SADRAH

...Jika kamu ingin berubah, maka jangan pernah melihat siapa yang mengatakannya. Namun cernalah apa yang disampaikannya.”...

...-Jihan Agnia Mumtaz-...

             “Allah, hamba mohon berilah hamba kelapangan hati agar dapat menerima segala ketetapan-Mu dengan Ikhlas. Ampunilah hamba yang sempat berputus asa dan beburuk Sangka pada takdir yang Engkau tetapkan. Terimakasih sudah mengirimkan orang yang dapat membawa hamba kembali pada jalanmu, ya Allah. Setelah ini, hamba hanya mampu berserah diri dan memohon ridho dari-Mu untuk setiap Langkah hamba kedepannya.” Munajat itu keluar dari bibir seorang gadis berkerudung putih.

             Gadis itu adalah Safa, ia terbangun di sepertiga malam karena kegelisahan hati yang tidak ia ketahui apa penyebabnya. Saat ini adalah kali pertama baginya melaksanakan sholat malam. Jangankan sholat malam, dulu saja ia sangat sering meninggalkan sholat wajib. Tadi ia sempat teringat dengan ucapan Kafi waktu itu, “kalau kamu mulai menemui jalan buntu, maka berbaliklah dan berserah kepada-Nya.” Jadi ia memutuskan untuk benar-benar berubah, bukan hanya pakaian melainkan juga dengan ibadahnya.

             Sudah terhitung tiga hari semenjak kejadian malam itu, Safa sudah mulai terbiasa dengan agenda-agenda wajibnya sebagai seorang muslimah. Itu berkat dukungan dari sahabatnya dan juga kakak dari sahabatnya itu. Ditambah lagi dengan lingkungan yang sangat mendukung yang semakin memudahkan jalannya.

Tiga hari belakangan ini dimanfaatkan oleh gadis itu untuk semakin memperdalam ilmu agamanya di sana. Ia sudah meminta izin kepada Kafi untuk mengikuti beberapa kegiatan santriwati selama Jihan berada di sekolah. Ya, Safa memang belum kembali masuk ke sekolah, ia mengirim surat izin dengan alasan karena ia masih dalam keadaan berduka. Bukan karena ia malas, namun ia belum siap untuk menerima berbagai kebencian dari para murid di sana, walaupun selama ini kehadirannya memang sudah dibenci di sana.

Tanpa Safa sadari, semua doa yang ia langitkan malam ini di dengar oleh sepasang telinga di balik tirai pembatas mushola pesantren itu. Pria itu merasakan sesuatu yang berbeda ketika mendengar keluh kesah yang terselip isakan kecil dari gadis itu, “Allah, permudahlah urusannya. Izinkan ia untuk bahagia,” pintanya di dalam hati.

Mentari pagi sudah menyapa para makhluk bumi, termasuk dua orang gadis yang tengah menikmati indahnya semburat merah yang timbu saat mentari mulai menampakkan diri. Di sini mereka sekarang, di atap gedung asrama putri berlantai empat. “Wow, Masya Allah. Gua nggak nyangka bisa lihat pemandangan sebagus ini,” seru Safa memandang takjub lukisan semesta yang tersaji di depan matanya. Tadi setelah ia dan Jihan membantu nenek memasak dengan beberapa santriwati, Jihan malah menariknya ke tempat ini. Gadis itu berkata bahwa ada sesuatu yang indah yang belum pernah Safa lihat. Dan berakhirlah mereka di sini sekarang.

Jihan tersenyum menatap senyum sumringah yang terpatri di wajah sahabatnya itu dari samping, ia ikut tersenyum walau pandangan matanya sudah buram karena genangan airmata. ”Maafin gua, Fa. Gua pernah kecewain, lo. Kedepannya gua harap lo bisa terus seperti ini,” harapnnya dalam hati yang tidak henti-hentinya menyesali dirinya yang sempat tidak percaya pada gadis itu, bahkan ia meninggalkan Safa saat sahabatnya itu sedang berada dalam titik terendah dalam hidupnya.

Safa yang tidak mendapati respon apapun langsung menoleh kepada sahabatnya itu, “lah, ngapain lo nangis segala?” ujarnya mengejek seketika mendapati gadis itu mengusap airmatanya sendiri.

Jihan diam memberenggut, ia tidak suka dengan pertanyaan yang baru saja ia dilontarkan oleh Safa. Ia yakin bahwa gadis itu peka terhadap alasan yang membuat ia menangis tanpa harus memberitahunya.

Safa menghela nafas sejenak, “dulu, gua emang pernah ngerasa putus asa sampe rasanya gua ingin cepat pergi dari dunia ini. Gua capek, gua benci takdir gua sendiri, gua pengen bahagia. Gua, gua juga iri dengan mereka yang bisa mendapatkan kehanngatan sebuah keluarga, sementara gua enggak. Tapi Han, semua itu fikiran negatif itu hilang saat lo dan kakak lo bantuin gua balik lagi ke jalan yang seharusnya gua lalui. Hati perlahan bisa berdamai dengan keadaan, ketenangan pun benar-benar bisa gua capai sekarang. Gua sangat berterimakasih ke kalian berdua, so berhenti nyalahin diri lo sendiri atas kejadian di hari-hari yang lalu.” Ujar gadis itu sembari melempar pandangan ke langit dengan sesekali tersenyum.

Mendengar hal itu bukannya membuat Jihan menghentikan tangisnya, tapi malah makin membuat tangis gadis itu semakin terdengar. Safa tergerak untuk memeluknya sebentar, “jangan lama-lama lu nangisnya, ntar ingus lo nyangkut di jilbab gua,” ucapnya jenaka.

Jihan melepaskan dirinya dari dekapan gadis itu lalu mencubitnya, “kampret lo, nggak bisa banget liat gua lagi terharu,” gerutunya kesal. Kemudian mereka tertawa bersama.

...***...

             “Kerja bagus, nggak sia-sia gua bayar lo mahal-mahal,” ucap seseorang bermasker hitam memberikan amplop coklat berisi uang itu kepada seorang laki-laki.

             “Tentu, Bos. Gua nggak terkenal karena omong kosong doank,” balasnya angkuh sembari melempar-lempar amplop coklat di tangannya itu.

             Orang yang di panggil bos itu menampilkan wajah datarnya, “tapi lo udah berhasil mengenyahkan semua bukti, kan?” tanyanya lagi. Yang dijawab anggukan oleh lelaki itu.

             Sementara di sisi lain seorang pria paruh baya tengah menatap interaksi kedua orang tersebut dengan senyum puas, “gadis bodoh!” Gumamnya.

            

 

 

            

            

 

            

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!