...Tak ada yang lebih ampuh menghancurkan suatu hubungan, selain komunikasi yang mulai renggang...
...____________...
Ishita Pov ~~~
Terdiam, aku mematung melihat dapur yang dua hari ini tak pernah ada aktifitas apa-apa di dalamnya. Dua hari aku hanya memilih untuk memesan makanan dari luar, enggan jika harus masak dan makan seorang diri.
Percayalah, kini aku sedang kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi dua hari ini? Semuanya benar-benar berubah.
Mengabur, aku menghapus cairan bening yang kini menggantung di pelupuk mata. Rasa teremas di dalam dada semakin nyata ketika mengingat kejadian tadi. Pria itu ... pria yang bersama Khansa bukankah itu Rafa? Iya, aku kenal betul dengan tubuhnya. Dan mobilnya? Aku hafal flat mobil suamiku.
Ya Allah ... apa ini?
Pertanyaan yang ditanyakan Khansa, apakah itu sebuah pertanyaan yang memang sengaja di ajukan? Agar dia tahu apakah aku siap untuk di madu?
Tapi tidak, aku tidak akan menghakimi siapapun sebelum semuanya tampak jelas. Ayolah! Aku bukan perempuan posesif yang hanya akan menghajar seseorang karena apa yang aku lihat. Karena mata bisa saja menipu.
Melanjutkan langkah ke dapur, aku meletakkan tas dia atas kitchen island. Terduduk menuang air ke dalam gelas. Iya, sepertinya aku dehidrasi sehingga berpikir macam-macam.
Satu tegukan, berhasil membasahi tenggorokan. Setidaknya, api di dalam dada bisa padam dengan siraman air dingin ini.
Menarik napas, aku membangkitkan tubuh. Kemudian sedikit tersentak ketika sesuatu melingkar di atas perut.
"Aku kangen .... " Bisikan itu membuatku menegang. Memutar kembali adegan ketika aku melihat Khansa dan calon suaminya. Tapi tidak, aku tidak boleh gegabah. Biarkan semuanya berjalan seperti biasa, karena sepandai apapun bangkai di sembunyikan pasti akan tercium juga. Percayalah, aku hanya terlalu takut jika apa yang ku pikirkan benar adanya.
Membalik tubuh, aku mendapati wajah Rafa yang tampak lesu. Apakah dia sedang kelelahan?
"Kamu capek ya?"
Mengangguk, Rafa menempelkan tubuhnya. "Aku kangen banget sama kamu," ujarnya meraih satu tanganku untuk dicium. Sekarang apakah aku pantas untuk menaruh curiga? Walau jujur, hatiku meringis ketika memikirkan apakah Khansa di perlakukan dengan sama?
Tersenyum, aku mengusap wajahnya. "Aku juga." Disambut tatapan yang entahlah, tak dapat ku artikan.
"Mas Rafa mau makan?" tawarku yang dijawab sebuah gelengan. Tentu saja dia sudah makan bersama Khansa.
Bodoh Ishita!
"Kita tidur saja bagaimana? Aku kurang tidur semalam." Aku tahu maksud di balik itu. Dia membutuhkanku.
"Tentu." Dan tubuhku sudah berada di atas gendongannya. Kenapa sekarang aku berpikir jika aku hanya dijadikan pemuas nafsu?
Ah kamu kenapa Ishita?
Dia suamimu, memang harus pulang kepada mu jika sedang mengalami hal itu!
Menurunkan Ku setelah sampai di kamar, Rafa meraih tas di atas bahu dan meletakkannya sembarangan. Sejenak menatapku dengan lekat, menaruh tangannya di balik pinggang. Wangi ini yang ku rindukan dari kemarin. Wangi maskulin yang mampu membuatku melupakan apa yang terjadi sebelumnya.
"Kamu ke mana tadi malam?" Pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Di sambut kernyitan alis oleh Rafa.
"Aku dari rumah teman." Wajah kami sudah tak berjarak. Puncak hidunganya berada di atas hidungku. Napas beratnya membuat dada ini menyesak.
"Lalu tadi pagi?" Kembali ku ajukan pertanyaan. Aku tidak akan melakukan apapun di bawah kekacauan pikiran. Aku tahu akibat apa yang akan timbul jika melayaninya dalam keadaan tidak rileks. Aku harus mengetahui semuanya agar jauh lebih tenang.
Dia tersenyum, senyum yang memperlihatkan ketidak sabaran. "Aku di kantor mengurus sesuatu." Napasnya semakin memberat dengan posisi tangan sudah naik ke punggung. Tubuhku sudah melemas sedari tadi, tapi tidak dengan kesadaranku yang harus tetap terjaga.
Mengusap dada bidangnya, aku kembali bertanya. "Jika tadi? Apa yang, Mas Rafa lakukan?" Dan kini dia telah membuka mata, menurunkan tangan dan menjauhkan wajah kami. Ada kilat kecewa di netranya, tapi berusaha dia tahan agar tak melontarkan kata yang tak seharusnya.
"Apa kamu ingin mewawancarai ku sekarang?" Percayalah, raut wajahnya sudah memerah. Entah menahan gairah atau menahan emosi? Tapi aku ingin mengetahui semuanya sekarang juga.
Tergelak, aku mengusap tengkuknya. Usapan yang dipercayai mampu menenangkan. "Aku hanya ingin tahu suamiku ke mana selama dua hari ini? Tidakkah dia merindukan istrinya?"
Tersenyum, dia semakin menempelkan tubuh. Napas beratnya kembali menghempas wajah. "Jika ku katakan aku rindu, apakah aku mendapat hadiah?"
"Tentu," seruku dengan lirih di telinganya, dan kini aku melihat awan gelap di kedua netranya. Kabut gairah yang sebentar lagi akan semakin pekat.
"Kamu cantik." Satu kalimat terakhir sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaran.
...***...
Rafa Pov ~~~
Inilah yang tidak bisa membuatku lepas dari Ishita. Kehangatan ini, yang ku yakini hanya dengannya aku bisa merasakannya dan cukup hanya dia tempatku pulang.
Menyelesaikan segala kewajiban, aku beringsut menuju kamar mandi. Sebentar lagi maghrib dan lebih baik aku mempersiapkan diri. Ada banyak hal yang harus di selesaikan malam ini.
Selesai dengan ritual membersihkan diri, aku melilitkan handuk di pinggang. Ke luar menuju Ishita yang kini sedang bersandar di kepala ranjang. Tatapannya kosong tanpa menyadari keberadaan ku. Membuatku merasa was-was tentang apa yang dia pikirkan.
Pernah dengar jika insting seorang istri begitu kuat terhadap suaminya? Iya, ku pikir apakah Ishita sedang merasakan itu juga? Terlebih dia sudah memberondong ku dengan beberapa pertanyaan saat baru datang tadi. Itu bukanlah kebiasaannya.
Mendekat, aku menyentuh ujung kepala Ishita, membuatnya menjenggit dan menatapku gugup.
"Ada apa?" tanyaku yang dijawab gelengan. Kemudian bergegas menuju kamar mandi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Memakai pakaian lengkap untuk sholat, pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan Ishita dengan jubah mandi dan kepala terbungkus handuk.
Tersenyum, aku menghampirinya yang sedang menggosok rambut. "Kamu mau makmum?"
"Nggak usah. Kamu ke masjid saja, Mas. Aku akan sholat di rumah sendiri." Meninggalkanku, dia berjalan menuju lemari, mencari pakaian yang entah kenapa tak bisa dia temukan. Beberapa jenis pakaian dia keluarkan secara acak, namun tak satupun membuatnya tertarik.
Menghampiri, aku menyentuh pundaknya. "Ishi .... " Membuat dia berbalik, dan ku temukan satu bulir bening menetesi wajahnya. Dia kenapa?
"Kamu kenapa?" Aku menangkup wajahnya dengan lembut, mengarahkan tatapannya tepat ke netraku. "Apa ada yang sakit?" tanyaku meraba tubuhnya dengan khawatir, yang hanya ditanggapi dengan kebisuan.
"Hey, ada apa?" Percayalah aku benar-benar takut saat ini. Lebih baik menghadapi seribu ocehannya dari pada menghadapi sikap diamnya, ini menakutkan.
Bergeming, Ishita hanya menatapku dengan lekat. Kemudian bergerak mengambil sebuah mukena yang sangat ku kenali.
"Apa kamu masih menginginkanku memakai ini?" Pertanyaan yang sangat aneh. Tentu saja, aku ingin dia tetap memakai mukena pemberianku. Karena itu mahar pernikahan kami.
"Sayang ... kamu kenapa sih? Apa aku ada salah?" Aku mengutuk diri karena harus berpura-pura tak berdosa. Tapi aku tak mungkin mengatakannya sekarang juga. Itu tak akan menyelesaikan masalah.
Menggeleng, Ishita mengenakan mukena putih gading itu. Menatap cermin dan menghapus sisa tangis di ekor mata. " Apa kamu percaya jika kejujuran adalah pondasi sebuah hubungan?" Dia membalik tubuh, menatapku dengan serius.
Iya aku percaya, meski kini aku sedang merusak pondasi itu perlahan-lahan.
Menatapku lebih dekat, dia melanjutkan ucapan. "Dan aku merasa ... pondasi itu mulai goyah."
Deg!
Apa Ishita tahu kebenarannya? Sejak kapan? Dari mana?
"Ishi .... "
Mundur, Ishita menghindari sentuhanku. "Sudah azan, Mas. Lebih baik kamu pergi ke masjid." Tak menatap wajahku, dia berjalan meninggalkan kamar. Kemudian terdengar suara langkah kaki berburu menuruni anak-anak tangga.
Bersambung ....
______________
Kadang aku heran. Kenapa masa lalu selalu mengambil peran pada kehidupan setiap manusia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments