...Entah anugerah atau musibah?...
...Yang pasti takdir tak akan pernah berubah...
...Meski berat, tetap saja menikah itu ibadah....
...-Rafazhar wicaksono-...
...____________...
Rafa Pov ~~~
Dipingit. Iya, katanya begitu. Meskipun aku tidak tahu tujuan dan makna spesifik dari ritual itu. Yang terjadi hanya dia disembunyikan di dalam rumah, dan kami tidak dibiarkan bertemu. Aku tidak tahu maksud para nenek moyang kami melakukan itu? Namun jika mereka bertujuan ingin membuat kami saling merindu satu sama lain sebelum pernikahan, mereka salah besar!
Ishita ataupun aku tak saling memperdulikan, bagaimana bisa kami saling merindukan? Jika saja tak memikirkan masalah yang akan timbul, mungkin Ishita akan menggunakan kesempatan ini untuk kabur. Terlebih dia begitu ingin meninggalkan tanah kelahirannya menuju negara mantan penjajah, yaitu Belanda. Namun sayang, nasibnya malang sehingga harus terjebak dalam lingkaran kemunafikan bersamaku.
"Bagaimana? Kamu suka?" Pertanyaan itu hanya ku jawab gidikan bahu.
"Kamu ditanya dari tadi, jawabannya tidak tahu melulu. Kamu niat nggak sih nikah?"
Nggak!
"Rafa mana tahu, Ma? Kan aku laki-laki. Emang aku pakai gaun?" Satu tepukan kasar langsung mendarat di lengan. Membuatku meringis sakit.
"Kamu kalau ditanya, jawab yang benar."
Memang aku pernah didengarkan?
Jika boleh jujur, semua pakaian di sini menurutku sama saja. Semuanya berwarna putih, semuanya terbuat dari brokat, semua seperti di film Disney. Terus kenapa harus pusing?
"Baju ini untuk calon istri kamu. Kalau dia cantik kamu juga yang senang." Mama kembali melihat koleksi di ruang sebelah.
"Mau pakai apa saja, Ishita itu cantik."
"Apa kamu bilang?" Ada apa dengan ekspresi Mama?
"Nggak ada." Berusaha mengalihkan perhatian wanita setengah baya itu, aku menghampiri sebuah manekin yang dipakaikan gaun putih sederhana dengan payet di bagian dada. Modelnya seperti hoodie, tetapi terlihat elegan.
"Wah ... pilihan kamu bagus banget! Nggak nyangka selera kamu OK juga." Mama kegirangan setengah mati, memanggil karyawan butik dengan panik.
Hah?
"Mama yakin, Ishita pasti cantik sekali dengan gaun ini."
Siapa juga yang memilih gaun? Aku hanya berusaha menghindari Mama.
Wanita muda dengan pakaian hitam berlengan pendek itu, hanya menurut ketika Mama menyuruhnya membawakan gaun di manekin. Kemudian kembali memilihkan jilbab pada lemari kaca. Entah berapa jilbab yang akan dipakai Ishita? Jumlahnya sudah sangat banyak di tangan Mama. Berbagai warna, seperti daftar pelangi.
"Sekarang giliran kamu." Mama menarik tanganku menuju ruang ganti. "Pakai ini dan perlihatkan ke Mama nanti."
"Rafa juga, Ma?" Apakah seribet ini orang menikah?
"Iyalah Rafa ... Emang kamu mau pakai kaos oblong buat nikah?"
"Emang bisa?" Aku menyukai opsi itu.
"Enggaklah! Apaan sih? Masuk sana!" Tubuhku didorong ke dalam ruangan kecil tertutupi gorden berwarna gelap. Terdapat satu kaca besar di depanku.
Setelah mengganti seluruh pakaian, aku menatap diri di cermin. Satu kalimat yang terlintas di bibir.
"Wow!" Entah siapa mahluk di depan sana?
Selama hidup, aku tak pernah menyukai pakaian formal. Jenis pakaianku hanya berkutat pada jeans dan kemeja. Untuk celana bahan hanya ada 2 buah, dan itu terpaksa karena aturan perusahaan. Ku pakai hanya ketika rapat. Memang benar aku lulusan pondok pesantren, tapi di sana kami lebih sering menggunakan sarung dari pada celana.
"Astaghfirullah!" Bayang wajah dengan kerutan halus di cermin membuatku berjingkat. "Mama main masuk saja! Bagaimana jika Rafa sedang tidak berpakaian?" Untung tubuhku sudah terbungkus rapi.
"Sejak kamu masih belum mengenal celana dan kemeja. Mama yang mandiin kamu Rafa .... "
"Itu kan beda, Ma. Rafa sudah dewasa." Astaga ... Mama ini.
"Udahlah. Toh kamu sudah pakai baju kan?" Tubuhku ditarik ke luar, memutarnya berkali-kali. Entah apa yang ingin Mama pastikan?
"Ganti lagi ya?"
"Ma .... "
Aku menarik napas panjang. Tatapan itu membuatku tak bisa membantah.
...***...
Ishita Pov ~~~
Satu berkas lagi, semuanya sudah siap. Dalam map ini semua dokumen pendaftaran beasiswa ke Belanda sudah lengkap. Menunggu untuk dikirim ke kedutaan besar Belanda di Jakarta.
Aku tersenyum menatap cermin, impianku akan segera terwujud. Setelah mencari beberapa informasi dari berbagai narasumber, ternyata tak masalah mengajukan beasiswa meski sudah berkeluarga. Urusan hubungan dengan Rafa, akan aku bicarakan dengan pria itu nanti.
"Ishi!" Ketukan di pintu membuatku bergegas. Membuka benda kayu itu dan mendapati raut bingung Ibu.
"Kamu mau kemana?" Ibu menatap tubuhku dari ujung ke ujung. "Kamu mau kemana?" Pertanyaan diulang sekali lagi.
Kenapa ibu tegang begitu?
"Aku mau ke kantor pos, Bu. Ada apa?"
"Astaghfirullah, Ishi!" Tubuhku dibawa ke meja rias. "Ganti baju kamu." Ibu melepas peniti di pashmina.
"Kenapa, Bu?" Tanyaku panik. Pakaian sudah serapi ini kenapa dilepas?
"Kamu lupa? Kamu ini sedang dipingit."
Hah?
"Selama seminggu kamu tidak boleh ke luar sampai hari pernikahan." Rambutku kini sudah tergerai. Pashmina yang ku pakai entah raib ke mana?
Tidak boleh keluar? "Maksudnya?" Aku menatap pantulan wajah ibu di cermin.
"Selama dipingit kamu tidak boleh kemana-mana. Apalagi menemui Rafa." Rambutku disisir perlahan, kemudian diikat dengan karet.
"Siapa yang mau menemui Rafa, Bu?" Jangankan menemuinya, memikirkannya saja aku malas.
"Tadi, kamu mau ke kantor pos kan? Pasti mau kirimin Rafa surat."
Astaghfirullah. Memang ini zaman apa?
"Ibu salah faham. Ishi hanya mau ke kantor pos untuk mengirim berkas." Aku membalik badan menatap ibu.
"Berkas apa?"
Berkas beasiswa.
Aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Bisa jadi ibu akan syok dan akan masuk rumah sakit lagi. Tidak, biar Allah saja yang mengatur ke depannya bagaimana?
"Pokoknya kalian dilarang bertemu sampai hari pernikahan." Ibu meletakkan sisir di atas meja.
"Tapi, Bu?"
Ibu menggeleng tegas. "Setelah menikah kalian akan satu kamar juga." Kekehan ibu membuatku bergidik.
Satu kamar? Astaga! Kenapa perutku jadi mual memikirkannya? Aku bahkan tak berpikir sampai di sana.
Ibu ke luar meninggalkanku. Dan dengan entengnya mengunci pintu dari luar. Memang aku akan kabur apa? Meski ingin, aku masih punya hati untuk tak mempermalukan orang tua di depan umum.
Entah siapa yang mencetuskan ide dipingit menjelang pernikahan? Aku tak mengerti dampaknya secara langsung, selain hanya perasaan bosan dan tertekan. Setidaknya itu yang ku dengar dari teman-teman yang sudah menikah, dan satu suku. Acara adatnya panjang sekali. Belum siraman, bemum ini, belum itu. Apalagi Ibu dan Ayah keturunan Jawa ningrat. Entah selama apa prosesnya?
...***...
Rafa Pov ~~~
Sebentar lagi kamu jadi suami. Bersikaplah selayaknya suami, tidak selayaknya majikan terhadap pesuruhnya.
Sesekali aku menggaruk tengkuk mengigat perkataan pak kiai. Jelas sekali jika beliau memintaku memuliakan istri. Yang berarti Ishita. Wanita introvert, yang aku tidak tahu apakah bisa beradaptasi dengan kehidupanku nanti?
Setahuku, seorang introvert hanya asyik dengan dunianya sendiri.
Setelah pulang dari butik, aku memutuskan mampir ke pondok. Setidaknya meminta nasihat dari guru besar pondok mengenai pernikahanku.
Senakal-nakalnya diriku, perihal urusan sakral begini aku tak ingin salah langkah. Terlebih beberapa kali sempat mengikuti kajian tentang pernikahan, walau tak pernah berpikir akan menerapkannya dalam waktu sedekat ini.
Menikah itu memang berat, tapi seberat-beratnya menikah itu bernilai ibadah. Dan seberat-beratnya ibadah, itu berpahala.
Wajah sepuh lelaki itu membuatku menarik napas. Sedikit lega mendengar petuah bijaknya. Setelah sekian hari merasa tertekan dan bingung, aku menemukan secarik cahaya di lorong gelap.
Meski tujuan awal dari pernikahan ini sedikit salah karena niat Papa. Namun sebagai orang yang menjalankannya, aku harus meluruskan niat, membersihkan hati dan yang pastinya memantaskan diri.
Ishita mungkin tak berarti apa-apa bagiku saat ini. Begitupun aku yang tak berarti apa-apa untuknya. Namun sebagai kepala rumah tangga nantinya, aku adalah nakhoda yang menentukan bahtera akan berlayar dengan aman atau tidak?
Aku tak berharap lebih dari pernikahan ini. Tetapi setidaknya, aku harus berusaha lebih untuk tetap membuatnya baik-baik saja. Ishita adalah calon ibu, sekolah bagi generasi yang terlahir dari rahimnya. Entah anakku atau tidak yang akan dia lahirkan, kewajibanku memperlakukannya dengan baik. Seperti Rasululloh Saw yang selalu memperlakukan wanita dengan baik dan lembut.
Entah anugerah atau musibah? Tetap takdir tak akan berubah.
Bersambung....
______€€____
Bintangnya dong di pojok kiri. ⭐⭐🌟
Salam literasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments