan dan

kepalsuan yang ia terima. Saat itu mungkin ia masih bisa baik-baik saja karena ia sempat menyangka kedua orang tuanya menerima kepulangannya dengan tulus, tidak seperti sang adik. Ternyata setelah beberapa hari berlalu, semuanya berubah hingga ia mengerti bahwa hanya ada kepalsuan dan keterpaksaan yang menemani hari-harinya di sini.

Pandangannya melayang menatap semburat jingga di bibir langit tepat lurus di depannya. “Aku sungguh selalu menanti senjamu, Tuhan. Tapi aku sangat membenci kegelapan yang engkau hadirkan setelahnya.” Gumamnya lirih.

...

...

Fatamorgana

...Mereka layaknya sebuah pelangi,  indah jika dilihat dari kejauhan. Namun saat aku berusaha mendekati aku tetap tidak merasakan apapun.”...

... ...

...-Zelia Safa Tsuraya-...

 Prang

“SAFA!” Sebuah bentakan keluar dari mulut seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah mamanya, Maudy.

Safa yang mendengar bentakan menggelegar dari sang mama mulai bergetar ketakutan. Ia langsung berjongkok untuk mengumpulkan pecahan gelas yang tidak sengaja tersenggol olehnya. Semakin dekat bunyi derap langkah kaki,  semakin membuatnya ketakutan hingga tanpa sadar ia menggenggam pecahan gelas yang ada ditangan. Sesaat tangannya seperti mati rasa karna rasa takut yang mendominasi tubuhnya. Darahnya mulai keluar dari sela-sela sobekan beling mulai mewarnai tangannya.

“Arghh,” erangnya menahan sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan, bukan karena luka itu.  Melainkan karena rasa sakit yang diakibatkan oleh sebuah tangan yang menjambak kuat rambutnya,  hingga ia merasa rambutnya akan terpisah dengan Kepalanya.

Safa mencoba mendogak melihat pelaku yang tidak lain adalah mamanya, “le-lepas-in, Ma. Sa-kit,” Mohonnya lirih sembari menahan ringinsan dan bulir airmata yang mendesak untuk keluar.

Wanita paruh baya itu tampak menampilkan smirk andalannya yang membuat Safa menelan ludahnya secara kasar, firasatnya mendadak tidak enak. Ternyata benar dugaannya, setelahnya ia merasakan benturan yang teramat kuat di kepala bagian belakangnya,  hingga kesadarannya direnggut paksa oleh kegelapan.

Maudy lagi-lagi tersenyum melihat pemandangan di depannya. “well, aku tidak salah bukan?  Ia yang meminta aku untuk melepaskannya.” Ujarnya tersenyum miring melihat anaknya yang pingsan karena kepalanya terbentur ke pinggir meja makan,  atau lebih tepatnya sengaja ia benturkan.

Maudy menatap lamat-lamat wajah pucat dengan telapak tangan yang sudah berwarna merah itu, “kamu cantik. Tapi sayangnya kamu hadir sebagai malapetaka untukku,” Ujarnya kemudian pergi tanpa berniat untuk memanggil dokter untuk mengurus sang anak.

 

...****...

Bulu mata lentik itu mengerjap perlahan,  mencoba menyesuaikan cahaya yang mencoba masuk ke dalam pandangannya. Gadis itu meringis merasakan sakit di kepala bagian belakangnya. Ia berusaha bangun,  menatap sekitar, “ah, ternyata di kamarku,”gumamnya sembari mengedarkan pandangan ke segala sudut ruangan ukuran 2×3 m² ini. Terbilang kecil memang jika dibandingkan ruangan lain di rumahnya. Ya,  inilah kehidupannya yang sebenarnya.  Dulu ia berharap bisa menjalani hari yang lebih baik di rumah ini dibandingkan saat ia tinggal di panti dulu.  Tapi nyatanya ia merasa lebih baik di panti dan lebih mendapatkan kehangatan di sana meskipun tempatnya sederhana, daripada tinggal di rumah megah namun tidak mendapatkan tempat di hati orang-orang yang menghuni rumah ini. Bahkan ia terlihat seperti anak pembantu,  bukan seperti anggota keluarga di sana.

Jangan bayangkan Safa akan mendapatkan fasilitas yang mewah,  sekolah yang elit dan kehormatan lainnya. Safa tidak memiliki semua itu,  karena semua itu mutlak hanya milik adik perempuan satu-satunya yang bahkan dianggap semua orang sebagai anak semata wayang di keluarga itu. Safa mendapatkan fasilitas seperti apa yang didapatkan oleh pembantu,  dengan kamar yang kecil,  baju yang sederhana,  dan kerjaan yang selalu menunggunya setiap waktu. Dulu Safa juga tidak bersekolah di sekolah elit,  ia hanya sekolah di sekolah negri pada umumnya. Tentu bukan atas nama anak dari seorang Abbas Putra Sanjaya,  melainkan sebagai anak dari Bi Titin, pembantu keluarga Sanjaya. Namun beberapa bulan lalu,  Safa merasa keberuntungan mulai berpihak kepadanya saat sang Papa menyuruhnya untuk sekolah di sekolah yang sama dengan adiknya,  walaupun dengan embel-embel sebagai anak beasiswa.

Namun pemikiran Safa tentang keberuntungan itu tidak bertahan lama, karena setelahnya ia semakin banyak mendapatkan perundungan, lebih parah dari yang dialaminya di sekolahnya yang lama.

“Alhamdulillah,  non sudah bangun.” Celetuk seorang wanita patuh baya yang hampir berkepala lima itu menarik Safa dari lamunannya. Ia adalah Bi Titin, wali Safa baik di kartu keluarga maupun walinya selama pendidikan. Bi Titin masuk sambil membawa segelas minuman dan makanan yang diletakkan di sebuah nampan hitam,  tidak lupa dengan senyum bahagia yang terpatri di wajahnya.

Safa lantas membalas senyum itu, “udah bi. O iya bi,  siapa yang mindahin safa ke sini, bi?” Tanyanya sopan.

Bi Titin terlihat meletakkan nampan yang tadi ia bawa di atas nakas di samping tempat tidur gadis itu. Kemudian mendudukkan diri di pinggir ranjang Safa, tangannya terangkat untuk memperbaiki Anak rambut Safa yang sedikit berantakan, “bibi sama mang Jojo tadi yang bawa non kesini. Bibi liat dari awal kejadiannya non,  tapi maaf bibi nggak bisa bantuin Non tadi,” lirihnya dengan mata yang siap untuk menumpahkan butiran-butiran beningnya.

Safa tersenyum,  sudah ia duga mereka yang membawanya ke kamar. Ini bukan kejadian yang pertama kalinya,  dan ia juga sudah hafal bagaimana watak keluarganya. Ada sakit yang tidak bisa dipungkiri,  namun ia tidak bisa melakukan sesuatu selain memendam perasaannya. Ia kembali menghela nafas, berusaha untuk mengontrol perasaannya, “tidak apa bi. Safa malah mau bilang makasih banget bibi sama mang Jojo karena udah mindahin Safa kesini.” Ujarnya tulus.

Senyum yang diberikan gadis itu akhirnya meruntuhkan pertahanan bi Titin. Airmata yang sedari tadi ia tahan,  keluar begitu saja.  Mengalir deras bagai sungai di tempat yang curam. Ia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya berada diposisi Safa. Ia segera menghapus airmata yang lancang keluar tanpa seizinnya itu, “semoga suatu saat kebahagiaan menghampiri, non. Bibi keluar dulu ya.” Ucapnya terakhir kemudian keluar dari kamar itu tanpa menunggu jawaban dari Safa.

      Safa tersenyum hambar, “apa aku pantas, Tuhan?” ucapnya membatin.

 

 

Nestapa

...“Aku babagaikan setitik debu yang menempel pada sebuah berlian. Hanya bisa menunggu waktu kapan aku dihempaskan, tanpa ada harganya lagi.”...

...-Zelia Safa Tsuraya-...

 

 Derap langkah kaki menarik seluruh perhatian dua orang paruh baya berbeda gender yang terlihat akan memulai sarapan mereka,  begitu juga dengan seorang gadis yang berada tak jauh dari tempat mereka.

“Pagi, Ma! Pagi, Pa!” Sapa Clarissa pada kedua orang tuanya. Ya,  Clarissa lah dalang dibalik derap langkah itu. Derap langkah yang dapat menimbulkan rasa ngilu pada seseorang yang melihat kehangatan keluarga kecil itu.

Sapaan yang diberikan Clarissa tentu disambut baik oleh mama dan papanya. “Pagi, princess!” Balas mama dan papanya. Clarissa langsung mengambil tempat di samping sang papa dan berseberangan langsung dengan sang mama.

Jika ada orang luar yang melihat mereka pasti orang itu akan iri melihat keharmonisan keluarga ini. Penuh kasih sayang di antara mereka,  namun sayang semua itu tidaklah adil bagi seseorang yang seharusnya menjadi salah satu bagian dari mereka. Seseorang yang sedari tadi memperhatikan semuanya,  seseorang yang tidak bisa menjangkau keluarganya sendiri padahal keluarganya sudah berada di depan matanya. Seperti ada penghalang tak kasat mata yang mengharuskan ia menjaga jarak. Menyesakkan itulah yang ia rasakan setiap harinya, “Tuhan,  apa sebenarnya rencana-Mu hingga menyelipkanku di antara mereka yang bahkan lebih bahagia tanpa kehadiranku?” bisiknya membatin sembari mengusap airmata yang entah sejak kapan mengalir indah di pipinya.

Tidak mau berlarut dalam kesedihan, ia memasukkan kotak bekal yang sudah ia siapkan ke dalam tasnya,  kemudian membawanya berjalan menghampiri keluarga kecil yang sedari tadi menjadi objek perhatiannya.  

       Langkahnya terhenti saat jarak mereka tinggal beberapa langkah lagi. “Ma, Pa. Aku mau berangkat sekolah dulu.” Pamitnya. Namun seperti biasanya tidak ada tanggapan yang ia dapatkan,  ia tersenyum getir. Hal itu sudah biasa,  namun sakitnya masih sangat luar biasa.  Perlahan tapi pasti ia beranjak  pergi,  namun baru beberapa langkah, ia berhenti saat mendengar sebuah interupsi wajib yang ia dengar setiap harinya, “jangan membuat masalah, lagi.” Celetuk sang papa tidak ingin dibantah. Ia hanya mengangguk tanpa membalikkan badannya. Ia melanjutkan langkahnya keluar dari rumah itu.  Terdengar tidak sopan bukan? Tapi sungguh ia lelah jika harus menjelaskan bahwa ia tidak pernah membuat masalah di sekolahnya, melainkan ia yang selalu dijahati dan dirundung,  tapi ia yakin papanya juga tidak akan peduli.  Yang papanya mau ia tidak terlibat dalam masalah tanpa mau tau siapa yang selalu membuat masalah.

      Saat ini ia sudah berada di angkot setelah beberapa menit ia menunggu angkutan umum itu. Ini adalah rutinitasnya sehari-hari. Pergi dan pulang sekolah dengan angkot, dan tidak pernah sarapan di rumah melainkan membawa bekal ke sekolah. Jika ditanya kenapa,  tentu karena keluarganya tidak ingin ia bergabung untuk sarapan bersama mereka.

Sesampainya disekolah ia langsung menuju ke kelasnya, menuju bangkunya yang ada di pojokan. Ia duduk sendirian di sana. Tidak ada yang mau berteman dengannya karna di sini statusnya hanyalah anak dari seorang pembantu keluarga Sanjaya yang mendapat beasiswa. Di sekolah ia di kenal sebagai gadis pendiam dan kutu buku,  sebenarnya itu hanya pendalaman perannya saja.  Jika boleh jujur bahkan ia sangat membenci membaca,  kecuali membaca novel. Untung saja otaknya sangat mendukung hingga meskipun ia tidak rajin belajar tidak akan bermasalah bagi nilainya.

Kriiing

Bel masuk sudah berbunyi, itu artinya sebentar lagi jam pelajaran pertama akan dimulai.  Kelas yang tadinya hanya diisi oleh beberapa orang mendadak full seketika. Hingga tiba-tiba,

Brakk

“Hai, cupu!” Sapa salah satu siswi yang tadi menggebrak mejanya,  dengan tanpa rasa bersalah gadis itu pergi begitu saja dengan senyum miringnya. Seluruh penghuni kelas itu menertawakannya yang membuat safa tertunduk,  bukan,  bukan karna ia takut.  Melainkan karna meredam emosi kekesalan yang tidak boleh ia tumpahkan.  Bisa-bisa imagenya sebagai gadis pendiam rusak. Jika kalian mengira Safa adalah seorang good girl, maka kalian salah. Lihat saja saat ini, sedari tadi ia sudah mengabsen nama-nama binatang bahkan segala macam sumpah serapah terpendam di dalam hatinya. Ya,  sekali lagi harus dipendam.

Guru fisika sudah memasuki kelas,  keadaan kembali kondusif sampai akhirnya sebuah ketukan pintu yang diikuti dengan suara salah satu staff TU menghentikan kegiatan di kelas, “mohon maaf, Buk. Ini saya membawa siswa baru yang kebetulan masuk di kelas ini.” Ujar staff itu sopan.

     “owh,  iya Pak. Baik, silahkan masuk, nak!” Respon buk Kiki, guru fisika itu.

Siswa itu masuk setelah staff tadi berpamitan,  ia masuk dengan malas raut wajah datar. Sontak hal itu membuat ricuh suasana kelas.

“Wow, cool banget, gilaa!”

“fiks, ini bakal jadi incaran jasmin dkk.”

“untuk pertama kalinya gua ngaku kalau gua kalah ganteng dari tu anak baru.”

“emakk, anakmu kepeleset cogan mak, eh kepelet maksudnya.” Dan masih banyak celetukan-celetukan tak berfaedah lainnya.

Bu Kiki yang mendengar kerusuhan tersebut langsung geleng-geleng, “sudah-sudah! Kamu,  perkenalkan dirimu.” Seru buk Kiki.

Siswa itu menghela nafas jengah, kemudian merotasikan pandangannya ke segala sudut ruangan itu sejenak. “Alva, King Alvandress  Dawson.” Ucapnya singkat dengan mata yang masih terpaku pada satu titik.

“Srius dia anak tunggal keluarga Dawson?”

“kampret, pendek banget kayak si Loly.”

“ngapain lo manggil-manggil gua, sumo?”

“idaman gua ini mah”

“nikah sama dia bisa-bisa tajir melintir gua.”

“suaranya berdamage woi”

Buk Kiki yang sudah sangat jengah dengan kelakuan siswa-siswinya ini langsung menyuruh mereka untuk diam. “Alva, Silahkan duduk di samping Safa. Safa angkat tanganmu!” perintah sang guru karena tidak ingin terlalu berlama-lama berada di samping siswa baru itu karena terlalu dingin.

Sedangkan gadis yang disebutkan namanya tadi mengangkat tangannya malas-malasan, sedari tadi ia sama sekali tidak tertarik dengan anak baru itu, ia malah sibuk melamun sembari melihat ke luar kelas.

Tanpa disadari,  Alva tersenyum tipis. Kemudian berjalan ke arah bangkun yang barusan di tetapkan untuknya dan mendudukkan dirinya di samping gadis yang sedari tadi tak lepas dari perhatiannya.  Tidak ada yang membuka suara,  sampai akhirnya seseorang angkat bicara, “Safa, pindah!  Gua mau duduk bareng Alva.” Ujar jasmin mengalihkan perhatian seluruh penghuni kelas.

Tidak ingin memperpanjang masalah,  Safa bangkit berniat untuk pindah. Namun ia urungkan ketika sebuah tangan menggenggam pergelangan tangannya, “Duduk!” Pinta Alva dingin.

Melihat hal itu membuat jasmine kepanasan sendiri, ia mendekati meja kedua sejoli itu, namun lagi-lagi dihentikan oleh suara Alva, “Pergi atau gua buat lo nyesel!”  Dengan perasaan yang dongkol,  jasmin kembali dengan hati dongkol, “awas aja lo Safa!” gumamnya dalam hati.

Tidak jauh beda dengan Jasmin, Safa ia juga kepalang kesal, “Lepas!” Ucapnya sambil menyentak tangan Alva yang sedang menggenggamnya. Setelah itu ia kembali duduk dan memandang keluar kelas.

“Menarik.” Batin Alva.

 

 

 

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!