...Apapun itu asal kau mencoba menerimaku....
..._________...
Ishita Pov ~~~
Mengingat apa yang ku lakukan semalam membuat jantungku tardichary setiap saat. Bagaimana tidak, mencium Rafa terlebih dulu tak pernah ada dalam rencanaku, namun keadaan semalam benar-benar kacau. Entah mengapa aku tak bisa mengendalikan diri, untuk tidak menyentuh bibir merah segar itu.
Menarik napas aku menutup wajah kembali. Bagaimana jika Rafa sadar semalam, dan ternyata pura-pura tertidur?
Astaga ... di mana akan ku taruh wajahku?
"Pagi .... "
Deg!
Bagaimana ini?
Masih berdiri menghadap kulkas aku mencoba mengipasi wajah yang memanas. Napasku tiba-tiba menipis dengan dada yang bertalu merdu.
"Aku sudah minta temanku untuk mengurus pendaftaran kamu."
Dia tidak membahas hal itu?
Sepertinya Rafa tidak menyadari kejadian tadi malam. Dan sebaiknya aku harus berbalik sebelum dia curiga.
Menatap Rafa aku meremas jari di belakang tubuh. Akibat otak tumpul ku, kini aku terjebak dengan perasaan tak menentu seorang diri. Sementara Rafa, terlihat santai saja.
"Apa tidak sebaiknya aku yang urus sendiri?" Mengambil duduk di hadapannya aku mengamati bibir merah yang menyesap kopi dari cangkir.
Astaga ... aku memperhatikan bibir itu lagi.
"Apa kamu tidak mempercayaiku?" Dia meletakkan cangkir, sembari mengernyitkan alis.
"Bukan seperti itu .... " Bagaimana cara menjelaskannya jika aku tidak ingin dia repot.
"Kamu persiapkan diri saja. Masalah dokumen sudah ku urus semuanya." Membuka surat kabar di depannya dia menunduk fokus.
Sepertinya dia memang benar-benar tidak sadar.
Lega, aku kembali ke arah lemari es. Mengambil beberapa potong buah dan sayuran serta mayonaise dan yogurt. Hari ini aku ingin sesuatu yang segar.
Meletakkan semuanya di kitchen island, aku memulai untuk memotong di atas talenan. Menimbulkan bunyi khas antara pisau dan kayu.
Untuk sementara tak ada yang mencurigakan. Rafa masih asyik dengan berita di surat kabar. Beberapa kali dia membalik kertas besar itu, mengamati sejenak lalu menutup dan di letakkan di dekatnya.
"Mau buat apa?" Dia berputar mengelilingi kitchen island. Hampir membuatku berjingkat ketika tangannya tiba-tiba menyentuh kedua bahu.
"Salad?" Dia memasukkan irisan tipis buah Apel.
Mengangguk aku memberikannya potongan Kiwi yang tak kalah segar. Dimasukkan cepat ke mulut lebarnya.
"Segar," ujarnya kembali mengambil anggur merah yang di cocol ke mayonaise. Meninggalkan jejak di sekitar bibir. Tingkahnya seperti anak kecil.
"Mas Rafa tidur nyenyak semalam?" tanyaku, ingin cari tahu apa yang terjadi padanya karena perbuatanku.
"Nyenyak ... banget. " Dia terkekeh dengan mendekatkan wajah ke arahku. Membuatku hampir memotong jari sendiri.
"Alhamdulillah," kataku mengambil sebuah lemon segar untuk di potong. Namun urung, ketika mendengar suaranya.
"Apakah sangat susah untuk mengakui perasaan?"
Apa maksudnya?
Jangan katakan dia tahu tentang perasaanku?
Mencoba tak merespon, aku melanjutkan memotong lemon menjadi dua. Memeraskan pada buah yang sudah terisi dalam wadah.
"Cinta itu harus di ungkapkan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencintai dirinya sendiri."
Tercenung. Aku mengurai setiap kata yang terlontar. Apakah itu sebuah sindiran?
Hening beberapa saat, aku menatap ke arahnya. Apakah harus ku katakan sekarang? Di dapur?
"Itu kata Khalil gibran." Dia terkekeh setelahnya. Berhasil membuatku hampir mati berdiri.
Tersenyum tipis aku merapikan pisau dan talenan, serta beberapa bagian tak terpakai dari sayur dan buah yang ku potong. Mengambil dua garpu untuk menikmati salad sebagai sarapan.
"Hari ini kamu tidak kemana-mana?" Rafa menusuk kiwi dan apel bersamaan. Lalu memasukan ke dalam mulut.
Menggeleng, aku mengikuti apa yang dia lakukan.
"Kalau begitu hari ini ikut denganku."
"Kemana?"
"Ke butik."
"Buat apa?"
"Kita belanja keperluan kamu."
Hah?
"Aku tidak butuh baju baru." Baju-bajuku masih lumayan bagus.
"Kamu harus tampil cantik ketika hari pertama jadi mahasiswi," ujarnya penuh semangat. Menatapku dengan tawa kecil yang menampakkan gigi putihnya.
"Aku bukan Abg lagi, Mas."
Meletakkan garpu, dia mengambil satu tanganku yang bebas. "Istriku harus menjadi yang terbaik."
Blush .... Ku pastikan wajahku semerah tomat.
"Sekarang bersiap-siap. Aku akan siapkan mobil." Rafa beranjak menuju garasi. Menyisakan diriku yang terbengong-bengong melihat sikapnya.
Ingin ku benturkan kepalaku ke atas benda berbahan akrilik ini. Sikapnya semakin membuatku seperti orang bodoh, sebentar kaku, sebentar hangat. Jadi seperti apa sebenarnya diriku untuknya?
Pantaskah ku serahkan hati ini sekarang?
...***...
Rafa Pov ~~~
Jangan pikir aku tak tahu apa yang dia lakukan semalam padaku. Selepasnya menyembunyikan wajah di balik selimut, aku hampir meloncat di atas tempat tidur. Berteriak di dalam hati jika aku sudah mendapatkan lampu hijau.
Tetapi, untuk masa-masa sekarang aku ingin tetap diam. Pura-pura tak terjadi sesuatu, demi menjaga perasaan Ishita. Barang pasti dia tak akan lagi mau bertatap muka denganku, jika tahu aku merasakan sentuhan bibirnya.
Lihat saja sekarang, dia bahkan tak banyak bicara sejak pagi. Beberapa kali bahkan menghindari kontak mata denganku. Ah! Dia menggemaskan.
"Sayang."
Lihatlah, pipinya memerah!
Tubuhnya mulai bergerak resah. Pura-pura merapikan letak jilbab yang bahkan tak bergeser sedikitpun. Segitu polosnya kah dia?
Aku mengigit bibir menahan tawa, terus memperhatikan wajahnya dari ekor mata. Ternyata aku menikahi remaja. Meskipun sulit percaya jika perempuan secantik dia tak pernah menjalin hubungan asmara dengan seorang pria. Setidaknya aku bisa mengajarkan bagaimana caranya bersikap sebagai pasangan.
"Semuanya udah lengkap kan?" Membebaskan sebelah tangan dari stir, aku mengusap ujung kepalanya. Memberikan senyum terbaik ketika dia menengok.
Tak berucap, Ishita hanya mengangguk. Menarik sudut bibir setipis mungkin. Dia gugup.
Tiba di depan rumah Ishita memencet remote gerbang tanpa ku minta. Membuat pagar besi itu membuka diri secara otomatis.
"Terimakasih," ujarku memasukkan mobil ke pekarangan. Meminta dia untuk menunggu ketika aku ke luar dari mobil.
"Silahkan." Aku membukakan pintu mobil. Membantunya untuk turun dengan mengulurkan tangan, yang tentu saja dia raih dengan ragu-ragu. Meski pada ahirnya, genggaman itu tak terlepas sampai dalam rumah.
"Kamu haus?" tanyaku membawanya ke ruang keluarga. Dijawab anggukan, yang membuatku langsung pergi ke arah dapur.
Satu gelas air dingin ku berikan pada Ishita, di raihnya pelan dan langsung di tenggak setengah.
Sembari menunggunya menyelsaikan minum, tanganku terulur mengusap pelipisnya yang sedikit basah. "Kamu capek ya? Kasihan, Sayang .... "
"Ukhuk!!" Dia menghentikan kegiatan minum airnya, mengusap bibir dengan punggung tangan.
"Kamu nggak apa-apa?"
Menggeleng, Ishita hanya menekan dada. Apa aku terlalu berlebihan hari ini? Tapi apa salahnya bersikap romantis pada istri? Aku juga ingin seperti Nabi.
Mengambil gelas bekas minumnya, aku mencari bekas bibir yang masih tertempel, lalu minum tepat di atasnya. Rasanya lebih nikmat.
"Mas Rafa kok?" Dia meraih gelas air yang sudah tandas dari tanganku. Menatap tidak enak karena meminum sisa darinya.
"It's sunnah, Honey .... " Tanganku menarik ujung hidungnya. Menikmati espresi terkejutnya yang semakin membuatku ingin bertindak lebih jauh.
Megap-megap dia menurunkan tanganku. Berusaha memperbaiki napas sembari mengusap ujung hidungnya yang memerah.
Mencebikkan bibir, Ishita berlalu menuju kamar. Meninggalkanku yang langsung menyusulnya dengan menahan tawa.
"Nggak usah ikut!" serunya ketika aku berniat membukakan pintu.
"Loh kenapa? Itu kan kamar ku juga." Sengaja memancingnya yang sudah terlihat kesal.
"Tapi di sini aku yang Nyonya," ujarnya membanggakan status yang didapatkan setelah menikah.
"Tapi di sini aku Tuannya. Apa kau lupa, Nona galak?" godaku mengerlingkan sebelah mata.
Aku suka melihat warna merah tomat di pipi chubi itu.
Bersedekap dia memainkan jari telunjuk. "Bukan Nona, tapi Nyo ... nya. Nyonya Wicaksono." Dia telah melakukan pengakuan. Menyematkan namaku sebagai tanda status.
"Mulai saat ini, segala urusan berada di bawah kendaliku." Terkekeh, dia memegang perut menahan tawa yang sebentar lagi akan meledak.
"Apapun itu asal kamu mencoba menerimaku."
Penuhlah ruangan persegi ini dengan semburan tawanya. Bukan meleleh, dia justru merasa geli dengan kata-kata manisku. Sepertinya akan sangat sulit untuk membuatnya menentukan pilihan.
Mencintaiku sebagai teman hidup. Atau menghargaiku hanya karena menjadi suami?
Cinta. Mengapa sulit untuk di katakan?
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments