...Hidup adalah pilihan...
...Apapun yang kita pilih memerlukan tanggung jawab....
...Aku memilihmu, dan menuntut ku untuk bertanggung jawab atas pilihan itu....
...-Ishita Zahra Haliza-...
...______________...
Ishita Pov ~~~
Ibu mengalami serangan jantung ringan.
Dokter sudah melakukan beberapa tes untuk memastikan, dan ternyata memang begitu adanya. Entah sejak kapan semua itu terjadi? Namun selama ini beliau terlihat baik-baik saja di depan kami, tak pernah mengeluh sakit.
Aku merasa begitu bersalah, tak peka dengan kondisi ibu. Dokter mengatakan kali ini hanya serangan jantung ringan, tetapi untuk ke depannya akan terjadi serangan yang fatal jika ibu terlalu banyak pikiran.
Apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya?
Entahlah? Rasanya tak sanggup jika membebani ibu dengan pikiran pembatalan pernikahan dengan Rafa. Bagaimana jika ibu mengalami serangan yang lebih parah lagi?
"Ishi .... " Ibu memanggil dengan lirih, suaranya seakan tertinggal di tenggorokan.
"Iya, Bu?" Tanganku menggenggam erat tangan ibu. Memberi dan mencari kekuatan dari tangan lembut itu.
"Kamu jangan hawatir, Ibu baik-baik saja." Mata sayu nya menatap dengan hangat. Berusaha menenangkan ku yang mungkin terlihat ketakutan.
Aku tersenyum tipis, menyembunyikan getir hati dan kekacauan pikiran. Masih tak sanggup membayangkan jika ibu harus pergi meninggalkan kami waktu ini, disaat aku masih membutuhkannya.
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Membuat kami menengok bersamaan. Mempertemukan tatap ku dengan lelaki itu.
"Asalamualaikum."
"Waalaikumusalam," jawab kami serentak. Menyambut kedatangan keluarga tante Renata.
Masih dengan posisi di samping ibu, aku di kejutkan dengan sikap lelaki itu.
"Tante bagaimana?" Pertanyaannya berbarengan dengan tangan yang menggenggam jemari ibu. Hampir sama dengan posisiku sekarang.
"Tante baik-baik saja, Nak," jawab ibu dengan senyum mengembang, meski tertutupi alat bantu pernapasan.
"Alhamdulillah," serunya lagi. Menampakkan kelegaan yang terlihat pada air mukanya. Apa maksudnya? Apa dia benar-benar senang ibu tidak apa-apa?
"Tante minta sama kalian berdua untuk segera menikah. Tante ingin melihat Ishita jadi pengantin sebelum tante pergi." Ibu menatap kami penuh harap. Membuat hatiku semakin terkoyak ngilu.
Air mata menetes tanpa sadar. "Ibu tidak boleh berbicara seperti itu."
"Iya, Tante. Tante pasti bisa menyaksikan pernikahan Ishita." Rafa membantu menenangkan ibu. Mengurangi sedikit beban yang kini membuat bingung. Tak sadarkah dia jika ucapannya akan dianggap janji oleh ibu yang harus di tepati?
Entah dia sudah memberitahukan kepada kedua orangtuanya atau belum tentang pembicaraan kami tadi siang?
"Sebaiknya pernikahan nya dipercepat saja." Ucapan tante Renata membuatku menyadari satu hal. Rafa belum mengatakan apa-apa pada orang tuanya.
Dalam kondisi seperti ini, perasaan ingin melanjutkan pendidikan semakin mengerubungi ku. Namun bagaimana cara menjelaskannya? Apakah ibu dan ayah akan mengerti?
Satu sisi aku tak ingin menyakiti ibu, di sisi lain aku juga tak mungkin menikahi Rafa. Pria itu tahu alasannya. Menempuh pendidikan sambil berkeluarga, nyaris tak terlintas di pikiranku. Takut tak bisa berlaku adil pada suami dan anak-anakku.
Anak?
Astaga! Kenapa pikiranku sejauh itu?
"Bagaimana Rafa? Apa kamu setuju?" intrupsi ibu membuatku mengarahkan pandang kepada laki-laki berwajah manis itu.
Astaghfirullah .... mataku.
Rafa terdiam sejenak, memandangiku yang berusaha terlihat tenang di hadapan semua orang.
"Terserah Ishita saja, Tante."
Deg!
Bagaimana aku menjawabnya?
Dia tahu aku tak menginginkan pernikahan itu, tapi aku juga tak menginginkan ibu sakit. Allah .... apa yang harus ku lakukan?
Jika tadi, Rafa yang menjadi pusat perhatian, kini giliranku menjadi sasaran tatapan seluruh manusia di dalam ruangan ini. Tak terkecuali Rafa, yang memperlihatkan keprihatinan terhadap keadaanku.
Sentuhan tangan ibu di pucuk kepala, seketika membuatku melayang. Tuhan, aku tidak ingin kehilangan rasa sayang ini. Namun bagaimana dengan Belanda? Aku juga ingin ke sana.
Usapan tangan ibu semakin gencar. Lembut, namun ada tekanan di baliknya.
Aku membawa tatap ke wajah ayah. Mencoba memahami sinyal kecil yang ia berikan lewat tatapan lembut dengan sedikit senyum yang hampir tak terlihat. Ada anggukan kecil di kepalanya.
Inikah jalanku ya Allah?
Harus berjalan bersama dia? Laki-laki yang bahkan tak ku ketahui perangainya seperti apa? Pria yang hanya tampak baik, tak ku ketahui apakah benar-benar baik?
Iya, sepertinya harus ku putuskan.
Aku tidak ingin memenangkan ego dan membahayakan nyawa ibu. Biarlah rasa sesak menghimpit ku, asal jangan ibu yang mengalami sakit itu.
Sesekali aku menarik napas, berusaha untuk meyakinkan diri walau tak sejalan dengan hati.
"Iya, Bu. Ishi mau." Pilihan ini harus ku pertanggung jawabkan di kehidupan yang akan datang.
Pada saat ini yang ada di pikiranku hanya ibu. Tak penting hatiku seperti apa? Yang jelas hati ibu baik-baik saja.
"Terimakasih, Sayang. Ibu bahagia mendengar jawaban kamu." Entah beban berapa kwintal yang ada di pundakku? Namun saat ini rasanya aku akan hancur sebentar lagi.
Ibu menggosok punggung tanganku, mengucapkan terimakasih berkali-kali lewat tatapannya.
Entah apa yang membuat mereka semua begitu menginginkan pernikahan ini? Padahal aku dan Rafa sama sekali tak menginginkan ini.
Rafa menatapku lekat. Menampakkan raut bingung atas keputusanku. Jelas saja, tadi siang aku yang membatalkan perjodohan kami. Namun malam ini aku yang menyanggupinya.
Mungkin dia akan menganggap ku wanita labil? Tapi apa peduliku? Yang aku pedulikan hanya kondisi ibu. Tidak dengan Rafa, ataupun keluarganya.
...***...
Rafa Pov ~~~
Wajahnya menyendu, pinggir matanya terlihat berair dan sembab. Tadi siang dia terlihat begitu bahagia ketika aku setuju dengan pembatalan perjodohan kami, tapi saat ini ia terlihat sangat terpukul dengan keadaan ibunya yang mengalami serangan jantung tiba-tiba.
Bukannya mengatakan keinginannya untuk berkuliah lagi, ia malah menyetujui pernikahan kami. Entah wanita seperti apa dia ini?
Niatku mengatakan kepada Mama dan Papa tentang keputusan kami untuk membatalkan perjodohan, tak sempat ku sampaikan. Bahkan cincin yang diberikan oleh Ishita masih kusimpan di dalam saku.
Ku pikir itu akan berada di jari wanita lain, tapi rupanya akan kembali kepada jarinya. Entahlah ada apa dengan diriku? Namun ada sebersit rasa senang di hati ketika ia menyetujui semuanya. Meskipun aku tak begitu tertarik, tapi dengan semua ini aku bisa selamat dari amukan Papa.
Pergelaran pernikahan kami mungkin akan diadakan dalam waktu dekat? Entah dalam hitungan hari atu minggu aku tidak ingin ambil pusing. Tugasku hanya menikahinya, dan sudah, sebatas itu.
Bagaimana kami akan berusaha untuk saling mencocokan diri setelah menjadi pasangan? Aku sama sekali tak memikirkan.
Witing tresno jalaran suko kuleno.
Pepatah Jawa itu entah akan berlaku atau tidak pada kami? Yang pasti aku hanya ingin menjalani semua itu seperti air yang mengalir. Kalau nyaman teruskan, kalau tidak ... tak akan ku paksakan. Baik dia atau aku, kami memiliki hak untuk mencari kebahagiaan masing-masing.
"Aku harap kamu tidak menyesal dengan keputusan ini." Aku menatapnya seksama. Setelah sekian lama kami duduk di kursi taman rumah sakit, aku menyudahi kebisuan yang menyelimuti.
"Aku tidak akan pernah menyesal dengan keputusanku, selama itu bisa membuat Ibu bahagia." Iya, dia contoh anak berbakti pada jaman ini.
"Apakah karena itu saja?" Iseng, aku mencoba memancingnya. Sejak pertemuan pertama kami, dia begitu irit bicara.
Ishita menatapku. "Tidak ada alasan yang lebih tepat dan layak selain kebahagian dan kesehatan Ibu. Bagiku beliaulah yang terpenting." Bukan jawaban itu yang ku harapkan. Namun, yang dia katakan benar adanya.
Ishita hanya melakukan ini untuk sang ibu. Begitu juga denganku, yang melakukan ini karena suruhan Papa. Jadi ... ku pikir kita impas.
"Pakailah cincin ini, siapa tau nanti ibu kamu menanyakannya." Kotak beludru yang sempat dia kembalikan tadi siang, ku berikan kembali.
"Akan ku pakai. Terimakasih karena telah bersedia membantuku." Ishita memasukkan kotak kecil itu ke dalam saku jaket nya. Udara malam ini sebenarnya cukup dingin, tapi demi mendapatkan satu mufakat mengenai kehidupan kami. Aku bersedia duduk di sini.
"Terimakasih karena telah mau menikah denganku demi kebahagiaan ibu. Meskipun kamu tidak menginginkan hal ini sepertiku," lanjutnya mengarahkan pandang ke arah jalan raya. Aku baru tahu, jika perempuan ini adalah spesies introvert yang jarang peka dengan lingkungan sekitarnya.
Aku berada di sampingnya, tapi dia memilih menatap ke arah lain. Jika dalam kamus kesopanan dia salah besar. Dalam psikologi, menatap mata lawan bicara adalah point penting untuk mendapatkan respon yang baik.
"Sama-sama, " timbal ku singkat. Merespon seadanya, seperti yang dia inginkan?
Beberapa saat suasana menjadi hening. Ishita sibuk dengan pemikirannya, begitupun aku yang sibuk dengan pemikiranku. Pemikiran yang entah tersesat ke mana?
Aku menatap wajah Ishita seksama. Bulu matanya lentik dengan hidung bertulang tinggi. Bibirnya tebal, agak merah kehitaman. Sedikit kering, mungkin karena sering berpuasa?
Beberapa kali bertemu, baru kali ini aku memperhatikannya dengan detail. Ungkapan cantik sepertinya tak cukup.
"Rafa?" Bahuku sedikit berguncang.
Ishita?
"Kamu kenapa?"
Sejak kapan aku memperhatikannya? Sampai tak dengar dia memanggil namaku.
"Aku mau masuk ke ruangan ibu. Kamu mau tetap di sini?"
"Iya, duluan saja." Ada apa denganku?
"Asalamualaikum."
"Waalaikumusalam."
Astaga! Apa-apaan ini? Kenapa aku sampai kebablasan begini?
Ini tidak benar!
Bersambung ....
_____________
Jangan lupa vote dan komen.
Baca dengan teliti dan resapi. Semoga berfaedah.😘😘😘🤩
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments