PART 16

...Rahasia hubungan saya dengan Ainun adalah tak ada rahasia. Semuanya kami bagi bersama....

...-**. Habibie-...

___________

Rafa Pov ~~~

Membuka pintu aku menemukan Ishita sedang tertidur di meja makan. Di atas meja terdapat hidangan makan malam yang terlihat sudah mendingin. Selarut itukah aku kembali sampai dia tertidur? Ah iya, ini sudah jam sepuluh malam lebih. Aku tak bisa pergi sebelum Khansa benar-benar tenang.

Melangkah ke meja makan, tubuh Ishita bergerak dan menengok ke arahku dengan mengucek kedua mata.

"Mas?" Suaranya serak dengan mata memerah. "Kamu habis dari mana?" tanyanya menghampiriku. Menelisik tubuhku dari bawah ke atas sampai pada bajuku yang terlihat sedikit kotor.

"Kamu kenapa sih?" Dia mengernyitkan alis karena belum menerima jawaban dariku. Wajahnya tampak diliputi kekhawatiran.

"Nggak apa-apa." Berusaha tersenyum aku berjalan meninggalkannya. Ingin menenangkan pikiran dengan mandi dan tertidur. Pagi-pagi sekali aku harus kembali ke rumah Khansa.

Sampai ke kamar aku menerobos masuk ke kamar mandi, mengguyur tubuh dengan air dingin. Bayang-bayang apa yang terjadi di rumah Khansa membuatku pening. Masih sangat jelas bagaimana ibunya meraung ketika melihat wajahku. Mengingatkan kembali jika aku adalah pria yang diharapkan oleh keluarga mereka. Pria jahat yang meninggalkan putrinya setelah membicarakan lamaran seminggu sebelumnya. Meski ada alasan besar di balik itu semua.

Suara pintu yang terbuka membuatku cepat-cepat mengakhiri kegiatan. Melilitkan handuk dan berjalan ke luar. Di depan lemari ku dapati Ishita sedang berganti pakaian, yang serta merta membuatku memundurkan langkah.

Apa yang dia lakukan?

Menunggu beberapa saat, kini dia telah berada di meja rias. Membuka jilbab dan menyisir rambut sepundaknya.

Menarik napas, aku melangkah ke lemari. Mengambil baju ganti dan kembali ke kamar mandi. Aku ingin tertidur secepatnya. Sebelum terlintas pemikiran aneh di kepalaku kepada Ishita.

"Mas?"

Menjenggit, aku terbelalak melihat Ishita yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. Ada apa dengan bajunya?

"Kamu mau tidur?" Pertanyaannya membuatku tersadar dan mengangguk seperti orang bodoh.

Tersenyum dia menyentuh rahangku. "Kita tidur sama-sama?" Dan sepertinya aku akan gila sebentar lagi.

Kembali mengangguk, dia membawaku ke tempat tidur. Merapikan bantal dia memposisikan diri di samping kanan. Dan betapa terkejutnya ketika dia menahan ku untuk berbaring, kemudian menempatkan kepala di atas dadaku. Posisi kami kini bersandar di kepala ranjang.

Wangi mint dari rambut Ishita sedikit membuatku nyaman. Mulai menikmati posisi kami saat ini. Seandainya ini bisa terjadi selamanya.

"Mas .... "

"Hmm .... " Ngantuk Ku menghilang dalam sekejap.

"Kamu habis dari mana?" Pertanyannya membuatku mendadak tegang. Antara siap atau tidak memberitahunya apa yang terjadi.

"Aku dari rumah temen."

Kepalanya terangkat dan menatapku bingung. "Kok bajunya bisa kotor begitu?"

Pertanyaan itu membuat ingatanku kembali berputar. Melihat gundukan tanah yang masih basah itu, aku mengilu. Bagaimana mungkin perbuatanku sampai bisa menghilangkan nyawa seseorang?

"Baba kena serangan jantung." Penjelasan Khansa membuatku mematung. "Entah siapa yang mengirim undangan itu ke rumah, dan Baba membacanya." Tangis pecah Khansa membuatku menunduk penuh sesal di atas misan keramik itu. Tersuguk menggenggam tanah basah yang baru dituruni hujan.

"Dia shock, Fa ... Baba kaget dengan semua itu .... " Guncangan di pundak Khansa membuatku mendekap kuat tubuh itu. Dibalik sikap tegasnya ketika mengajar, dia pribadi yang sangat mudah rapuh.

"Baba ... kecewa, Fa. Baba sedih .... "

Iya, tentu saja. Ayah mana yang tak kecewa ketika putrinya ditinggal menikah oleh sang tunangan. Ayah mana yang tak terpukul ketika lamaran anaknya dibatalkan secara sepihak, tanpa penjelasan. Walau kepergian itu didasari rasa sakit yang tak dapat ku ceritakan pada siapapun. Rasa sakit yang perlahan terobati karena hadirnya Ishita.

"Tetaplah seperti ini. Aku butuh kamu." Kalimat itu meluncur tiba-tiba. Iya, aku membutuhkannya saat ini sebelum aku tergelincir terlalu jauh. Dan dilumuri rasa bersalah yang akan bertambah jika aku menambah daftar orang yang ku kecewakan.

Menunduk, ku dapati senyum di bibir merahnya. Aku terkadang tak dapat mengerti jalan pikiranku. Satu sisi kadang aku sangat menginginkan Ishita, tapi di satu sisi aku juga takut jika harus melukainya. Seperti sekarang, luka itu seakan sedang berjalan menuju kami.

"Ishi .... "

"Iya?" Dia mendongak menatapku.

"Apa kamu akan marah jika tahu aku berbuat salah?" Pertanyaan itu entah kenapa ingin ku utarakan? Bersiap jika kenyataan pahit akan menerpa rumah tangga kami.

Ishita mengerjap beberapa kali, mungkin mencoba menyesuaikan pendengarannya. "Tergantung jenis kesalahannya," jawabnya memainkan jari di atas dadaku. Membuatku semakin merasa bersalah.

"Contohnya? " Berusaha mencari tahu, meski aku sudah tahu jawaban apa yang akan pertama kali dilontarkan oleh seorang perempuan.

"Perselingkuhan." Dan iya, itulah tebakanku.

"Perempuan sanggup hidup kekurangan, Mas. Tapi kami tak akan sanggup jika harus berbagi hati." Tak akan ada yang sanggup, termasuk aku. Tak sanggup membagi rasa ini yang sudah semakin besar kepadanya.

Tersenyum tipis aku mengusap ujung rambut tebal Ishita. Membiarkannya tertidur di atas pelukan. Meski kini pikiranku melayang pada percakapan tadi siang dengan ibunya Khansa.

Menerima tatapan dari mata tua itu aku sedikit terenyuh. Begitupula dengan usapan hangat di atas kepala yang membuatku sangat merasa bersalah karena telah mengecewakannya.

"Ibu tak memaksa, jika kamu dan istrimu tak keberatan silahkan saja." Wanita tua itu menggenggam tangan putrinya.

"Ini hanya amanat, jika kamu sanggup lakukan, jika tidak jangan coba-coba."

Potongan percakapan itu membuatku berpikir keras. Bagaimana cara menyampaikan kepada Ishita agar dia tak terluka? Dan bagaimana denganku juga yang harus menyesuaikan hati nantinya?

Oh Tuhan ... ini rumit!

Aku tidak ingin merusak ketenangan ini. Lihatlah! Wajahnya begitu damai ketika tertidur di pelukanku. Aku tak akan tega melihat mata bulat ini berair.

Tanganku menyentuh wajah kenyalnya. Membuat Ishita perlahan membuka mata.

"Kamu bangun ya? Aku minta maaf," kataku mengusap pipinya. "Kamu mau tidur lagi?" Dan dijawab sebuah gelengan yang tak ku mengerti.

"Aku mau tidur bareng."

Antara bingung dan takjub aku memasang senyum lebar. "Yakin?" godaku melihat ekspresinya yang agak gugup.

"Kalo nggak mau ya udah." Dia memasukkan tubuh di balik selimut. Memunggungi Ku yang hanya bisa memeluknya dari belakang.

"Jangan ngambek dong. Aku hanya bercanda." Dan ungkapan itu berhasil membuatnya membalikan tubuh.

"Pelan-pelan." Satu kalimat dari mulut Ishita sebelum aku benar-benar lupa dengan keadaan di sekitar kami.

...***...

Ishita Pov ~~~

"Mas .... " Dia masih tertidur setelah sholat subuh tadi. Mungkin kewalahan? Entahlah, tapi seharusnya aku yang merasakan itu.

Mengerjap, dia berdehem sebelum menatap kopi yang ada di tanganku. Bersandar di kepala ranjang, lalu mengusap wajahnya sesaat.

"Sudah jam berapa?" Rafa meraih cangkir kopi yang ku berikan. Menyeruputnya sedikit lalu meletakkannya di atas nakas.

"Jam tujuh, kamu ada acara?" Aku menatapnya dengan lembut. Masih terasa sisa-sisa semalam.

Dia menggeleng, lalu meraih tanganku dan mengecupnya perlahan. "Terimakasih," ujarnya tersenyum.

Mengangguk aku mencium punggung tangannya. "Itu hak kamu."

"Apa hanya karena itu?" Dia menautkan kedua alis. Aku mengerti apa maksudnya.

Mengangguk, aku sengaja membuatnya jengkel. Ingin melihat reaksinya, jika tahu aku melakukannya semalam tanpa rasa cinta.

"Oh iya?" Dia menyeringai dengan nakal. "Terus apa maksudnya tuh, nyebut-nyebut nama pas__"

Satu pukulan di atas lengan menghentikan ucapan konyolnya. Membuatnya tertawa renyah lalu menarik ku ke atas pangkuan ketika hendak pergi.

"Mau kemana?" Tangan kekarnya melingkar di pinggangku.

"Ke luar," jawabku tak berani menatap netranya.

"Nggak usah kemana-mana, di sini aja." Rafa menelusup kan wajah ke ceruk leher, membuatku menggelinjang geli karena ulahnya. Namun bukannya berhenti, dia semakin gencar melakukan hal itu.

"Mas ... kamu harus mandi!" peringatku mendorong tubuhnya. "Aku siapin sarapan dulu." Secepat mungkin aku mengambil langkah menuju pintu. Jantungku bisa meledak jika terus diperlakukan seperti itu.

Memegang dada aku menarik napas berkali-kali. Mulai membuka kulkas ketika jantungku sudah kembali normal. Aku harus membiasakan diri mulai sekarang jika tidak ingin mati mendadak.

Hendak memotong sosis, suara telpon dari ruang keluarga membuatku meletakkan segala perkakas masak. Tumben ada telpon pagi-pagi.

"Halo, kediaman Pak Rafazhar wicaksono, ada yang bisa dibantu?"

"Ini Ishita?"

Terdiam sejenak, aku mengingat ulang pemilik suara ini.

Khansa? Tapi ada apa?

Bergelut dengan pemikiran, aku tersadar ketika mendengar langkah Rafa di tangga. Menatap ke arahnya dan memberi isyarat jika ada yang menelpon.

Mempercepat langkah, Rafa meraih gagang telpon yang ku sodorkan. Hingga beberapa saat dia menegang dan menutup telpon dengan cepat.

"Ada apa?" Tak menjawab, dia memilih meninggalkanku ke kamar.

Beberapa saat ia kembali turun dengan pakaian yang lebih rapi, membawa kunci mobil dengan langkah tergesa-gesa. Mau kemana dia?

"Kamu mau ke mana?" Tanyaku berharap membuatnya berhenti. Namun dia hanya menatap sesaat sebelum menghilang di balik pintu.

Ada apa sebenarnya? Dan siapa wanita yang menelpon?

Bersambung ....

__________

Terpopuler

Comments

Elmi yulia Pratama

Elmi yulia Pratama

rafa d awal udah cari penyakit,, malah ibunya nawarin poligani anaknya si khanza buat rafa

2023-10-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!