part 6

...Suami adalah nakhoda pada perahu cinta rumah tangga....

...___________...

Ishita Pov ~~~

Bagaimana aku tak merasa kesal, jika hampir saja aku kesiangan melaksanakan sholat subuh. Entah kelelahan karena acara tadi pagi yang berlangsung sampai sore, mataku benar-benar tidak bisa di ajak kompromi. Hingga memutuskan tertidur kembali setelah melaksanakan sholat tahajud. Dan ketika terbangun, waktu sudah menunjukan setengah enam pagi. Bagaimana tidak shock? Selama ini baru sekarang aku melaksanakan sholat di kejar-kejar waktu.

Aku tidak ingin menyalahkan siapapun, termasuk Rafa yang dengan teganya meninggalkanku sholat berjamaah di masjid. Dia hanya sedang berusaha melaksanakan kewajibannya, dan aku tak berhak untuk melarang. Namun yang membuatku dongkol, kenapa dia tak berniat membangun aku untuk sholat subuh juga? Bukankah dia berkewajiban untuk menjaga ibadahku agar tetap terlaksana?

Mendengar derap langkah menaiki teras rumah, sontak saja membuatku berinisiatif untuk membukakan pintu. Menyambut si empu rumah sekaligus pria yang baru saja menjabat menjadi suamiku beberapa jam yang lalu.

Wajah manis Rafa terpampang di depan mata, membuat hatiku sedikit berdesir melihat tampilannya yang menyerupai suami idaman seluruh wanita muslimah di dunia. Stelan baju sholat dengan peci hitam bertengger manis di kepala. Mata teduhnya menatapku sedikit kebingungan.

Lihatlah! Bukannya senang di sambut oleh bidadari surganya, dia malah melewati ku begitu saja ketika ku tanya apakah dia habis pergi ke masjid? Tak bertanya apakah aku sudah solat atau belum?  Atau mungkin bertanya tentang perasaanku yang menatapnya dengan mengintimidasi sejak tadi?

Sungguh pria tak berperasaan.

Satu kalimat yang ku keluarkan membuat langkahnya terhenti ketika menaiki tangga. Kemudian membalikkan badan ketika aku melanjutkan ucapan. Namun bukannya menyahut atau menjelaskan, dia justru melemparkan tatapan yang ... entahlah? Aku benci melihatnya. Segala niatan untuk menerima dan menjadi istri yang baik padanya, tertelan bersama kejengkelan yang lebih banyak mendominasi. Sepertinya dia tidak akan perduli bagaimana perasaanku.

Dentuman pada pintu membuatku sedikit berjingkat. Tak menyangka jika tenagaku bisa membanting pintu sekeras itu. Sudah pasti akan membuat Rafa marah. Karena setahuku pria itu tidak menyukai wanita kasar, dan aku pun bukan tipikal wanita barbar yang akan menyerang siapapun ketika sedang marah. Namun hanya sedikit terpancing karena sikap acuhnya tadi.

Mengatur dada yang sedikit berdegup abnormal, aku mendudukkan tubuh di bibir ranjang. Bahkan ketakutan sendiri dengan sikapku. Terlahir di keluarga yang masih mengalir darah keraton Jawa, membuat segala jenis tata krama di ajarkan kepadaku semenjak kecil. Jadi bagaimana bisa aku melakukan hal barusan? Terlebih sampai bersuara tinggi kepada Rafa. Kepada suamiku?

Kicauan burung dari luar jendela membuatku sedikit terkejut. Sudah saatnya menyiapkan sarapan.

Menatap lemari besar yang kosong, aku tak habis pikir jika kita benar-benar pisah ranjang. Bayangkan saja! Rafa lebih memilih menempati satu ruangan di lantai atas dari pada sekamar denganku. Iya, aku baru ingat. Jika dia masih menganggap ku orang asing, sehingga memintaku untuk tidur di kamar tamu.

Jujur, ini agak ... ngilu.

Dari pada terkena serangan jantung karena terus-terusan memikirkan sikapnya yang misterius, lebih baik melakukan tugasku sekarang juga. Meski kurang tahu dia biasa memakan apa untuk sarapan, setidaknya aku  tak berniat untuk membuatnya kelaparan.

Dapur rumah ini tak begitu luas seperti di rumah Ayah. Namun ini sesuai dengan seleraku. Skandinavia kitchen.

"Aku sedang membuat sarapan. Duduklah." Tanpa menengok, aku sudah tahu jika itu dirinya. Jelas saja, kita hanya tinggal berdua.

Derit kursi yang di tarik membuatku tersenyum. Rupanya dia mau menuruti perintahku. Bukan! itu bukan perintah, itu permintaan. Seorang istri tak layak memerintah suaminya.

Melihat beberapa telur di dalam kulkas, dan beberapa potong sosis, membuatku  menghela napas panjang. Sepertinya aku harus diet mulai sekarang.

Selamat tinggal nasi goreng.

Di tengah letupan minyak goreng yang memanas, telingaku menangkap suara air yang sedang mengalir. Kemudian denting sendok menyentuh gelas.

Dia membuat kopi sendiri?

"Aku sudah terbiasa melakukannya." Seolah bisa menebak pikiranku. Kemudian dengan santai dia melanjutkan aktifitasnya. Termasuk menyiapkan piring dan sendok di atas Kitchen island.

Sebutir telur ceplok, dan dua potong sosis goreng menjadi sarapan yang menghias di atas piring masing-masing. Membuatku sedikit miris melihat hidangan ini.

"Mau minum apa? Teh atau jus?" tawarnya, bersiap dengan peralatan di tangan.

"Mineral water. Biar ku ambil sendiri." Langkahku terhenti oleh suara gelas yang terisi air. Di letakkan di hadapanku bersamaan dengan tubuhnya yang duduk pada kursi seberang meja.

"Aku menikah kamu tidak untuk melayani semua keinginanku." Iya ... setidaknya aku menangkap maksud baik dari penjelasan itu.

Aku mengangguk pelan, dan mulai menusuk potongan sosis yang terlihat mekar karena tersentuh minyak goreng panas. Ku kira dia akan marah karena kejadian subuh tadi, tapi ternyata ....

"Jangan suka membanting pintu." Baru saja ingin ku bahas. Dia mulai duluan. "Furniture cukup mahal ahir-ahir ini." Itu bukan gurauan yang lucu.

"Aku tidak sengaja." Sungguh perutku meronta meminta lebih. Aku tidak terbiasa memakan seirit ini. Tak bisakah kita memesan nasi rames?

Decapan pada cangkir kopinya membuatku mengeratkan tangan. Aku faham sikap itu. Pengalihan perhatian yang cukup baik.

"Aku hanya__"

"Hanya marah?" Nada suaranya membuatku mengangkat wajah. Mendapati netra kecoklatan miliknya. "Aku rasa kamu cukup dewasa untuk tidak melampiaskan kemarahan mu pada benda mati."

Astaga ... kenapa sarkas sekali ucapannya?

"Setiap kemarahan memiliki sebuah alasan." Aku berhak untuk membela diri. Agar dia tahu siapa yang salah.

Memang siapa yang salah?

"Berarti kamu memiliki alasan atas kemarahan mu?" Dia menjalin kedua tangan di atas meja. Bertumpu pada kedua siku. "Katakan ke padaku. Apa alasan nya?" Serius, saat ini dia lebih terlihat seperti psikolog dari pada seorang suami.

Belum berniat menjawab, aku menatap ke arah sarapan yang hanya termakan setengah. Terbuat dari apa perut pria ini? Bahkan dengan secuil sarapan begitu, dia sudah merasa kenyang?

"Katakan apa alasanmu?"

...***...

Rafa Pov ~~~

Suara gerakan dari arah dapur membuatku bergegas turun. Memastikan mahluk apa yang berada pada tempat sakral itu.

Sontak saja aku mengernyit melihat punggung terulur jilbab berwarna abu, yang sedang menunduk memeriksa lemari es. Semakin mengernyit, ketika dia memintaku untuk duduk.

Sedikit ragu, karena dia tidak tahu menu sarapanku. Dan terlebih kita masih dalam mode diam karena kejadian subuh tadi. Namun memberikannya kesempatan untuk melakukan tugas sebagai istri tidak buruk bukan? Jika dia salah menu aku bisa ingatkan. Setidaknya aku mencoba memahami, bahwa saat ini kami sedang belajar saling menyesuaikan.

Menikah adalah ta'aruf seumur hidup.

Suara letupan minyak goreng memancingku untuk mengerjakan hal lain. Jika dia memasak, aku bisa membantu menyiapkan peralatan dan minuman. Saling membantu melakukan tugas rumah tangga merupakan sunnah Rasullullah Saw. Dan aku ingin mengikutinya. Meski agak sedikit terusik, karena belum bisa melaksanakan kewajiban.

Ekor mataku menangkap keterkejutan Ishita. Mungkin tak menyangka jika aku akan suka rela membantu melakukan tugasnya. Karena sebenarnya ini bukan masalah tugas suami atau istri. Namun ini, adalah tanggung jawab bersama.

Dua potong sosis goreng dan sebutir telur ceplok dia letakkan pada piringku. Menu yang sama pada piringnya juga. Rupanya dia cepat memahami kebiasaanku.

"Mau minum apa? Teh atau kopi?" Tawaranku di tolak secara halus. Namun tentu saja tidak ku hiraukan dengan menekan tombol dispenser ketika dia menyebutkan keinginan nya.

Ayolah! Ini hanya pekerjaan ringan. Dia tak perlu memperlakukanku seperti seorang raja.

Menempatkan posisi tepat di hadapannya, aku bisa menatap wajahnya secara jelas. Menikmati setiap sisi pahatan sempurna Tuhan. Sampai aku teringat akan satu hal.

"Jangan suka membanting pintu," ucapanku langsung membuatnya bereaksi di tempat duduk. Aku rasa dia ingin menjelaskan sesuatu, tetapi diurungkan. "Furniture cukup mahal ahir-ahir ini." Tidak ingin dia menjadi sangat tegang hanya karena masalah pintu. Aku bukanlah lelaki perhitungan yang akan lebih mementingkan barang dari pada perasaan orang.

"Aku tidak sengaja."

Apa maksudnya tidak sengaja? Bukankah seseorang selalu sengaja melampiaskan kekesalan pada benda mati?

Sedikit membingungkan, aku menyecap kopi hangat di cangkir. Merileksasikan otot kepala yang sedikit tegang. Termasuk memperbaiki suasana hati yang merasa ... sedikit terusik.

Meletakkan cangkir di atas meja, aku mendapatinya meremas jemari tangan. Apakah dia gugup? Namun kenapa?

"Aku hanya__" Ishita menggigit bibir. Dan jujur ini membuatku sedikit salah fokus.

"Hanya marah?" Kenapa suaraku menjadi serak begini? Bahkan terdengar mengintimidasi.

"Setiap kemarahan memiliki sebuah alasan." Sepertinya dia sedikit terpancing. Terbukti dengan sorot matanya yang menggambarkan pembelaan.

"Berarti kamu memiliki alasan untuk kemarahanmu?" Ishita menatap datar. Membuatku kehilangan selera sarapan melihat espresinya. Mana enak sarapan ditemani wajah cemberut begitu?

"Katakan ke padaku, apa alasannya?" Setidaknya aku harus tahu apa yang membuatnya begitu marah sampai membanting pintu. Aku tidak suka hal-hal kasar begitu. Apalagi dilakukan oleh perempuan. Melenceng dari tabiat yang telah Tuhan berikan berupa kelembutan kepada mereka.

Ishita terdiam. Lebih memilih menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan. Antara bingung dan marah? Namun bukankah semua ini memang harus diperjelas? Menyimpan masalah dalam rumah tangga dengan pura-pura melupakannya, adalah cari paling ampuh untuk menghancurkan sebuah keluarga.

Aku tidak mungkin pura-pura berpikir positif, sementara aku tahu ada kesalahan yang sedang di sembunyikan.

"Katakan apa alasanmu?" Sekali lagi aku bertanya. Berharap dia mau menjelaskan, agar aku tak mengulangi lagi.

Dan iya, soal kewajiban yang dia sebut. Aku penasaran dengan maksudnya. Apakah mengenai hak suami istri di tempat tidur atau kewajiban yang lain? Aku sedikit bingung. Mengingat bagaimana hubungan ini didasari, membuatku tak berani mengambil kesimpulan seenak hati.

"Dan kewajiban apa maksudmu yang tidak berniat ku penuhi?" Pertanyaan itu membuatnya mengernyitkan alis. Ku pikir dia tidak akan lupa secepat ini.

Sesaat menarik napas, Ishita menyingkirkan makanan di antara kami. Menumpuk piring kotor di samping kirinya. Memberikan akses bebas jika mungkin aku ingin menyentuh tangannya?

"Aku minta maaf jika membanting pintu di hadapan, Mas Rafa." Rupanya dia kembali memanggilku dengan sebutan 'Mas' yang ku pikir halusinasi subuh tadi. "Ishita tidak berniat, hanya sedikit marah dengan sikap, Mas."

Aku tertegun sesaat, kemudian kembali memokuskan diri padanya yang hendak melanjutkan.

"Mas Rafa membangunkanku sholat malam. Tapi kenapa, Mas Rafa tidak membangunkanku sholat subuh?" Ada genangan di pinggir netranya. Apakah dia benar-benar tersinggung?

"Aku telat melaksanakan sholat subuh." Bibirnya bergetar. "Selama ini Ishi tak pernah kesiangan begitu." Entah bersyukur atau kecewa? Melihatnya begitu mencintai sholatnya aku merasa sangat beruntung mendapatkan amanat dari Tuhan untuk menjaganya. Namun pikiran awalku yang menduga jika masksudnya adalah hak di tempat tidur, sedikit membuatku mengelus dada. Sepertinya dia memang belum siap.

"Mulai saat ini, Mas Rafa memiliki kewajiban untuk mengimamiku pada salah satu waktu sholat." Dia menatap dengan serius. Seolah meminta persetujuan dariku tanpa terkecuali. "Dan wajib membangunkanku setiap subuh." Iya, aku punya tugas baru sekarang. Tugas yang mungkin sudah dilakukan oleh setiap pasangan. Namun kami masih awam untuk saat ini.

Aku melengkungkan bibir. "Teruslah seperti ini. Tak ada yang di sembunyikan. Katakan apa yang igin, Ishi katakan. Agar semua jelas, sehingga tak menimbulkan salah faham."

Sifat berani dan terbukanya membuatku kagum. Setidaknya aku jadi tahu, dia partner yang baik dalam membangun suatu hubungan. Tak neko-neko, dan tak mendramatisir keadaan. Dia mengatakan apa yang dia inginkan secara gamblang. Sehingga aku tahu apa yang dia rasakan, dan tahu apa yang harus ku lakukan selanjutnya.

Bersambung ....

________________

Keasikan baca jangan lupa vote ya .... inget vote readers merupakan bentuk dukungan buat penulis. 🌟🌟⭐😘😘😘

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!