Rafa Pov ~~~
Ini sama sekali tidak seperti yang ku harapkan. Jika sebelum menikah Ishi menghindari kontak fisik dan mata denganku, kini dia melakukan pemutusan komunikasi, dan ini lebih parah dari waktu itu. Rasanya sakit, jujur seperti ada yang hilang.
Kebisuan masih menyelimuti kami meskipun sudah sampai ke rumah mama. Iya, Ishita bukan tipikal perempuan drama yang akan berpura-pura baik-baik saja di depan orang lain. Maka dari itu, meski sedang bertandang ke rumah mertua dia sama sekali tak menunjukan gelagat perdamaian dengan putra dari pemilik rumah. Dia sedang marah, dan menunjukan itu dengan sikapnya. Ishita bukan perempuan yang banyak bicara, atau suka mengomel. Namun sekali dia berbicara atau bertindak, mati sudah.
Duduk berdampingan sama sekali tak menghilangkan aura dingin yang sedang melingkupi kami. Meski kini pundaknya bersandar pada tanganku, dia seperti sedang berada di Antartika. Beku. Tak ada hangat-hangatnya. Ternyata dia lebih menyeramkan dari yang ku bayangkan. Jika mama akan menjuluki diriku keras kepala, maka julukan untuk Ishita wanita berhati es.
"Den mau minum apa?"
"Nggak usah dia udah minum!" Lihatlah, dia bahkan enggan berbasa-basi.
"Kalau, Nyonya mau minum apa?"
Semoga tak terjadi hal yang tidak di inginkan.
"Nggak usah!" Baiklah, sepertinya aku harus menyerah untuk berpikir ini akan segera berahir.
Mendengar ketukan sepatu pada lantai membuat kami berdiri bersamaan. Menyambut kedatangan mama yang baru saja turun dari kamarnya. Wanita itu tampak sumringah melihat kedatangan kami.
"Ishita .... " Tubuhnya langsung merengkuh sang menantu. Dan setelah sekian menit baru melirik ke arahku. Siapa yang anaknya di sini?
"Kamu gemuk ya Raf?" Bukankah lebih baik menanyakan kabarku?
"Cuman dikit doang, Ma." Aku merangkul pinggangnya dan, mencium pipi yang sudah nampak berkerut itu.
Selsai acara basa-basi kami kembali duduk ditemani Mama. Perempuan yang melahirkan ku itu tampak lebih kurus sekarang. Wajahnya nampak sedikit pucat.
"Mama sakit?" Ishita sudah mewakilkan pertanyaanku.
"Nggak apa-apa. Mama mungkin kelelahan setelah nemenin Papa di Belanda."
"Belanda, Ma?" Pupil mata Ishita terbuka sekian persen. Baiklah sepertinya aku akan jadi nyamuk di sini.
"Iya. Mama sama Papa seminggu di sana."
Aku juga baru tahu Mama pergi ke negara itu. Sejak kapan Papa berani membawa Mama keluar dari istana ini?
"Belanda gimana, Ma? Bagus nggak?" Dan kini Ishita berpindah tempat duduk.
"Bagus ... banget. Kalian cobak deh bulan madu ke sana. Pasti betah."
Apa-apaan Mama? Tidak tahukah dia jika Belanda adalah saingan terberat ku dalam meluluhkan hati wanita ini? Bahkan dengan menyebut negara itu saja, ekspresi menakutkan Ishita berubah menjadi ekspresi anak SD yang dapat mainan baru.
"Iya, Ma. Aku akan pergi sama Mas Rafa."
Hah?
"Sekalian ngurus pendaftaran aku di Universitas di sana." Dan apa maksud Ishita kali ini?
Mama mengernyit. "Kamu mau kuliah lagi?" Percayalah, pertanyaan itu lebih terdengar seperti bentakan.
Mengangguk, Ishita tersenyum lebar menanggapi Mama. Baiklah, aku ingat jika Ishita memiliki tingkat kepekaan di bawah rata-rata. Sedikitpun dia tidak bisa menangkap perubahan ekspresi lawan bicaranya.
"Mas Rafa udah izinin kok, Ma. Iya kan, Mas?"
Mati sudah aku. Entah apa yang terjadi setelah ini?
Mengangguk. Aku mencoba menyenangkan hati Ishita untuk saat ini. Apa lagi yang bisa ku lakukan selain pura-pura menyanggupi? Kami sedang bertamu ke rumah orang tua. Tak mungkin menciptakan keributan di sini.
Menarik napas panjang, Mama menatap ke arahku. "Mama mau bicara sama Rafa." Kemudian bangkit menuju taman belakang.
Iya, ini sudah pasti akan berbuntut panjang. Mama tidak pernah setuju jika Ishita harus membagi waktunya untuk melanjutkan pendidikan. Apa lagi sampai ke luar negeri. Mungkin awalnya aku menyanggupi, namun mendengar perkataan Ishita, aku jadi ragu harus mengizinkannya melanjutkan pendidikan sampai ke Belanda. Bagaimana caranya, sepasang suami istri harus terpisah benua dalam waktu cukup lama?
"Mama tidak setuju Ishita melanjutkan pendidikannya!" Satu kalimat sambutan yang Mama semprotkan ketika aku mendaratkan tubuh di atas gazebo tepi kolam.
"Kita sudah bahas masalah ini berulang-ulang sebelum pernikahan kalian. Mama tidak mau punya menantu wanita karir!" Semprotan kedua yang tidak kalah nyaringnya di telingaku. Ku harap Ishita tidak mengikuti ku tadi.
"Ishita bukan mau kerja, Ma. Dia cuma mau kuliah .... " Setidaknya itulah yang dikatakan wanita itu ketika ku ajukan pertanyaan 4 minggu lalu.
"Sama aja!" Mama menatap nyalang dengan tangan berkacak pinggang. "Perempuan kalo udah mau kuliah tinggi-tinggi, pasti endingnya akan memutuskan untuk bekerja. Mama tahu perempuan-perempuan seperti itu!"
Aku mengerti dengan kemarahan Mama. Karena aku juga demikian. Merasa di kelabui mentah-mentah oleh Ishita. Namun saat ini, mengapa aku merasa Mama menyimpan kebencian mendalam terhadap wanita karir? Rasa sukanya seperti tidak wajar.
"Ishita nggak gitu kok, Ma."
"Apa jaminannya?"
Iya, apa jaminannya? Namun bukankah Ishita sudah mengatakan jika dia hanya ingin memperdalam ilmu saja? Astaghfirullah otakku akan menjadi rancu jika seperti ini.
"Aku percaya kepada Ishita, Ma. Dia bukan perempuan yang buta agama. Dan dia tahu apa kewajiban utamanya."
"Oh iya? Dengan cara meninggalkan suaminya ke luar negeri kamu bilang dia melakukan kewajiban utamanya?" Suasana ini benar-benar sudah memanas. "Perempuan yang mengerti agama, tidak akan berani melangkahkan kakinya dari pintu rumahnya sebelum mendapatkan izin suaminya."
"Ishita sudah izin." Bukankah aku benar? Bahkan aku sendiri yang memberinya izin itu.
"Tapi tidak dengan bersafar ke tempat jauh tanpa mahramnya!" Iya Mama benar. "Kamu pikir Mama tidak tahu hukum-hukum agama mengenai perempuan?"
Lalu kenapa, Mama memilih merebut suami orang lain, Ma?
Ingin ku teriakkan kata-kata itu. Agar Mama tahu betapa tertekannya aku dia anggap anak haram oleh mata-mata jahat di luar sana.
"Semua yang Mama katakan benar. Tapi di rumah tangga kami, Rafa yang memegang tali keputusan. Jadi biarkan ini menjadi urusan Rafa dan Ishita, Ma." Aku memutuskan mengakhiri ini. Terlalu lama di sini, takut Ishita akan berpikir yang bukan-bukan. Sifat manusia, selalu diliputi prasangka.
Memilih kembali ke ruang keluarga, aku mendapati Ishita sedang asyik memainkan ponsel. Dia mengembangkan senyum ketika melihatku.
"Kita pulang." Dua kata yang menggambarkan kekalutanku saat ini. "Aku mau istirahat."
"Hah?"
Tak menjawab lagi, aku meraih tangan Ishita. Menggenggamnya erat dan menuntunnya meninggalkan rumah besar ini. Aku hanya ingin tidur sekarang juga.
...***...
Ishita Pov ~~~
Aku tidak tahu apa yang terjadi di rumah mertuaku? Apa yang di bicarakan Rafa dan Mamanya membuatku penasaran setengah mati, terlebih melihat keadaan suamiku ini yang tampak kacau setelah kembali ke rumah. Namun, bertanya bukan opsi yang tepat saat ini.
Sepanjang perjalanan Rafa tak buka suara sama sekali. Tangan besarnya hanya menggenggam tanganku dengan erat, menaikkan detak jantung menjadi beberapa beats per minute. Aku senang melihat sikapnya, tapi aku juga takut melihat raut wajahnya. Dingin.
Melepas jalinan tangan kami, dia menatapku sesaat. "Beresin barang kamu, pindah ke kamarku mulai sekarang."
Apakah itu ajakan? Aku mendengarnya seperti sebuah perintah.
Melihatku menganggukkan kepala dia berlari menaiki tangga. Rafa sepertinya benar-benar kacau. Entah apa yang dia bicarakan dengan Mama? Sampai sebegitu besar efeknya pada pria kaku itu.
Memutuskan masuk ke kamar, aku mulai memasukkan baju ke dalam koper. Menatapi seluruh sisi kamar ini. Aku memang betah tinggal di dalamnya, tapi tetap saja terasa kosong setiap malam. Entah mengapa? Namun aku seperti mengharapkan sosok Rafa yang menemaniku menempatinya.
Selsai dengan semua baju di dalam lemari, aku beranjak meninggalkan kamar. Mengucap salam perpisahan pada kamar besar yang menjadi camp pengungsianku selama satu bulan ini.
Rafa bahkan tak membantuku sama sekali mengangkut barang-barang. Entah sedang apa dia di dalam kamarnya?
Berhasil menaiki tangga, kini aku berdiri di depan pintu kamar Rafa. Membuatku menelan ludah dan memegang dada berkali-kali. Mau masuk kamar suami saja gugupnya seperti ini, padahal sebelumnya aku biasa keluar-masuk kamar ini? Oh apakah karena sekarang aku akan tidur di dalamnya juga?
"Apa kamu akan berdiri sampai malam di sini?"
Hah? Sejak kapan dia membuka pintu. Dan kemana bajunya?
Fokus ishi ....
"Emmm ... ini aku mau masuk."
Menyeret koper ke dalam kamar Rafa. Membuatku kehilangan napas untuk sesaat. Apalagi tingkah konyolnya yang tidak memakai baju itu. Dia semakin absurd setiap harinya.
"Nggak usah gugup gitu, kamu sudah biasa lihat aku nggak pakai baju. Bahkan cuman pakai handuk."
Iya, itu benar. Namun entah mengapa auranya beda saat ini?
"Ganti baju kamu temenin aku tidur."
DEG!
Apa yang terjadi dengan jantungku Tuhan? Dan kenapa lututku melemas?
"Ss... sekarang?"
"Menurut kamu?"
"Aku nggak tahu." Sudah ku katakan, otakku akan berhenti bekerja jika di hadapkan dengan sikap aneh pria ini.
Menghentak napas, Rafa menghampiriku. Menatapku lekat lalu ....
"Mas mau ngapain?" Dan kenapa sekarang aku menjadi ketakutan? Bukankah ini yang ku tuntut? Kewajiban seorang suami?
Astaga ke mana otakku?
"Mau lepas jilbab kamu." Sekali tarikan, benda persegi empat itu sudah berada di genggamannya.
"Aa ... aku ... aku mau .... " Tuhan sejak kapan aku gagu?
"Mau apa?"
Tubuhku meremang menerima sapuan hangat napas Rafa. Kenapa wajahnya begitu dekat? Sungguh! Aku tidak bisa bernapas. Aku ... sesak.
Dimana oksigen? Dimana udara?
"Aku mau ke toilet." Huh ... berhasil juga.
"Okey, aku tunggu di sini."
"Apa? Mau ngapain?"
Rafa menautkan alis. "Aku suami kamu." Kenapa suaranya berubah serak?
"Iya, aku tahu."
Tapi aku belum siap Rafa ....
"Ya sudah. Berarti kamu tau apa yang harus kamu lakukan."
Demi dunia dan seisinya. Bolehkah aku melarikan diri saat ini? Iya, aku mungkin pengecut terbesar di dunia ini. Aku yang menuntut kewajiban Rafa, dan ketika Rafa ingin melakukannya aku yang kejang-kejang. Namun jujur, ini ternyata tak semudah yang ku bayangkan. Tak semenarik yang ada di novel-novel. Ini complicated.
"Apa harus sekarang, Mas?" Suaraku terdengar seperti cicitan kucing kehilangan induknya. "Apa nggak nunggu nanti malam saja?" Ketahuilah, tenggorokanku sudah mengering karena kehilangan banyak cairan asamnya.
Memicingkan mata. Rafa menggelengkan kepala. "Emangnya mau ngapain sampai harus nunggu nanti malem?"
Hah?
"Ishi ... Ishi. Kamu lucu ya?"
Maksudnya?
"Sekarang kamu ganti pakaian. Terus kita tidur siang. Sejam lagi sebelum asar." Menatap jam dinding Rafa mendekat ke wajahku. "Nggak usah mikir macem-macem. Aku lagi nggak mood."
Blushhh ... wajahku pasti sudah seperti kepiting rebus.
"Sana." Satu usapan di pucuk kepala mengahiri pikiran konyolku.
Entah ada apa dengan otakku? Kenapa aku sampai berpikir ke arah sana?
Akh ....
Bersambung...
__________
Gak tau mau bikin caption apa. Tapi suer aku merem melek nulis part ini. So ... jangan lupa vote ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments