...Bagi pria, mengatakan apa yang sebenarnya mereka rasakan dan inginkan, lebih sulit dari menyuarakan ajakan perang pada lawan yang sekalipun sangat menyeramkan...
__________
Rava Pov ~~~
Menghela napas, ku dapati punggung tertutupi baju tidur itu sedang membelakangi ku. Kebisuannya sejak semalam menciptakan tembok tebal tak terlihat diantara kami. Aku tak mengerti dengan kebisuannya, meski beberapa kemungkinan telah membuatku menerka-nerka.
Tak ingin mengganggu tidur nyenyak Ishita, aku memilih untuk menyiapkan segala keperluan seorang diri. Aku tak tega membangunkan, setelah mendengarnya terisak semalaman. Dia menangis tanpa mau menampakkannya kepadaku, membuat rongga dada ini menyesak karena tak bisa berbuat banyak. Selain hanya membiarkannya menyelesaikan rasa sakitnya seorang diri yang ku tahu karena diriku.
Menekan dispenser, uap panas yang bercampur wangi khas dari bubuk kopi menguar menusuk hidung. Apa sebaiknya aku jujur saja? Toh Ishita sudah mulai curiga.
Tapi bagaimana jika .....
Entah siapa yang menelpon pagi-pagi begini? Getaran di saku celana membuatku mengumpat dalam hati.
Dia? Ada apa menelpon pagi-pagi begini?
"Iya." Aku meletakkan gelas di atas kitchen island, mengaduk cairan berwarna hitam itu. Kemudian terdiam ketika mendengar isaknya.
"Ada apa?"
Berdecak aku hanya mengurut hidung. "Iya sudah, aku kesana."
Ketahuilah, jika tidak ingin mengacaukan masa depan, jangan berani bermain-main dengan masa lalu. Cukup jadikan itu pelajaran, dan jangan menenggelamkan diri kembali ke dalamnya. Masa lalu terlalu ampuh membuat kekacauan di kehidupan.
Menyeruput cairan hitam itu aku mencoba memejamkan mata sesaat. Menyelami apa yang kini terjadi. Lihatlah! Semuanya seakan sedang mempertanyakan keputusanku.
Ishita yang mulai curiga, dan Khansa yang terus mendesak. Apakah ada cara untuk membelah diri menjadi dua? Agar aku tak perlu pusing memikirkan perasaan dua wanita itu.
...~~~...
"Jika ada yang nyari saya, konfirmasi dulu." Satu pesan yang ku amanatkan pada sekertaris di depan ruang kerjaku. Mendapat anggukan sekaligus tatapan aneh dari wanita itu.
Tentu saja, penyebabnya adalah mahluk manis yang sedang berdiri bak model di belakangku. Menatap ke sekeliling ruangan dengan sesekali menggelengkan kepala.
"Aku rasa kantor kamu terlalu kaku. Harus banyak perubahan."
Tanpa menyahut, aku melanjutkan langkah masuk ke ruangan, dengan dia yang mengekor seperti unggas. Setelah menjemput Khansa ke rumah, aku memutuskan untuk membawanya ke sini. Bukan tanpa alasan, tapi setidaknya dia harus dibuat tetap diam dengan perjanjian yang akan ku ajukan kepadanya.
Mungkin aku bodoh karena terus membiarkan diriku bermain-main dengan rumah tanggaku. Bermain-main di belakang Ishita yang bisa saja akan tahu. Namun meninggalkan Khansa setelah apa yang terjadi, rasanya ... tak mungkin. Kemana tanggung jawabku sebagai pria? Dan mungkin karena ada rasa yang masih mengambang di dalam sana? Rasa yang aku sendiri tak tahu sebenarnya untuk siapa?
Iya, aku mencintai Ishita. Cinta yang perlahan tumbuh karena seiring kebersamaan kami. Menjalani pernikahan karena sebuah kesepakatan keluarga yang kini ku syukuri. Namun Khansa? Entah rasa apa yang masih membelengguku sehingga belum bisa terlepas darinya?
Membuka laptop, aku memeriksa beberapa laporan yang harus di selesaikan. Penggantian dana untuk Pak Prabu juga membuatku sedikit pusing karena sedang berusaha mengajukan pinjaman pada pihak Bank, tapi belum di respon.
Pintu ruangan secara mendadak terbuka. Menampakkan muka sinis dengan tatapan membunuh miliknya. Melangkah dan kemudian menggebrak meja dengan kasar.
"Gue nggak ngerti sama otak lo!" Zaki berteriak dengan menunjuk wajahku. Membuat Khansa langsung beringsut menghampiriku. Menatap pria di hadapannya dengan waspada.
"Apa sih sebenernya yang lo mau?"
Iya aku tahu dia pasti sangat kecewa melihat tindakanku membawa Khansa ke kantor. Karena tentu saja akan menimbulkan gosip tak sedap. Namun bagaimana lagi?
"Ini nggak seperti yang lo pikir, gue akan jelasin semuanya." Belum selesai perkataanku pada Zaki, Khansa melanjutkan dengan berusaha bersikap tetap tenang.
"Kamu Zaki ya?" Mencoba mendinginkan susana, dia tiba-tiba mengulurkan tangan. "Aku Khansa, calon istrinya Rafa."
Ya Tuhan ....
Mengepalkan tangan, Zaki lebih memilih meninggalkan ruanganku. Membanting pintu dengan kasar. Aku juga tidak mengerti kenapa pria itu emosional sekali akhir-akhir ini?
Menghela napas aku menatap Khansa yang hanya terdiam. "Kita sudah bicarakan ini. Aku belum siap, dan kamu tahu alasannya."
"Tapi sampai kapan? Sampai Umi nyusul Baba?"
"Khansa!"
"Emang iya kan? Umi sakit-sakitan Fa, dan kamu tahu apa permintaanya selama ini. Dia cuman pengen lihat kita nikah, biar ada yang menjaga aku."
"Tapi kamu tahu keadaanya bagaimana? Aku dan Ishita belum bercerai." Bisakah aku berlari ke ujung dunia saat ini? Sungguh, aku tak tahu harus memposisikan diri dimana?
"Tapi kapan Fa? Aku capek kucing-kucingan terus kayak gini. Ishita juga sanggup kok dimadu."
Dan sekarang apa maksudnya?
"Kemarin aku bertemu Ishita di kampus, dan dia tidak menganggap buruk soal wanita kedua."
"Kamu gila!" Ingin ku tampar wajah wanita ini. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu bertemu Ishita?"
Apakah Ishita melihatku kemarin sehingga bersikap diam sejak semalam?
"Aku hanya ingin meyakinkan diri, jika aku tidak mengambil langkah salah saat memutuskan menikah dengan kamu."
"Langkah kita memang sudah salah, Sha." Iya, aku salah, terlampau diam selama ini. Terlampau menuruti permintaanya.
"Nggak ada yang salah!" Mengepalkan tangan dia menatapku dengan tajam. "Kita saling cinta, aku tahu kamu mencintai aku." Satu tangis lolos dari bibirnya. "Kalian yang salah, pernikahan kamu dan Ishita yang salah!" Dan kini dia memekik histeris.
"Aku korban Fa, aku korban dari keserakahan orang tua kalian. Pernikahan kamu ... pernikahan itu hanya karena kesepakatan bisnis!" Dia menutup wajah dengan bahu berguncang. Menampar wajahku dengan pernyataan itu. Sepicik itukah aku sehingga menghalalkan segala cara demi sebuah posisi?
Papa yang memintaku. Pria itu yang memaksaku melakukan ini, bukankah dia harus tanggung jawab atas kekacauan yang kini terjadi?
Akh! Kepalaku ingin pecah!
...****...
Ishita Pov ~~~
Melihat sisi tempat tidur yang sudah kosong, aku menelan getir yang terasa menghimpit tenggorokan. Setelah apa yang terjadi kemarin, sungguh aku tak bisa menyembunyikan sesak yang mendera. Mencoba menelannya, semakin ganas rasa itu menyeruakkan diri di permukaan. Dan berakhirlah dengan sikap diam yang ku tunjukan. Aku terlalu bingung harus mengatakan apa untuk mengungkapkannya.
Aku terlalu takut, takut kehilangan cintaku. Suamiku. Aku takut kehilangan Rafa jika terus menanyainya dan apa yang ku khawatirkan ternyata sebuah kebenaran.
Membangunkan diri menuju kamar mandi, aku membiarkan tetesan air dingin membasahi tubuh. Apakah dengan berusaha berpikir positif semua akan baik-baik saja? Apakah harus berpura-pura tak tahu agar aku tetap tenang?
Mungkin aku sudah menjadi bodoh sejak mencintai Rafa, menjadikanku budak cinta yang mencoba membutakan diri atas apa yang sedang terjadi. Tapi membayangkan jika akan kehilangannya, membuatku setengah gila.
Menyelesaikan kegiatan di kamar mandi, aku keluar untuk bersiap-siap. Mengisi kekosongan jam kuliah, lebih baik memperbaiki keadaan dengan mendatangi kantor Rafa. Aku yakin jika dia belum sarapan tadi.
Selesai dengan penampilan yang cukup memuaskan, aku bergegas ke luar. Menyetop taksi dan menunjukan alamat kantor Rafa pada sopir. Sampai beberapa menit, aku di turunkan di depan bangunan pencakar langit. Untuk makanan, aku sudah pesankan melalui go-food. Dia harus sarapan sebelum jam 9 pagi .
Seorang satpam menyambut ku sembari menanyakan keperluan. Ku jawab sopan dengan mengatakan tujuan kedatanganku.
Setelah mendengar petunjuk satpam dan informasi pada resepsionis, aku bergegas menuju lift. Memencet angka pada tombol dan menikmati perjalanan dalam keheningan menatap ponsel yang menunjukan foto Rafa. Semoga dia bisa memaafkan sikapku semalam.
Setelah pintu lift terbuka aku berjalan menuju sebuah ruangan yang langsung membuatku terbengong. Berbagai manusia tampak fokus melakukan tugas mereka pada kubikel masing-masing. Ada juga dari mereka yang sibuk berlarian sembari membawa berkas. Membuatku berpikir keras, apakah Rafa sangat sibuk ketika berada di tempat ini?
Seorang wanita berkuncir kuda menghampiriku sembari membawa nampan berisi secangkir kopi.
"Ibu sedang mencari seseorang?" tanyanya dengan ramah. Ku jawab senyuman hangat.
"Iya, saya ingin bertemu dengan pak Rafa. Beliau ada?" tanyaku memperhatikan penampilannya yang ku yakini seorang office girl.
"Hey ... sejak kapan kamu di sini?" Suara berat seseorang mengalihkan perhatian ku. Pria yang pernah mendatangi rumahku beberapa waktu lalu.
"Tumben kamu ke sini? Ada perlu apa?" tanya Zaki ramah, meminta officer girl untuk meninggalkan kami dengan isyarat.
"Saya mau menemui Mas Rafa, dia ada kan?"
"Bukankah dia masih punya beberapa hari masa cuti? Rafa mengambil cuti dua bulan, dan masih tersisa 3 hari," jelas Zaki, membuatku berpikir keras kemana Rafa pergi pagi-pagi?
"Permisi, Pak." Seorang wanita berambut pirang dengan rok span selutut mengalihkan perhatianku. Berjalan anggun membawa berkas ke samping Zaki.
"Ini berkas dari Pak Rafa, beliau minta, Bapak untuk tanda tangan segera karena sedang di tunggu di ruangannya."
Apa?
"Pak Rafa ada di kantor?" Tanyaku menatap wanita yang berdiri di depanku. Membuatnya sedikit gugup sembari melirik ke arah atasannya tanpa buka suara.
Sebenarnya apa yang mereka sedang sembunyikan?
"Saya sedang bertanya kepada kamu, kenapa kamu tidak jawab?" Tekanan dariku membuatnya menganggukkan kepala takut pada ahirnya. Meski aku yakin dia dilarang oleh Zaki untuk mengatakan apapun.
"Pak Rafa ada di ruangannya bersama__"
"Helen!" sentak Zaki memotong ucapan wanita itu. Dan dengan cepat membuat wanita itu bergegas pergi.
"Apa yang kalian rencanakan?" Aku menatap Zaki dengan tajam. Membuatku mengepalkan tangan ketika pria itu hanya terdiam.
Berjalan cepat, aku menyusul wanita berambut pirang tadi yang syukur belum menghilang.
"Berhenti!" seruku menarik lengannya, membuat dia terkesiap dengan wajah pias.
"Maaf, Buk saya banyak urusan," kilahnya ingin menghindar, namun berhasil ku hentikan.
"Apa kamu ingin melawan istri dari pemilik perusahaan ini?" Dan itu membuatnya menampakkan ekspresi takut dengan menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, antar saya ke ruangannya Pak Rafa."
Sejenak terdiam, ahirnya dia memintaku untuk mengikuti. Tak lama, kami sampai pada sebuah ruangan besar yang masih memiliki satu ruangan lain di dalamnya. Terdapat seorang wanita berada di dekat pintu masuk pertama.
Meninggalkanku di dekat pintu, Helen menghampiri wanita di balik kubikel yang ku yakini sebagai sekertaris. Berbisik sebentar yang membuat si sekertaris terkejut dan menatap ke arahku dengan takut.
Percayalah, firasatku sudah tak bisa di kendalikan untuk tidak memikirkan hal yang buruk semenjak melihat sikap Zaki. Terlebih melihat ekspresi sekertaris itu, semakin membuatku yakin ada yang tidak beres.
Meraih gagang telpon dengan gemetar, sekertaris itu mencoba memencet tombol, yang jelas saja langsung ku hentikan.
"Saya tidak perlu konfirmasi untuk menemui suami saya!" sentak ku meraih gagang telpon yang dipegang, dan meletakkannya dengan kasar. Membuat keduanya menjenggit.
Menatap mereka sekali lagi, aku berjalan ke arah pintu yang tertutup dua meter di depan sana. Pintu ruangan yang bertuliskan Direktur di tengah-tengahnya.
Hanya beberapa langkah, dan kini aku berdiri di depan pintu kayu bercat coklat gelap. Membuatku menarik napas sedalam-dalamnya untuk mempersiapkan hati yang ku pikir akan hancur sebentar lagi. Meski do'a tak henti ku rapalkan agar semua tetap baik-baik saja.
Aku tidak tahu ada apa dengan pikiranku. Namun di otakku hanya terngiang jika Rafa sedang bersama wanita lain di dalamnya. Picik memang, tapi aku juga tidak bisa menghalau begitu saja bayangannya bersama Khansa.
Menyebut nama Tuhan di dalam hati, aku menekan handel pintu dan membukanya dengan lebar. Menampakkan dua sosok yang ku kenal sedang berpelukan.
"Mas .... " Hanya kalimat itu yang keluar dengan bergetar dari pita suaraku.
Mencabik semuanya dengan brutal dan hanya meninggalkan lubang-lubang tak beraturan. Tatapan itu membuatku hancur dalam sekejap.
"Ishi?"
"Buk Khansa?" Dan pertanyaan itu membuat semuanya tak bersisa. *******-***** organ kecil di dalam sana dengan sayatan perih.
"Aku tunggu di rumah." Menelan segalanya dengan kekuatan yang coba ku buat, aku membalik badan untuk melangkah pergi. Jika menggunakan sepatu hak tinggi, mungkin aku sudah tersungkur di atas lantai akrilik ini. Namun selemas apapun lututku, aku menyanggupkan diri untuk melangkah.
Sentakan dari belakang membuatku berbalik dan menubruk dada lebar itu. Mendongaknya dengan kaca-kaca yang sudah berserakan.
"Ishi .... "
Aku menggeleng. "Jangan biarkan orang lain tahu," ujarku dengan bibir bergetar mengusap wajahnya. "Pulanglah ... aku akan berikan apa yang terbaik untuk kita."
Rafa menggeleng, entah untuk apa. Tangannya mengerat di balik pinggangku. Aku tidak tahu apakah kini kami menjadi tontonan para karyawan, yang jelas aku tidak ingin mereka sampai memikirkan keburukan tentangnya.
"Jangan hawatir ... aku baik-baik saja." Menurunkan tangannya dari balik pinggang. Aku mencium punggung tangan itu lama. Menumpahkan segala rasa yang bersatu menjadi rasa yang tak ku mengerti jenisnya.
"Asalamualaikum."
Bersambung ....
__________________
Ya Allah gue sakit hati banget nulis ini. Gilaaa....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Elmi yulia Pratama
ya Allah nyesek banget bayangin gimna jadi ishi
2023-10-17
0