...Sedekat apapun raga, tak akan pernah sampai pada dermaga cinta, jika hati masih memilih sendiri....
...___________...
Rafa Pov ~~~
Pagi ini, hari pertama Ishita akan melakukan kegiatan barunya. Menjadi mahasiswi magister di salah satu universitas swasta ibu kota. Meski hanya universitas swasta, aku tetap memilihkan yang terbaik. Sadar jika setiap ilmu yang dia dapatkan akan berpengaruh pada bagaimana ia akan bersikap dan bertindak. Baik sebagai istri ataupun ibu nantinya.
Selepas subuh, dia sudah bergelut dengan berbagai kegiatan. Mencuci dan mengepel dia lakukan pagi-pagi buta. Membuatku meringis melihat ia mengerjakan itu semua seorang diri.
"Jangan terlalu lelah, kita bisa pakai jasa laundry." Aku mengambil alih kemeja yang sedang di peras. Menyampirkan pada jemuran.
"Jangan suka menghamburkan uang." Dia mengambil jeans dari dalam ember, segera ku bantu dengan meraih ujung celana berat itu. Bersamaan untuk menghilangkan airnya.
"Kamu melakukannya sejak subuh, biar aku yang melakukan sisanya," tawarku mengelap bulir keringat di ujung hidungnya. Sungguh, aku tak tega.
"Biasa aja, Mas. Tidak usah lebay!" Dia meninggalkanku dengan tergelak. Apakah dia tidak bisa melihat jika aku benar-benar hawatir?
Menyusul ke dalam rumah, ku dapati dia sedang memotong bumbu di kitchen island. "Kamu mau apa?" tanyaku terkesiap melihatnya masih sanggup bekerja, dengan wajah sudah dipenuhi keringat. Bagaimana jika dia pingsan?
"Kamu pikir aku sedang apa? Aku buat sarapan, Mas. Kamu tidak ingin memakan masakan orang lain bukan?"
Akh! Aku menyesal kenapa memiliki lidah sangat pemilih. Bahkan dalam kelelahan Ishita harus membuatkan sarapan.
"Em ... kita bisa makan di luar?" Semoga keputusan ini tidak salah. "Kamu bisa mandi dan bersiap, setelah itu kita berangkat menuju kampus kamu."
Alisnya bertaut membentuk gelombang. "Yakin?"
"Iya. Kita bisa sarapan di luar agar kamu tidak telat," kataku meyakinkan. Meski ragu, jika perutku tidak akan bermasalah.
Menggendikan bahu, dia melepas pisau. Mencuci tangan lalu berlari ke kamar. Membuatku menarik napas lega karena berhasil meyakinkannya.
Sembari menunggunya selsai, aku menuju garasi menyiapkan mobil. Mengelap body benda itu agar terlihat mengkilap. Hari ini adalah hari istimewa, jadi semua harus spesial.
Menyelesaikan pekerjaan membersihkan mobil, aku memutuskan untuk mandi di kamar mandi bawah. Daripada harus terlambat karena menunggu Ishita yang selalu berhasil mencetak rekor terlama ketika mandi.
Beberapa saat setelah membersihkan diri, aku bergegas menuju kamar. Lihatlah, dia bahkan belum selsai setelah hampir setengah jam.
Memakai pakaian lengkap, aku menyisir rambut yang sedikit basah. Tak sengaja melihat pantulan wajah segar Ishita yang baru keluar dari kamar mandi pada cermin.
Sesaat tatapan kami terkunci, seakan berbicara lewat tatapan masing-masing. Sampai ahirnya terhenti setelah Ishita berjalan ke lemari untuk mengambil pakaian. Kemudian masuk kembali ke kamar mandi untuk berganti.
Terduduk di tepi ranjang, aku merasakan jantungku palpitasi untuk kesekian kali. Ada rasa yang tak biasa ketika melihat tatapannya. Tadinya hanya getaran sederhana, tapi kian hari getaran itu kian hebat.
"Aw!" Suara berisik dari kamar mandi membuyarkan lamunanku.
"Ishi ... ada apa?" tanyaku mengetuk pintu dengan cepat.
"Tidak apa-apa!" Teriakan dari dalam membuatku mengurungkan niat untuk menerobos masuk. Iya, sepertinya dia memang baik-baik saja.
"Akh!" Sekali lagi, dan aku sudah diliputi hawatir.
"Aku akan masuk, boleh?" Tanganku menyentuh handel pintu. Menempelkan telinga pada kayu, yang tiba-tiba tak mendengar suara lagi. Kenapa Ishita?
Tepat ketika aku akan mendorong pintu, wajah kusut Ishita muncul dari dalam. Keadaannya benar-benar kacau, dengan rambut basah berantakan.
"Kamu kenapa?"
Tak menjawab dia berjalan menuju meja rias. Memegang punggungnya yang entah kenapa?
"Kok malah diem?" Bentaknya dengan bibir mencebik. Membuatku tergagap dan berjalan menghampiri.
Membalik badan. Pemandangan itu membuatku hampir kehilangan keseimbangan. Apakah ini benar-benar nyata?
"Bantuin. Resletingnya macet." Ishita merapikan rambut yang berantakan di atas punggung. Mengekspos kulit putih langsat yang tampak di balik gamisnya.
Entah apa mimpiku tadi malam? Namun bukankah ini anugerah? Aku tahu seharusnya aku tak berpikir macam-macam, tapi bukankah wajar jika seorang suami menginginkan istrinya?
"Mas .... "
"Ah-- iya." Menelan ludah, tanganku sedikit bergetar menyentuh cantel resleting. Semakin hebat, ketika jemariku tak sengaja menyentuh kulit putih nan kenyal itu. Entah perawatan seperti apa yang Ishita lakukan selama ini? Hasilnya benar-benar memuaskan.
Segera berbalik, aku menormalkan jantung yang seperti sedang menendang ingin ke luar. Ini lebih hebat dari biasanya. Jika biasanya hanya desiran halus, kini darahku mengalir dengan deras.
Jangan terpengaruh Rafa ... dia akan kuliah hari ini.
"Mas .... "
Argghhh ... kenapa suaranya seperti itu?
Tuhan maafkan aku.
...***...
Ishita Pov ~~~
Hak!
Apa ini?
Kenapa tubuhku tak bisa digerakkan? Aku ingin berhenti, tapi tubuhku menolak melakukannya.
Rasanya ... berbeda dengan waktu itu.
Suara larian kuda di dalam sana, berisik memenuhi telinga. Aku dapat merasakan ada tuntutan dari pergerakan ini, yang awalanya pelan, kini semakin keras dan dalam.
Merasakan udara semakin menipis, Rafa melepaskan dirinya. Menyatukan kening kami yang membuat lututku kian melemas. Napasnya memburu, hangat menyapu ceruk bibir.
"Maaf .... " Satu kata yang terlontar dari bibirnya dengan mata terpejam. Tangan kokohnya berada di balik pinggang, mengunciku dengan keadaan saling menghimpit.
Melepaskan tubuhku, Rafa berlari meninggalkan kamar. Membuatku terduduk lemas pada kursi meja rias.
Menatap ke cermin, aku terkesiap melihat keadaanku. Lipstik berantakan, dengan sedikit bengkak pada bibir. Dan wajahku memerah?
Oh! Pasti aku sudah gila, karena menikmati hal tadi. Bagaimana bisa aku hanya terdiam ketika dia menyerang ku tiba-tiba?
Merapikan diri, aku memakai pashmina senada dengan gamis. Mematut diri sekali lagi sebelum melangkah ke luar kamar. Menuruni tangga, dan hampir terpleset ketika melihat sosok yang sedang duduk di sofa.
Apa yang harus ku lakukan?
Menyadari kedatanganku, Rafa beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke luar. Meninggalkanku yang justru terbengong melihat sikapnya. Bukankah tadi ?
Ah sudahlah! Pikiran pria memang tak bisa di tebak.
Bergegas ke luar rumah, ku dapati Rafa sudah berada di balik kemudi. Menengok sekilas ketika aku menaikkan tubuh, dan langsung melajukan kendaraannya ke jalan raya.
Setengah perjalanan, tak ada kata yang terlontar. Mulutnya terkunci dalam kebisuan, yang entah aku tak mengerti karena apa?
Sikapnya benar-benar aneh setelah kejadian tadi, bukan semakin hangat, kini dia berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya.
Memasuki pelataran kampus tempatku terdaftar, Rafa memarkirkan mobil dan ke luar terlebih dulu. Membukakan pintu, dia hanya menatapku tanpa berujar sedikitpun.
Jika dia memang tak menginginkanku kenapa dia melakukan hal itu?
Oh iya... dia hanya ingin bersenang-senang, bukan melakukannya dengan rasa. Dan aku hanya boleh mengikuti permainan, tanpa berharap akan terbalasnya perasaan.
Mengambil langkah, tanganku digenggam dari belakang. Membawaku berjalan lebih cepat menuju sebuah ruangan untuk mengurus segala jenis administrasi sebelum mulai mengikuti perkuliahan
Diantara pawana, hatiku berserakan meminta pasti. Berharap cinta yang terlangit, mendapat tempat untuk berlabuh. Tak hanya menggantung pada penantian yang entah sampai bila?
"Pak Rafa." Seorang pria baya menyambut kedatangan kami. Memberi salam hangat pada Rafa.
"Semuanya sudah saya urus, Nyonya bisa langsung mengikuti perkuliahan hari ini," jelas pria itu memberikan lembar kredit kuliah, yang tercatat beberapa SKS. Lengkap dengan jadwal perkuliahan yang akan ku jalani empat kali dalam seminggu.
Setelah selsai dengan segala pembicaraan, pria baya itu meninggalkan kami. Meninggalkanku dengan Rafa yang masih diliputi kebisuan dan kecanggungan, selama diperjalanan menuju ruang kelasku.
Di depan sebuah ruangan berpintu kayu, terlihat dua orang dengan stelan baju kerja sedang memainkan ponsel. Mungkin menunggu profesor?
"Aku pamit, Mas." Tanganku meraih tangan Rafa untuk dicium. Kemudian mendapat balasan usapan lembut di atas kepala.
"Maafkan aku," ujarnya dengan wajah bersalah. Apakah dia benar-benar menyesal karena menyentuhku?
"Bukankah aku istrimu?" Ku tatap matanya dalam-dalam, mencoba mencari artiku di dalam sana.
"Justru karena itu. Aku ... belum siap." Dia mengembuskan napas sesak. "Pergilah, " ujarnya menggerakkan dagu menunjuk dua orang yang mungkin memperhatikan kami?
Setipis benang, ada detak kecewa yang terasa menghantam dada. Menelan getir di dalam hati, aku membalik badan meninggalkannya. Demi Tuhan, rasanya teramat sakit ketika mengetahui kenyataan, bahwa sekuat apapun aku mendekat, dia akan tetap membangun pembatas.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments