PART 17

...Yang paling menyakitkan dari memendam perasaan adalah, ketika kita tahu akan kehilangan namun tetap memaksakan...

..._________...

Ishita Pov ~~~

"Aku pergi." Kalimat itu menjadi salam perpisahan yang dia berikan pagi ini. Tanpa meneguk sedikitpun kopi hitam yang ku sediakan di meja makan.

Tak menjawab, aku hanya mencium tangannya. Menatapnya penuh ketidakrelaan ketika dia harus pergi, menemui seseorang yang aku sendiri tidak kenal. Sampai detik ini dia belum menjelaskan apa-apa.

Menatap punggungnya yang semakin menghilang, aku menghela napas panjang. Menyeruput kopi yang tadi ku buat. Setidaknya ini bisa sedikit menenangkan hati yang benar-benar kacau ketika di tinggalkan sejak kemarin hanya karena sebuah telpon.

Telpon sialan!

Menyuapkan potongan sosis ke mulut, membuatku kembali meringis karena harus sarapan seorang diri. Terbiasa sarapan dengan dipenuhi obrolan bersama Rafa, menimbulkan kesepian mendalam. Aku benar-benar tak bisa jauh darinya sekarang.

Menyelesaikan sarapan, aku beranjak menuju kamar di lantai atas. Duduk di depan meja belajar, aku membuka laptop untuk memeriksa kembali beberapa file tugas dari dosen.

Getaran ponsel di atas nakas membuatku beranjak, menyentuh notifikasi chat dari Rafa. Dengan isi yang berhasil membuatku melenguh panjang.

Harus tertidur sendiri saat malam? Aku sama sekali belum terpikirkan. Sebegitu sibuknya kah Rafa? Dan dia melakukan itu hanya karena membantu temannya? Katanya.

Bolehkah aku berpikir macam-macam saat ini? Ketika suamiku lebih rela membiarkanku tidur sendiri demi menemani wanita lain? Iya, teman yang dia maksud itu adalah seorang perempuan yang menelpon pagi kemarin.

Beristighfar, aku memukul kepala pelan. Otakku tak boleh terjangkit prasangka kepada Rafa. Dia pria baik, yang tak akan pernah tega bahkan hanya mengusir seekor kucing. Lalu bagaimana bisa dia membiarkan wanita yang sedang mungkin dalam kesusahan? Untuk hal itu aku belum tahu, jenis masalah apa yang dialami oleh temannya itu.

Suara bel yang berbunyi dari pintu utama membuatku tersentak. Tergopoh menuruni tangga sembari memakai jilbab. Entah siapa yang bertamu? Sejak tinggal di rumah ini aku tak pernah mendapat kunjungan dari siapapun, selain hanya tukang koran yang melempar surat kabar lewat gerbang. Dan ku rasa itu tidak bisa di kategorikan tamu.

Membuka pintu, ku dapati sosok tegap berwajah macho. Bibir tipis dengan tulang hidung tinggi dan dagu terbelah. Senyumnya manis, tapi tak semenawan Rafa.

"Asalamualaikum."

"Waalaikumusalam," jawabku tersenyum ramah.

"Ishita ya?" Dia menatapku dari bawah sampai atas. Kemudian tersenyum lebar sembari memperbaiki letak kaca mata.

Entah siapa pria ini? Dan apa tujuannya untuk datang?

"Saya Zaki. Teman sekaligus karyawan di kantornya Rafa." Dia mengulurkan tangan yang hanya ku balas anggukan, membuatnya menarik tangan kembali.

"Apa Rafa ada?"

"Mas Rafa sedang keluar, baru saja pergi," jelasku mencoba ramah.

"Keluar?" Zaki mengernyitkan alis.

Mengangguk, ku jelaskan apa yang terjadi. "Mas Rafa sedang menemui temannya."

"Teman?" Pria berkaca mata itu semakin mengernyit. Seperti tak mengerti dengan penjelasanku.

Mengangguk, aku tak menjelaskan lebih lanjut. Sebab tak tahu juga harus menjelaskan apa? Siapa teman yang Rafa bantu aku juga tidak tahu, dimana dia sekarang aku pun tak tahu? Dan pada bagian ini sepertinya aku sudah sangat keterlaluan karena tak mengetahui apa-apa tentang kegiatan suamiku.

Diselimuti keheningan sejenak, beberapa saat kemudian dia menggaruk tengkuk dengan cengengesan. "Iya ...." Kepalanya mengangguk samar.

"Apa, Mas Zaki kenal?" Tanyaku sedikit menyelidiki ekspresi wajahnya yang tak meyakinkan.

Tergagap dia mengangguk cepat. "I ... iya kenal."

Aku hanya ber oh ria sembari memperhatikan posisi kami. "Sebelumnya saya minta maaf, karena tidak mempersilahkan, Mas Zaki masuk."

"Oh tidak apa-apa. Saya mengerti, Rafa sedang tidak ada." Dia melihat arloji di pergelangan. "Saya akan kembali ke kantor. Maaf mengganggu Ishita." Tersenyum sungkan dia menelungkupkan tangan di depan dada sebagai salam perpisahan, kemudian melangkah pergi.

Pria aneh.

...****...

Rafa Pov ~~~

Kembali menarik napas panjang, aku harus menelan pil pahit karena meninggalkan Ishita seorang diri. Rasa iba melihat Khansa membuatku memutuskan untuk menemaninya malam ini. Entah yang ku lakukan salah atau benar, aku hanya di kerubungi kekhawatiran semenjak kemarin.

"Jangan menatapku seperti itu."

Hah?

"Apa kamu baik-baik saja?"

Tidak ada pria yang baik-baik saja meninggalkan istrinya.

"Aku tidak apa-apa." Menggelengkan kepala aku menegakkan tubuh di kursi. "Apa kamu butuh sesuatu?"

Menggeleng, Khansa mengamati wajahku lebih dalam. " Are you sure? Aku melihat kamu melamun sejak tadi." Dia menatapku lembut dengan tangan menyentuh wajahku.

"Aku hanya memikirkan masalah kantor." Menurunkan tangannya aku membuat alibi yang paling ampuh. Perempuan hanya akan memaklumi jika di sebutkan masalah pekerjaan.

"Malam ini kamu di sini?" Kecelakaan kecil yang terjadi siang tadi membuatnya terbaring di atas tempat tidur dengan kaki membengkak. Dan rasa kemanusiaanku tak tega untuk meninggalkan. Entah murni rasa kemanusian atau rasa yang entahlah?

Tersenyum dia meletakkan buku yang di bacanya ke nakas. "Aku lapar," cicitnya seperti anak kecil dengan senyum di ujung bibir.

Semangkuk sup yang di sediakan oleh sang ibu ku berikan kepada Khansa, mendapat balasan gelengan kepala dari wanita itu. Bukankah dia lapar?

"Suapin .... " Hembusan napasnya menggelitik telingaku. Meremangkan bulu di balik leher.

Berdehem aku menormalkan rasa yang mengganggu tubuh. Hal-hal seperti ini kadang menyulitkan ku sebagai pria normal.

Menyendok potongan wortel dan kentang, segera ku gangsurkan sendok kepadanya. Berharap dia akan menyantapnya sampai habis dalam waktu yang cepat. Aku hanya ingin segera ke luar dari kamar ini.

Tepat pada suapan ke tiga, suara pintu terketuk mengalihkan pandangan kami. Ibu Khansa datang dengan sebuah kotak kecil. Duduk di dekat kepala sang putri sembari meraih mangkuk yang ku pegang dan ditaruh pada nakas.

"Ini jam tangannya Baba." Umi membuka kotak itu, memperlihatkan arloji antik yang ku taksir berusia puluhan tahun. Tak ada yang istimewa dari benda itu, selain hanya kenangan di baliknya.

"Ini peninggalan buyutnya Khansa. Dan di berikan pada Baba ketika mau menikahi Umi." Penjelasan itu, aku tahu arahnya. Bisakah kita tidak membicarakan hal itu sekarang? Ada hal yang harus ku selesaikan bersama putrinya.

"Umi .... " Khansa menggeleng lemah. Memberi Isyarat agar jangan terlalu menekan ku. Sebab aku belum menentukan sikap, apakah akan menjalankan amanat itu atau tidak?

Janji adalah harga diri lelaki. Aku pernah berjanji di depan Baba untuk menjaga Khansa, dan aku juga sudah berjanji di depan pak Heru dan bahkan ratusan tamu undangan, bahkan di hadapan Allah Swt jika aku akan menjaga dan membimbing Ishita. Jadi janji manakah yang harus ku tepati?

Melihat respon Khansa, Umi hanya menghela lemas kemudian menutup kotak itu setelah mengeluarkan isinya. "Pakailah, Baba pasti senang. Tak perduli kamu akan menjadi menantunya atau tidak." Kemudian wanita paruh baya itu meninggalkan kami dengan mendung di wajahnya.  Sementara aku? Hanya terdiam mematung, memikirkan bagaimana kemudian selanjutnya?

Tak pulang ke rumah malam ini saja, aku yakin sudah menciptakan sebuah masalah dalam rumah tanggaku. Bagaimana nanti jika aku harus pulang ke rumah yang lain? Hancurlah istana yang telah ku bangun pelan-pelan itu.

"Fa .... "

"Eh, iya?" Aku mengembalikan kesadaran menatap Khansa. Wajahnya penuh rasa bersalah.

"Ishita pasti sendirian di rumah. Kasihan dia .... "

Iya, aku baru ingat jika selama ini kita hanya tinggal berdua setelah menikah. Jadi jika aku pergi, otomatis Ishita akan tidur sendiri. Bagaimana ini?

"Sha .... "

"Iya?" Sepertinya ini waktu yang tepat untuk membahas masalah itu. Semuanya harus jelas sebelum aku mengambil keputusan besar setelah ini.

"Aku ingin menanyakan sesuatu tetang .... " Aku tertunduk. Memutar kembali kenangan pahit yang membuatku merasa paling bodoh selama ini.

Mengangkat wajah, sudah kudapati genangan di ujung mata Khansa. Bibirnya bergetar dengan jemari menyentuh punggung tanganku. "Maaf." Satu kata yang selalu berhasil mengoyak pertahananku.

Lihatlah! Sekian tahun dikubur rasa sakit, dengan sangat mudah aku mengucapkannya saat melihat tatapan itu. Sial memang, kenapa aku sangat mencintainya dulu. Bahkan sisa perasaan itu mungkin masih ada sampai sekarang? Meski tak sebesar dulu. Karena sebagian besarnya dimiliki Ishita. Istriku.

"Aku tahu aku salah tak memberitahumu sebelumnya." Khansa mengusap hujan yang membasahi wajahnya. Kemudian dia menarik napas dengan tatapan menerawang yang entah sedang mengingat apa?

"Hari dimana kamu melihatku dengan Stefen, itu adalah hari terburuk yang ku alami." Bibir tebalnya bergetar dengan tatapan hancur yang tak bisa ku artikan. Ada luka di sana, yang tak ku tahu karena apa? Sebab jika mengingat kembali akulah yang korban, bukan dia.

"Hari itu aku divonis kanker usus stadium 3 Fa." Dan pernyataan itu membuatku tersentak lebih hebat dari mendengar kabar kematian Baba. "Aku tahu aku tak akan cepat sembuh, atau bahkan tak akan sembuh." Mengusap wajah kembali kini dia menggenggam tanganku yang sepertinya sedang mendingin. Ku rasakan bulu-bulu halus tangannya menyentuh permukaan kulitku.

"Kedatangan Stefen hanya untuk membantuku melakukan perawatan. Namun sialnya kamu melihat ketika aku sedang menangis di pelukannya."

Dan berputar lah otakku saat ini. Antara pening dan ingin meledak. Memori mengulang kembali, menampakkan adegan Khansa yang direngkuh erat oleh pria berdarah Boston itu. Menusukku begitu dalam sampai rasanya tak mampu menutupi bekas tusukan itu dengan cepat. Bahkan aku berpikir tak akan bisa. Namun rupanya Tuhan berbaik hati mengirimiku wanita mengagumkan yang dengan perlahan menutupi itu, meski mungkin masih meninggalkan lubang kecil tak kasat mata.

Khansa meraih wajahku, memaksaku untuk menatapnya. "Ku mohon percayalah. Aku tak pernah berkhianat, aku mencintaimu Rafa. Bahkan setelah itu aku mencari kamu seperti orang gila dan semakin gila ketika orang tuamu mengatakan kamu tak lagi di Indonesia." Tangannya menangkup kedua tanganku menciumnya berulang-ulang dengan lelehan air mata yang membuatku kebingungan. Haruskah ku hapus?

"Maaf ... maaf .... " Hanya itu yang terucap berulang dari mulutnya. Punggung bergetar yang membuatku cukup merasa bersalah. Jadi selama ini aku salah faham? Dan kesalah pahaman itu mengakibatkan kejadian fatal. Salah satunya, adalah kematian Baba. 

Pelan, aku meraih tubuhnya. Mendekap erat tubuh berguncang itu. "Maaf." Satu kata yang ku katakan sembari menumpukkan dagu di pucuk kepalanya. Dan kini aku tidak tahu kemana hatiku sedang berjalan?

Akankah kembali ke rumah atau memasuki rumah baru?

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Elmi yulia Pratama

Elmi yulia Pratama

katsnya rafa anak pesantren, kok gitu?

2023-10-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!