...Wanita adalah perhiasan dunia, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah...
...__________...
Rafa Pov ~~~
Tersenyum. Mungkin itu yang saat ini ku lakukan tanpa henti. Setiap kali mengingat wajah Ishita, sudut bibirku akan tertarik tanpa di komando. Aneh? Iya memang aneh. Entah apa yang membuatku terus tersenyum setiap kali mengingatnya?
Mengingat pembicaraan kami beberapa jam lalu, membuatku menyadari satu hal. Jika kebahagian seorang suami benar adanya terletak pada istri. Mungkin karena itu juga sehingga ada hadits yang mengatakan. Jika wanita adalah perhiasan dunia, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita/istri sholehah.
Malam pertama boleh gagal, tapi sarapan hari pertama berjalan dengan lancar. Mungkin perjalanan kisah kami tak sama dengan pasangan pada umumnya, tetapi aku yakin jika kita memiliki kesempatan yang sama untuk bahagia. Semoga.
Dorongan pintu membuatku menengok. Mendapati raut manis dari gadis berambut pirang yang kini berjalan ke arahku. "Maaf, Pak. Ini beberapa dokumen dari pak Heru yang di titipkan untuk, Pak Rafa."
Dokumen dari Papa?
Mengangguk, aku meraih map berwana kuning yang di sodorkan. Sebuah kesepakatan kerja sama.
"Pak Rafa tidak cuti?" Seharusnya memang begitu.
"Tidak Helen. Terlalu banyak pekerjaan yang harus segera di selesaikan."
"Bapak kan bisa minta bantuan, Pak Zaki. Kasihan loh istri, Bapak di tinggal saat bulan madu."
Bulan madu dari Madura?
Berbicara masalah cuti, memang seharusnya aku sedang berada dalam masa itu. Mengingat aku baru saja menikah tempo hari. Tak heran Helen mengatakan hal itu, sebab akulah yang membuat kebijakan. Setiap karyawan yang menikah akan mendapat dispensasi berupa masa cuti selama dua bulan. Jangankan dua bulan, satu hari saja aku tidak melakukan kebijakan itu.
Bukan tak betah berada di rumah. Namun aku cukup tahu diri untuk tidak membuat Ishita merasa risih ketika ada diriku. Wanita itu sepertinya lebih nyaman tanpa kehadiranku.
Tersenyum, aku menimbang saran Helen di dalam hati. Tak fokus lagi pada dokumen yang dia beri. Saat ini baru Helen yang bertanya, bagaimana untuk beberapa jam ke depan? Atau untuk beberapa hari ke depan? Apakah itu akan menimbulkan persepsi yang bukan-bukan?
"Tolong nanti kamu panggil Pak Zaki ke ruangan saya ya?"
Mengangguk dengan semangat, gadis 21 tahun itu meraih dokumen yang telah aku setujui. Kemudian berangsur meninggalkan ruangan.
Bulan madu? Terdengar konyol. Namun sepertinya tak ada yang salah. Demi menghindari fitnah tentang rumah tangga kami, lebih baik ku lakukan. Sekedar mengambil cuti, meski tak benar-benar melakukan aktifitas selayaknya suami-istri. Melihat Ishita bersikap hangat saja membuatku bersyukur. Paling tidak dia tidak mengacuhkan ku seperti yang pernah dia lakukan sebelum menikah dulu.
"Ada yang lagi kasmaran nih. Senyum-senyum nggak jelas." Percayalah, terkadang aku ingin melempar sepatu ke wajah pria itu. "Ada masalah apa nih, sampai, Bos Rafa manggil?" Tak pernah sopan santun, seenak jidatnya saja mengambil posisi di manapun dia mau. Tak perduli apakah itu tempat sakral seseorang.
"Lo bisa nggak? Kalo mau duduk di sofa aja? Pengen gue tonjok lo lama-lama." Belum berbicara dia sudah mengundang amarah.
"Santai, Bos ... gue cuman pengen rebahan aja di sini." Punggungnya dirosotkan ke atas sajadah. Terlentang dengan kaki di angkat sebelah.
Inilah alasan kenapa aku ingin selalu menghajarnya setiap kali masuk ruangan. Di ajak bicara tak pernah mau duduk di kursi, tetapi lebih memilih untuk tidur di atas tempat sholat. Dan aku paling geram melihat seseorang yang meniduri alas sholat ku. Bukan sombong, tapi sajadah yang habis di tiduri akan meninggalkan bau yang tak sedap. Bisa bayangkan ketika momen romantis bersama Tuhan saat sujud, justru terganggu karena bau-bau yang tak seharusnya.
"Gue mikir, kalo posisi staf manajer kayaknya harus diganti?" Satu ancaman yang akan membuatnya menyerah.
"Mulai!!" Lihat, dia bangun dengan sendirinya. Lalu merapikan sajadah seperti semula. "Ada apa lo manggil gue ke sini?" Kini dia duduk dengan bersila. Merapikan letak lensa yang sedikit melorot.
Bangkit dari kursi, aku bejalan menghampiri. Bersila di atas permadani berbulu di dekat lemari buku. "Ada hal penting."
"Apa?" Zaki mengernyit. Belum sempat ku jawab, dia kembali menyela. "Jangan bilang ini soal malam pertama lo!" Mulutnya itu tak pernah bisa di kontrol. Ini alasan lain yang terkadang membuatku ingin menyembelihnya.
"Lo ini sekolah apa nggak sih? Gue mana mau bagiin rahasia ranjang gue ke lo? Itu rahasia rumah tangga. Haram di ceritain." Kadang aku tak habis pikir awal mula pertemuan kami sampai bisa menjadi sahabat sampai sekarang. Sifat kami jelas bertolak belakang.
"Kali aja lo mau cerita. Buat-buat refrensi gitu."
"Semua orang punya cara berbeda buat ngelakuinnya. Tergantung kenyamanan." Benar bukan?
"Berarti lo udah sama Ishita?" Dia semakin menjadi.
"Sekali lagi lo ngomongin begituan gue mutasi beneran lo." Aku sudah tak sanggup dengan kebobrokan otaknya.
"Woles, Bro ... woles .... " Dia menepuk bahuku pelan. Membuatku banyak-banyak mengambil napas.
"Jadi ada masalah apa nih?" Wajahnya sudah berubah serius. Jika diperhatikan dia memiliki tampang cukup menjanjikan untuk menjadi suami idaman. Namun sayangnya otaknya terlalu bergeser untuk ukuran seorang pria dewasa.
"Mungkin untuk 2 bulan ke depan gue mau cuti."
"Terus?"
"Gue mau minta tolong, handle semua pekerjaan gue selama gue bulan madu."
"Bulan madu?" Mulutnya menganga lebar dengan anak lidah yang bergoyang tak karuan. Percayalah, gelegar tawanya lebih mengerikan dari tawa seorang Medusa si kepala ular.
"Gue pikir lo nggak doyan sama bini lo." Bisakah ku lempar saja dia ke luar jendela? Mungkin ini salah satu bentuk hukuman Tuhan di dalam hidupku, lewat manusia tak berotak satu ini.
Sabar Rafa ... sabar ....
"Kalo gue nggak doyan, gue nggak bakal nikah." Apa salahnya dengan bahasa bulan madu yang ku ucapkan? Bukankah itu selalu menjadi momen penting setelah menikah? Ada apa dengan genderuwo satu ini?
"Berarti kucing dong, doyan sama ikan asin." Ingin ku sumpal mulut lebarnya itu. Apa hubungannya kucing doyan ikan asin dan bulan madu?
"Sakarepmu lah Zak, erosi aku."
Dan tawa pun kembali menggelegar.
...***...
Ishita Pov ~~~
Tabur dan tabur. Hanya menabur bawang goreng di atasnya, semua siap di sajikan. Jika tadi pagi aku harus berusaha keras menelan potongan sosis yang seuprit, sekarang waktu balas dendam terbaik untuk melahap segala makanan kesukaanku. Pada waktu makan siang seperti ini, ku rasa Rafa tak akan komplain meski ku hidangkan makanan berat. Karena tak mungkin kita memakan hidangan aneh itu sepanjang hari.
Beginilah aktivitasku sekarang, menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam. Tak terlalu sulit, dari pada harus mati kebosanan di dalam rumah seorang diri. Lebih dari ini, otak ku belum sampai ke tahap itu. Setidaknya aku berusaha menjadi istri yang baik, meskipun Rafa selalu menekankan jika dia menikahi ku bukan untuk jadi pelayan. Dan siapa juga yang mau jadi pelayan untuknya? Gila!
Aku tidak tahu dia akan pulang makan siang atau tidak? Tapi melihat bagaimana orangnya, sudah ku pastikan jika dia bukan orang yang asal memasukan makanan ke dalam mulutnya.
Kita memang berbeda.
"Asalamualaikum." Dia pulang rupanya.
"Waalaikumusalam." Haruskah ku ambil tas kerjanya? Jujur, sekarang aku sedikit kebingungan harus melakukan apa?
"Lanjut saja, aku akan naik ke atas." Iya, dia memang paling bisa menebak jalan pikiranku.
"Kita makan siang bersama?"
Rafa bergeming, menelisik pada dua mangkuk di atas meja makan. Kemudian tatapannya beralih ke piring ikan asin, dan tempe goreng. Jangan katakan dia tidak menginginkannya?
"Aku mandi dulu." Apakah itu sebuah persetujuan? "Kamu juga mandi." Astaga pria ini! Apakah bau badanku begitu menyengat hidungnya?
"Aku tunggu di meja makan." Dan entah akan terjadi apa lagi selanjutnya? Semua hal dalam hidupku sepertinya akan berubah mulai hari ini. Bahkan jadwal mandi sekalipun dia yang atur.
Melepas pakaian, aku menyalakan shower. Mengguyur tubuh dari ujung kepala, sampai ke ujung kaki. Semoga sisa kesuntukan yang pria itu ciptakan bisa melebur bersama aliran air yang terbuang ke pipa pembuangan. Sebagai seorang istri, aku harus banyak bersabar. Terbiasa pada setiap aturan kepala rumah tangga, dan terbiasa berada di bawah tekanan. Sebab diriku, sudah menjadi hak miliknya.
Berjalan dengan jubah mandi, tubuhku terduduk di depan meja rias. Hari ini belum terlihat perubahan, entah besok atau lusa? Mungkin pipi chuby ku akan berubah menjadi tirus tanpa harus melakukan tanam benang?
Mandi, sama artinya dengan mengganti baju. Entah sejak kapan Rafa memiliki kebiasaan seperti ini? Mandi setiap 4 jam sekali. Sepertinya kulitku akan kehilangan zat minyaknya dalam waktu singkat. Astaga ... baru tadi pagi aku memakai bajuku, sekarang harus di ganti lagi?
My husband is the clean man
"Ishi." Apakah dia sudah selsai?
"Sebentar, Mas. Aku sedang memakai baju." Bisa pecah kepalaku jika begini. Aku paling tidak bisa melakukan sesuatu dalam waktu cepat.
"Aku tunggu di meja makan." Itu kata-kataku beberapa menit lalu. Dan sekarang dia yang melakukannya.
Ibu ... Ishi mau pulang ....
Melempar handuk ke sembarangan arah, aku berlari ke luar kamar. Entah seperti apa penampilanku saat ini? Tapi ya sudahlah, dari pada harus telat menemaninya makan siang? Bisa di cap istri gagal aku. Bukan oleh Rafa, tapi oleh diriku sendiri.
Terkadang, mendapat didikan jika suami adalah segalanya bagi istri, menjadi beban tersendiri. Nasihat ibu melayang-layang di kepala. Memaksaku untuk berusaha keras bagaimana menyenangkan hati pria itu, yang aku sendiri tidak tahu apakah senang dengan keberadaanku?
"Maaf, Mas. Ishi lama." Beginilah rasanya jika malas berolahraga. Baru beberapa langkah saja, napasku ngos-ngosan.
Terdiam, Rafa tak menjawab sama sekali. Tatapannya menyortirku dari bawah ke atas, begitu terus sampai beberapa saat. Apakah ada yang salah?
"Duduklah." Percayalah, jika sekarang aku seperti merasa sedang berhadapan dengan dosen killer. Bahkan mengangkat wajah saja aku seakan tak mampu.
Menarik kursi, aku mengambil duduk di hadapannya. Mulai terserang bingung atas apa yang harus ku lakukan? Baru kali ini aku merasakan degub dada yang jauh dari kata normal. Aku tidak tahu sebabnya? Namun yang pasti, aku diserang perasaan gugup.
"Kamu pintar masak ya?" Oh apakah itu sebuah pujian?
Mendongak, ku dapati sudut bibirnya tertarik. Apakah aku berhasil? Dan mengapa rasanya senang sekali dia menghargai masakanku?
"Boleh minta sayur asemnya?" Aku suka cara bicaranya.
"Boleh, ini aku masakkan untuk, Mas Rafa juga." Dan kenapa saat ini aku merasa seperti istri sungguhan? Sepertinya kepalaku mulai eror. "Ikan asin mau juga?" Tanganku menusuk ikan kering itu, dan meletakkannya di atas piring Rafa ketika dia mengangguk.
Suara dentingan sendok mengisi acara makan kami. Tak ada yang mau bersuara, atau kemungkinanya ini memang aturan yang harus ku turuti juga. Dilarang bicara ketika makan.
"Ishi belajar masak di mana?"
Hah?
"Tidak, Ishi tidak pernah belajar." Sepertinya aku salah sangka. Dia tidak menerapkan aturan ekstrem itu. Aku paling tidak suka jika hanya menyuapkan makanan saat makan. Menurutku, waktu makan justru waktu yang paling tepat untuk bertukar pikiran.
"Oh ya? Lalu kenapa bisa seenak ini?" Bolehkah ku masukan dia dalam daftar pria tergombal? Rupanya dia memiliki keahlian untuk membuat lawan bicaranya senang.
"Terimakasih, Mas." Dan aku sudah mulai termakan oleh ucapannya. Bibirku berkedut dengan sendirinya.
Kontrol Ishita ... kontrol ....
"Mas Rafa pulang cepat hari ini?" Setidaknya aku tahu jika saat ini sudah lewat jam istirahat.
"Aku ngambil cuti."
Hah?
"Mungkin dua bulan ke depan?" Apa? "Jangan hawatir, aku tidak akan sering di rumah." Tidak, bukan itu maksudku. "Hanya untuk menghindari pertanyaan menyebalkan dari karyawan saja."
"Maksudnya?"
"Mereka bertanya, kenapa aku tidak mengambil cuti setelah menikah? Bukankah ini masa bulan madu?"
"Ukhuk!" Dadaku tiba-tiba terasa menyempit. Apakah kita harus menjalani masa itu juga? Secuilpun aku tak pernah berpikir jika tiba-tiba menjadi normal bersama Rafa. Bukan tidak ingin, tapi tidakkah ini terlalu cepat?
Segelas air di gangsurkan kepadaku. Menepuk punggungku dengan lembut. "Jangan kaget begitu. Aku tidak akan melakukan apa-apa, hanya berusaha menghindari fitnah." Apa dia sedang membaca pikiranku? Sepertinya dia memang lulusan pilsafat.
Tunggu sebentar, kenapa aku merasa ada yang menyentuh leherku?
"Rambutnya di iket ya?"
Rambut?
Inalillahi ... sejak kapan aku tidak berjilbab?
"Kok tegang begitu?" Tangan Rafa mencepol rambutku dengan terampil. Membiarkan anak rambut tergerai di depan telinga. "Jangan bilang Ishita lupa pakai jilbab?" Itulah kenyataannya.
"Tidak, Mas. Ishi memang sengaja tidak pakai jilbab." Semoga dia tidak berpikir macam-macam. Mungkinkah ini cara Tuhan menegurku? Jika Rafa memiliki hak penuh atas sikap, dan fisik ini.
Selsai dengan drama ala pengantin baru, kami memutuskan menghentikan makan. Perutku sudah tidak lapar lagi menerima perlakuan Rafa.
"Aku bersihkan ini, Mas."
Seperti tadi pagi, Rafa mengambil peran untuk membersihkan meja. Sementara aku, beradu dengan sponge dan busa sabun. Menenggelamkan diri pada kesibukan masing-masing. Jangan tanya keadaan jantungku sekarang, organ itu berdetak abnormal sedari tadi. Bahkan kini tubuhku mulai memanas. Jangan katakan jika ini reaksi seseorang yang terserang virus merah jambu?
Ini terlalu cepat Tuhan!
Bersambung ....
______________
Hayo ... siapa yang duluan kena panah cupid? Ooohhhh aku tak sabar.
Jangan lupa votenya ....😘😘😘🤩🤩
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments