...Menciptakan kebahagiaan di hati orang tercinta, sama dengan menambah satu hari waktu untuk hidup....
..._________...
Rafa Pov ~~~
"Itu apa?" Pertanyaan yang langsung di lontarkan Ishita ketika melihat map coklat yang ku pegang. Matanya menampakkan binar penasaran.
Meraih kopi yang di berikan aku memintanya untuk duduk di sebelah. Kemudian memberikan kepadanya setelah dia berada di sampingku.
Sembari menikmati kopi buatannya aku memperhatikan ekspresi wajahnya ketika pertama kali membuka map itu.
Menatapku, dia seolah meminta penjelasan lebih.
"Itu formulir pendaftaran untuk Magister kamu. Sudah aku pilihkan dari beberapa universitas terbaik."
"Apa?" Secepat mungkin dia membongkar beberapa lembaran putih dengan berbagai logo kampus di sudut kiri atas kertas.
Membolak balik sekian kali dia seakan mencari sesuatu. Membuatku teringat akan satu hal.
"Jangan harap ada kampus luar negeri di sana." Aku meletakkan cangkir di atas meja. Menatapnya yang kini menampakkan raut kecewa.
"Aku ijinkan kamu kuliah lagi, tapi tidak di luar negeri ataupun luar kota. Bagaimana mungkin sepasang suami istri terpisah tempat tinggal?" Aku menggelengkan kepala, membayangkan apa yang akan terjadi jika kami harus berpisah.
Terkekeh dia menepuk lenganku.
"Bukankah selama ini kita juga terpisah kamar?" ledeknya dengan mencebikkan bibir, dan berhasil membuatku tersedak.
Iya aku tau itu salah. "Tapi sekarang kan sudah tidak," belaku mengalihkan pandangan ke layar televisi yang mati.
Menggendikkan bahu, dia memberikan salah satu formulir dari salah satu kampus Ibu kota.
"Kamu yakin?" Aku meraih kertas itu sembari memperhatikannya seksama. "Di sana kamu mau ngambil apa?"
"Menurut, Mas Rafa apa?" tanyanya dengan serius. Sesekali mengetukkan jari telunjuknya ke dagu.
"Kalau keinginanku, administrasi bisnis. Karena ayah kan punya usaha, jadi ku rasa itu cocok. Apa lagi perusahaan itu akan di wariskan ke kamu."
Mendengar saranku Ishita tampak berpikir keras. Mungkin merasa tidak sesuai dengan background pendidikannya yang sastra? Tapi apa salahnya mencoba hal baru?
"Aku takut kesulitan nanti pas disertasi." Wajahnya di selimuti keraguan besar. Memainkan secara acak fomulir lainnya.
"Coba saja dulu. Aku juga administrasi bisnis, jadi kalok kamu kesulitan aku bisa bantu."
"Benarkah?"
"Iya .... " Tanganku menyentuh pucuk kepalanya, menaikkan anak rambut ke belakang telinga.
Tertegun dia menatapku tak berkedip. Mungkin agak aneh dengan sikapku. Iya, ini pertama kali aku bersikap manis padanya yang melibatkan skin to skin. Biasanya hanya menunjukan sikap hangat dengan cara membantu mengerjakan pekerjaan rumah.
Menarik diri dia merapikan sendiri sisa rambut yang tak beraturan. Seketika membuat suasana menjadi awkward.
"Mas."
Menengok ku dapati wajahnya yang sedikit memerah. Mungkin gugup?
"Seandainya setelah kuliah Ishita bekerja, boleh?"
Terdiam, aku mencoba untuk berpikir. Apa yang di katakan Mama tadi siang teringat kembali.
"Memangnya Ishita mau bekerja?"
Menunduk dia menggelengkan kepala. "Hanya berpikir saja jika suatu saat ayah akan mengamanatkan perusahaannya," jelasnya dengan nada rendah.
"Sebaiknya jangan, tapi jika keadaan mengharuskan tidak apa-apa asal tahu batasan."
Mengangkat wajah dia tersenyum padaku. "Terimakasih."
Balas tersenyum aku menyeruput kembali kopi yang dia buatkan. Bisa melihatnya tersenyum begitu ada kepuasan tersendiri di dalam hati. Semoga apa yang ku doakan Tuhan kabulkan.
"Mas." Ishita memanggil kembali dengan suara rendah. Membuatku melepaskan cangkir kopi yang tinggal setengah.
Menatapnya, aku mengangkat alis. Siap-siap menjawab pertanyaan selanjutnya.
"Apa malam ini kita tidur bersama?"
Berdehem kecil, aku mencoba menetralkan debar dada. Kenapa terkadang dia begitu polos?
"Memangnya kenapa?" Berusaha untuk terlihat biasa saja, aku mengambil map yang di pegang. Mencoba mengalihkan pikiran yang jujur sudah berkeliaran kemana-mana. Iya, aku pria normal yang sebagian otaknya di dominasi oleh pemikiran yang sebagian besar orang tahu.
"Lalu apa kita akan__"
"Hoaammm .... " Sepertinya aku harus mengakhiri pembicaraan ini sebelum terjadi sesuatu. Aku kadang tak habis pikir mengenai Ishita. Satu masa dia bisa bersikap sangat dewasa dengan pemikiran ajaibnya, tapi satu masa dia bisa berubah seperti anak kecil yang seolah tak mengerti apa-apa.
Entah karena tidak pernah menjalin hubungan asmara sebelumnya, atau pura-pura polos? Yang pasti dia membuatku gemas sendiri.
Mengangkat tubuh dari sofa aku merentangkan tubuh dengan pura-pura mengucek mata. "Aku duluan ya ... udah ngantuk."
Semoga dia tidak curiga.
Mempercepat langkah aku menaiki anak tangga dengan suara sendal yang terdengar nyaring. Ingin segera menyembunyikan diri di balik selimut.
Bukan tak ingin menunaikan kewajiban sebagai suami, atau memberikan hak Ishita sebagai istri. Namun mengetahui Ishita belum siap, hanya akan memperkeruh keadaan hatiku yang sudah tertarik padanya sejak awal, jika membicarakan masalah seperti itu. Aku tak mungkin memaksakan kehendak, yang nantinya akan menyakiti Ishita.
Menutupi seluruh tubuh dengan selimut, aku berdoa semoga Ishita tak masuk kamar sebelum aku terlelap. Meski kedua netraku benar-benar tak mau terpejam sama sekali. Di kondisi seperti ini beberapa anggota tubuh kadang tak mau bekerja sama.
"Mas .... "
Mati aku.
...***...
Ishita Pov ~~~
Menerima pemberian Rafa aku merasa sangat beruntung memiliki suami sepertinya. Meski terkesan kaku namun dia memiliki hati yang baik. Tak mengapa lah tak pergi ke Belanda, mendapat izin untuk melanjutkan pendidikan saja, sudah sangat luar biasa.
Setidaknya aku cukup tau diri, terlahir di negara ini, menggunakan sumber daya alamnya untuk hidup, sudah menjadi pertanyaan apakah iya aku tak ingin balas jasa? Dengan memaksimalkan pendidikan di negara sendiri, sama dengan memajukan sistem pendidikan yang di buat pemerintah bukan?
Ini malam pertama kami. Malam pertama satu kamar setelah menikah dua minggu lalu. Beberapa kali kadang aku merasa Rafa menginginkan diriku, tapi selalu ku tepis ketika melihat sikapnya yang terkadang acuh dan hanya seperlunya saja.
Aku tak menyalahkan jika dia menginginkan hubungan yang lebih, itu normal bagi dua pasang manusia yang sudah terikat janji suci. Namun melakukannya dalam keadaan terpaksa ku rasa bukan hal yang baik.
Kami berdua butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Aku mempelajari dirinya sedikit demi sedikit, meski masih banyak yang tak ku ketahui. Diapun begitu, belajar menerima diriku yang terkadang bertingkah tak sesuai harapan.
Melihat tingkahnya yang tiba-tiba jadi gugup ketika ku tanyakan masalah tidur bersama, membuatku ingin tahu lebih jauh. Apalagi dia tak menjawab pertanyaanku. Apakah dia benar-benar tak ingin membahas hal itu? Lalu kapan kita akan membahasnya? Aku juga ingin menjadi normal seperti pasangan lain. Berkeluarga seperti keluarga yang lain juga.
Mematikan lampu pada lantai bawah, aku menyusul ke dalam kamar. Melihat tubuh panjangnya keseluruhan sudah tertutupi selimut. Apakah dia tidak sesak dengan keadaan itu?
Menaiki ranjang, aku menyentuh punggungnya untuk membangunkan. "Mas .... "
Sekali, dua kali, dia tak merespon. Sampai ku putuskan untuk menarik selimutnya, dan sontak membuatku mengernyit. Dia belum menutup mata?
Membangunkan tubuh, Rafa menyugar rambutnya frustasi. Entah ada apa dengannya?
"Mas Rafa kenapa?" tanyaku ragu-ragu. Aku tak pernah melihatnya seperti itu sebelumnya.
"Aku hanya tidak bisa tidur. Insomnia." Dia menghela napas berat lalu menyandarkan diri pada kepala ranjang.
"Apa karena Ishita?" Mungkinkah karena kami belum biasa tidur seranjang?
Tak menjawab. Dia hanya menundukkan pandangan. Tebakanku sepertinya benar?
"Kalau begitu biar Ishita tidur di sofa saja," ujarku hendak beranjak yang kemudian di cekal oleh tangannya.
"Tidurlah di sini, ada yang ingin ku tanyakan." Rafa menepuk sisi kosong di sampingnya. Ku turuti dengan duduk berhadapan.
Melihatku sudah duduk pada posisi yang dia inginkan, Rafa menarik napas sebelum membuka ucapan. "Apa Ishita pernah jatuh cinta?"
Pertanyaan macam apa itu?
Terdiam sejenak, aku menganggukan kepala kemudian. Iya, aku pernah jatuh cinta, bahkan sampai saat ini aku mencintainya.
Menghela napas dia menatapku dengan lekat. Seperti mencari sesuatu pada dua netraku. Menciptakan desir aneh di dalam hati.
"Kepada siapa?" suaranya terdengar melemah. Aku sebenarnya tidak tahu arah pembicaraan ini, tapi mungkin dia butuh teman untuk mengobrol?
Tersenyum, aku menatapnya lama. Melihat bayanganku di kedua matanya. "Seseorang."
"Apakah dia baik?" tanyanya kembali, tetapi kini mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar.
"Iya. Dia baik. Dia pria yang kaku, tapi terkadang bersikap sangat manis. Bersamanya aku sering dibuat berpikir keras. Kadang aku merasa begitu di inginkan, tapi terkadang aku juga merasa tak di perdulikan." Begitulah yang ku rasakan saat bersamanya. Menjadi bodoh dan istimewa dalam waktu bersamaan.
Rafa mengangguk, lalu menatapku sekali lagi. "Baiklah .... " Kemudian ia memejamkan mata dengan bersedekap di atas perut.
Tampan, berkarisma, itulah yang dapat ku amati dari wajahnya. Rahang tegas, dengan wajah klimis putih langsat. Mata sipit, dan alis tebal lurus. Dilengkapi hidung bertulang tinggi, dengan bibir merah segar.
Salahkah jika aku ingin menyentuhnya? Bukankah dia halal untukku?
Menelan segala gengsi, ku tiup wajahnya dengan lembut, lalu mengecup bibirnya secepat kilat.
Tersenyum, aku menidurkan diri dengan cepat. Membelakanginya untuk menyembunyikan wajah yang sepertinya sudah memerah. Semoga dia tidak terbangun.
Bersambung ....
Part ini di rombak habis habisan ya ... jadi jangan pada bingung klok udh baca yang kemaren. Selamat menikmati
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Elmi yulia Pratama
sama sama mau tapi bingung jaga privasi masing masing
2023-10-16
0