My You
...Pertemuan ini, entah takdir atau nasib aku sama sekali tidak tahu? ...
...Setahuku, setiap manusia memiliki takdirnya. ...
...Baik denganku, begitupula denganmu....
...-Rafazhar Wicaksono-...
...___________...
Rafa Pov ~~~
Acara lamaranku antara berhasil atau tidak, wanita itu tiba-tiba menolak untuk menikah dalam waktu dekat, entahlah karena apa?
Aku sendiri tidak mengerti. Ketika disebutkan perihal menikah dia seperti orang tersengat listrik, terkejut dan shock begitu hebatnya. Sampai aku bisa menangkap kegelisahan dari wajahnya yang tiba-tiba memerah seperti Kepiting rebus.
Hari ini, dia meminta untuk bertemu. Seperti wanita kebanyakan, dia hanya mengatakan ada yang perlu dibicarakan. Aku sendiri tidak tahu menahu tentang semua rencana pernikahan kami, tapi kuharap semoga wanita itu tak berniat membatalkannya. Aku tidak ingin disiksa lagi oleh laki-laki itu.
“Assalamu'alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Dia datang dengan wajah yang lebih tenang dari beberapa hari lalu. Senyumnya tersungging walau masih tertahan karena rasa malu. Dia menatapku sesaat, lalu duduk di kursi seberang meja.
Sengaja memilih tempat ini untuk menemuinya, selain karena di sini restoran seafood favoritku, tempat ini juga banyak menyimpan kenangan. Paling tidak, jika dia memang benar ingin membatalkan perjodohan kami, aku bisa menerima dengan senang hati begitu melihat ke lautan lepas. Deburan ombak selalu mujarab menenangkan kekacauan hati karena peliknya urusan hidupku yang penuh sandiwara.
Aku menatapnya seksama, bersiap menjadi pendengar yang baik atas apa yang akan disampaikan. Wajahnya lugu dan polos, namun tetap memiliki sisi tegas yang terpancar dari sorot mata yang agak menyipit.
“Terimakasih karena telah mau bertemu dengan saya,” ujarnya memulai pembicaraan.
“Sama-sama, saya sama sekali tidak keberatan.”
Sesaat dia menarik napas, seperti memikirkan apa yang akan ia katakan.
Sebenarnya tidak enak terus menatapnya seperti ini, takut jika akan timbul perasaan yang tak semestinya. Karena tak bisa dipungkiri, dia memiliki paras ayu khas wanita Jawa, tertutupi kehormatan dan mahkota malu yang terpelihara.
“Saya ingin membicarakan tentang pernikahan kita.”Dia menatapku sesaat, lalu kembali menundukkan pandangan.
“Iya, apa ada masalah?” tanyaku mengamati air wajahnya yang tampak tegang.
“Saya ingin membatalkan perjodohan ini.”
Inalillahi.
Sekarang akulah yang shock. Jika sebelumnya dia yang hawatir tentang pernikahan kami, sekarang aku yang serasa tersengat lebah mendengar hal ini.
“Saya tidak bisa menikah sekarang, saya ingin melanjutkan pendidikan,” jelasnya dengan wajah serius diiringi tatapan tegas.
Sesaat aku tertegun. Benar, aku tak mungkin menghancurkan masa depan dan impian seorang gadis hanya untuk memenuhi ambisi Papa. Wanita ini berhak untuk meneruskan pendidikan dan mewujudkan impiannya. Meski aku sangat penasaran alasannya menerima lamaran orangtuaku beberapa waktu lalu, sementara ia ingin melanjutkan pendidikan. Namun sudahlah, itu bukan urusanku. Aku juga tidak begitu tertarik dengan perjodohan ini.
“Saya mengerti dengan perasaan Ishita, saya senang jika kamu memikirkan pendidikan, dan mau berjuang untuk mewujudkannya.” Aku tersenyum tipis, mencoba bersikap bijak. Meski jujur, kini aku dilanda kekhawatiran berlebih.
Wanita itu menatapku serius, wajahnya seolah memelas agar aku lepaskan.
“Saya akan beritahu keluarga tentang hal ini. Tenang saja, saya tidak menyalahkan kamu kok.”
“Serius?”
Aku mengangguk pelan. Mau bagaimana lagi?
“Alhamdulillah.” Dia tersenyum. Wajahnya yang sempat murung berubah menjadi ceria dengan tatapan berbinar.
Aku ikut tersenyum. Melihat ekspresinya membuatku merasa senang. Setidaknya aku tak jadi menghancurkan hidup anak orang.
“Ini cincin yang pernah diberikan Tante Renata ke saya, karena sekarang kita tidak memiliki hubungan apa-apa barang ini saya kembalikan.” Ishita menyodorkan kotak beludru kecil berbentuk hati ke arahku. “Terimakasih karena sudah mau mengerti dengan keinginan saya,” lanjutnya tersenyum, kemudian bangkit dari hadapanku. “Assalamu'alaikum.”
“Waalaikumusalam.”
Entah apa yang akan ku jelaskan pada laki-laki itu mengenai hal ini?
Tapi aku tidak mungkin menghancurkan seseorang hanya untuk menuruti ego Papa. Aku bukanlah tipe laki-laki keras kepala seperti dia. Bersyukur aku dibesarkan pada tempat yang begitu kental dengan ritual agama, sehingga menjadikanku seseorang yang tahu dan mengerti mana hak dan kewajiban kita terhadap orang lain.
Bagiku Ishita memiliki hak untuk mencapai tujuan hidupnya, dan aku memiliki kewajiban untuk memberikan hak itu.
...***...
Ishita Pov ~~~
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat-Nya. Aku teramat bersyukur atas pertolongan yang Dia berikan.
Laki-laki itu ternyata tak seperti yang aku pikirkan, dia pria yang tampak baik. Seandainya kami dipertemukan di lain waktu, mungkin aku akan menerima pinangannya. Namun sayang, kami bertemu disaat yang tidak tepat.
Aku sudah mengembalikan cincin lamaran kami. Ku harap dia bisa menjelaskan semua kepada orangtuanya, sehingga masalah ini bisa selsai dengan cepat. Selanjutnya giliranku memberi tahu ayah dan ibu.
“Ishi!”
“Ishita!”
Ayah?
Ada apa ini? Sebelumnya beliau tidak pernah memanggilku seperti itu, kecuali ada hal gawat.
Aku berlari dari dalam kamar. “Ada apa Ayah?” Ku lihat lelaki itu pucat pasi di ruang keluarga.
“Ibu, Nak. Ibu kamu,” ucap ayah gugup.
“Ibu kenapa Ayah?” tanyaku diliputi ketakutan.
“Ibu pingsan.”
Inalillahi.
Aku menutup mulut menahan tangis yang hendak keluar. Apa yang terjadi pada pintu surgaku?
“Telpon Ambulance, kita akan bawa Ibu ke rumah sakit.”
Aku bergegas meraih gagang telpon di dekat televisi, sementara ayah berlari menuju kamar ibu.Ya Tuhan entah apa yang terjadi sekarang?
Suara seorang laki-laki menjawab telpon, kemudian menanyakan lokasi rumah kami setelah ku beritahu apa yang terjadi pada ibu.
Setelah memutuskan sambungan, aku berlari menyusul ayah dengan jantung berdegup kencang. Semakin abnormal ketika ku lihat tubuh wanita yang telah melahirkan ku tergeletak dengan mata tertutup dan sedikit keringat dingin di dahi.
“Kamu sudah telpon Ambulance?”
“Iya, Yah. Ishi sudah telpon.”Aku menggosok tangan ibu dengan kuat, mencoba memberikan rasa hangat di tubuhnya. Sementara ayah bergegas mempersiapkan semua perlengkapan.
Air mataku menetes tak tertahan, tak bisa membayangkan jika harus kehilangan ibu. Wanita ini adalah orang yang paling berharga dalam hidupku, sebagai penopang dan penerang hidupku. Aku mencintainya dengan segenap hati dan tidak ingin ia pergi.
“Ibu .... ” Tangisku sudah tak tertahan sembari mencium punggung tangan ibu.
Suara riuh tiba-tiba terdengar memenuhi pekarangan. Ayah mengangkat tubuh ibu dengan enteng, ku ikuti menuju mobil putih dengan lampu sirine itu yang sudah terparkir dengan dua orang perawat yang langsung membantu ayah.
Beberapa petugas dengan sigap memasangkan beberapa alat medis untuk membantu kestabilan kondisi ibu. Aku dan ayah duduk di samping ibu dengan terus menggenggam erat tangannya. Ayah menitihkan airmata sembari mengusap-usap kepala istrinya, rasanya sakit sekali melihat semua ini. Entah bagaimana nasibku dan ayah jika ibu sampai meninggalkan kami?
Aku belum siap kehilangan ya Allah.
...***...
Rafa Pov ~~~
Ishita ingin mengakhiri perjodohan kami, dan aku tidak bisa melarangnya. Entah bagaimana nasibku? Biarlah itu urusan nanti.
“Terimakasih, Pak.”Aku memberikan lembaran uang pecahan 50 ribu kepada sopir taksi.
Pintu gerbang itu terlihat menyeramkan, seperti tembok raksasa keramat yang tidak pernah bisa dilewati oleh siapapun, termasuk aku dan Mama dengan sesuka hati. Setiap sisi memiliki pengamanan yang begitu ketat, hampir-hampir menyerupai istana Kepresidenan.
Aku berjalan ragu melewati gerbang besi yang menjulang tinggi sekitar 3 meter di atas kepala. Entah bagaimana tanggapan Papa begitu melihatku mendatangi rumah ini tanpa menutup kepala sama sekali?
“Mama ada?” tanyaku pada salah seorang penjaga di depan gerbang.
“Ada, Mas. Di dalam bersama Tuan.”
Aku mengangguk dan berjalan menuju pintu utama, menggenggam erat kotak cincin yang dikembalikan Ishita. Barang ini harus ku kembalikan kepada Mama untuk diberikan lagi pada wanita lain yang akan di jodohkan denganku.
Belum sampai di depan pintu, Mama dan Papa bergegas menuju mobil yang terparkir di depan garasi. Entah mau kemana mereka?
“Mama! Papa!” seruku berlari kecil menuju garasi.
Papa menatap dengan sinis, sementara Mama terlihat shock dengan keberadaan ku.
“Mama mau kemana?”
“Kita mau ke rumah sakit. Ibunya Ishita kena serangan jantung,” jelas Mama dengan wajah gelisah.
“Innalillah.” Seketika, bayang wajah perempuan itu memenuhi benakku.
“Masuk!” Perintah Papa menyadarkan ku, dan segara ikut masuk mobil.
Entah apa isi kepala Papa? Sampai ia mengijinkan untuk semobil menuju rumah sakit. Mengingat itu tempat umum yang didatangi banyak orang. Tidak menutup kemungkinan ada paparazi yang mengawasi kebersamaan kami.
Entah apa rencana dari laki-laki ini?
Bersambung ....
__________
Jangan lupa vote dan komen readers...
😘😘😘
Semoga ketagihan sama cerita ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments