part 18

...Jujur ibarat tali dalam sebuah hubungan. Jika tali itu terputus maka selesailah semuanya....

...___________...

Rafa Pov  ~~~

Aku pulang. Iya, aku memilih untuk pulang hari ini. Menemui Ishita yang sejak semalam tak mau pergi dari kepala.

Menatap seisi rumah, tak ku dapati mahluk cantik itu. Bahkan di jam makan siang begini tak ada bau bumbu masakan dari dapur. Entah dimana istriku?

Berjalan lunglai aku menaiki anak-anak tangga menuju kamar. Badanku benar-benar terasa tak bertenaga. Bukan karena kelelahan fisik, melainkan tekanan sikis yang berhasil melahap habis tenagaku.

Menghempaskan tubuh di atas ranjang, aku membuka dua kancing atas kemeja. Mengurut pangkal hidung yang terasa berkedut nyeri. Apa yang harus ku putuskan saat ini?

Menikahi Khansa?

Mengatakan yang sejujurnya pada Ishita?

Keduanya bukan hal yang tepat.

Mencoba memejamkan mata, ponsel di saku celana bergetar. Menampilkan satu nama yang tak asing.

"Hm?"

Membuka telinga lebar-lebar, aku terperanjat mendengar kalimat panjangnya.

"Gue kesana sekarang." Memutus sambungan aku berlari menyambar kunci mobil. Entah mengapa masalah selalu senang datang berbaris-baris.

Memarkirkan mobil di basment khusus, aku berlari ke dalam kantor. Dan percayalah, kini aku benar-benar jadi pusat perhatian. Sebulan tak muncul membuat wajahku tampak asing di beberapa karyawan. Yang entah mungkin karyawan baru?

"Panggil pak Zaki." Kalimat perintah yang langsung ku berikan pada sekertaris ketika di depan ruangan. Membuka pintu dan duduk di kursi kerja.

Menghela napas, raut wajah tegang itu membuatku mengurut kening.

"Pak Prabu kecewa sama pelayanan kita." Sebuah dokumen dihempaskan kasar di atas meja. "Semua kerjaan nggak bisa selsai sesuai target." Kini dia duduk dengan napas berat di kursi seberang meja.

"Gimana bisa? Gue serahin semuanya ke lo, Zak." Aku menatap malas pada pria di depanku. "Tanggung jawab yang gue kasih ke lo seharusnya lo handel dengan baik, bukan malah kayak gini!" Emosiku seperti sudah sampai di ubun-ubun.

"Lo kok nyalahin gue? Ini kan projek lo!" Kini Zaki ikut terpancing emosi.

"Tapi gue serahin ke lo!"

"Tapi gue nggak mau!" Dia menatapku tajam. Lihatlah siapa yang atasan di sini? Dia bahkan bebas membentak ku. "Gue kan udah bilang, gue nggak mau nerima projek sampah kayak gitu. Lo sih ngeyel, sekarang lihatkan?" Dia menyudutkanku dengan ekspresi yang benar-benar membuatku ingin menghajarnya.

"Terus gimana?"

"Ganti rugi."

"Berapa?" Ku harap tak sampai membuatku sesak napas.

"2 M."

"Gila!" Tanganku menggebrak meja tanpa sadar. Bagaimana bisa sebanyak itu?

"Kan lo emang gila!" Zaki menyemprot ku dengan santai. Manusia satu ini, bukannya menyelesaikan masalah dia justru membuatku semakin tak tentu arah.

"Orang kayak Prabu itu gue udah tahu banget wataknya. Dan proyek sialannya itu kan gue udah bilang, jangan main-main sama uang haram Fa .... "

Memejamkan mata, aku akui kesalahan ini. Untuk kali ini Zaki memang benar, tak seharusnya aku mengambil proyek pembangunan club itu. Apalagi club malam, yang aku tahu sendiri penghasilannya datang dari mana.

Ditengah berserabutnya pikiran, ponselku bergetar di atas meja. Sebuah chat masuk yang membuatku ingin menjambak rambut.

"Siapa?" tanya Zaki ingin tahu setelah melihat perubahan ekspresi.

"Temen," jawabku meletakkan ponsel kembali.

"Temen yang dimaksud Ishita?"

Aku mengernyit. Maksudnya yang dimaksud Ishita?

"Kemaren gue ke rumah lo, tapi kata Ishita lo pergi ketemu temen. Temen siapa?" Zaki menatapku penuh curiga. Manusia satu ini memang jeli terhadap segala sesuatu, dan untuk kali ini semoga dia tak mengendus permasalahanku.

"Perasaan lo nggak punya temen selain gue?" selorohnya dengan tampang belagu. Bisa tidak aku masukkan wajah sok gantengnya itu ke kantong kresek untuk dijadikan asinan?

"Ya emang bukan temen .... "

"Nah kan ... ketahuan lo!" Usahaku sepertinya akan sia-sia untuk menghindarinya. Kenapa bisa lidahku begitu longgar ketika berhadapan dengan manusia ini?

Sial!

"Jujur lo nemuin siapa kemaren?" Tatapannya mengintimidasi ku. Seolah tak akan membiarkan jika aku lolos dari wawancaranya hari ini.

Berdecak aku melempar ponsel ke arahnya. Memintanya membaca pesan dari Khansa barusan.

"Bedebah!" Dia memukul kepalaku dengan dokumen di atas meja. "Kambing lo ya!" Dan kini jarinya mengacung tanpa rasa hormat. Ini manusia sebenarnya siapa sih? Mulutnya memang terlatih untuk tawuran sepertinya.

Mengambil ponsel, aku menghela napas. "Gue nggak tahu harus gimana Zak?" Untuk kali ini aku benar-benar kehilangan konsentrasi.

"Ishita tahu?" Nada bicaranya masih setara toa masjid.

Menggeleng, satu pukulan kembali mendarat di kepalaku. Sialan! Sialan!

"Tinggalin!"

"Nggak bisa, Zak. Gue terlanjur janji."

"Lo juga janji sama Ishita!" Iya, aku telah membuat janji dengan keduanya. "Jangan macem-macem Fa, lo masih ingatkan sulitnya bikin Ishita luluh sama lo. Dan gue rasa lo juga tahu, apa yang akan terjadi jika Ishita sampai tahu semua ini."

Iya, iya, iya ... aku sangat tahu apa yang akan terjadi. Aku akan kehilangan segalanya dalam sekejap jika keluarga Ishita sampai mengetahui ini.

"Sebelum semuanya terlambat, akhiri hubungan lo dengan Khansa. Jelasin baik-baik." Tak semudah itu.

"Khansa sudah tahu semuanya."

"Maksud lo?"

"Kesepakatan bisnis dibalik pernikahan gue sama Ishita."

"Kutu!" Satu jitakan mendarat di jidat. "Lo tu!" Zaki mengeram menahan amarah. Dia manusia yang tidak akan pernah rela jika aku terlibat dalam hal seperti ini. Trauma masa kecil memiliki dua ibu membuat pria ini membenci kata-kata poligami.

"Gue bingung."

...🌷🌷🌷...

Ishita Pov ~~~

Menyampirkan tas di bahu kiri, aku berjalan meninggalkan kelas. Hari ini kelas di ahiri 10 menit lebih awal disebabkan Profesor memiliki urusan keluarga katanya. Keluarga memang alasan yang paling tepat untuk melakukan segala sesuatu.

Berjalan keluar gedung, kuraih ponsel dari dalam tas. Berharap akan ada pesan atau panggilan masuk dari Rafa, tapi satupun tak ada. Haruskah ku hubungi dia terlebih dulu? Bagaimana jika dia masih sibuk? Tapi sibuk kenapa?

Baiklah, sepertinya aku harus men sugesti diri mulai sekarang. Jika seorang istri berhak meneror suaminya dengan pesan-pesan singkat yang kadang tak penting. Meski aku tak akan melakukan itu. Rafa terlalu malas jika menanggapi sebuah ocehan tak jelas dari siapapun.

"Ishita?" Suara itu? Ini suara yang sama.

Mengangkat wajah ku dapati sosok kemarin lalu yang sempat mengajar di kelasku. Penampilannya sangat berbeda dari hari itu.

"Buk Khansa?"

"Hay .... " Dia menghampiriku perlahan-lahan. Membuatku terlonjak melihat kaki kirinya yang terperban.

"Kaki, Ibuk kenapa?" tanyaku langsung meraih tangannya. Sungguh aku tak tega melihatnya meringis begitu.

"Tidak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil." Dia menampakkan senyum manisnya. Membawaku duduk pada kursi di trotoar jalan rektorat.

"Ibuk kenapa masuk jika sedang sakit?" tanyaku sedikit heran karena dia terlalu memaksakan diri.

"Saya masuk untuk meminta ijin cuti."

"Cuti?"

Khansa mengangguk dengan senyum mengembang. "Saya akan ... menikah." Pipinya bersemu merah. Memperlihatkan betapa bahagianya dia menyambut hari bahagia itu.

"Wah ... selamat, Buk. Saya senang sekali mendengarnya." Baiklah, mungkin ini agak aneh. Tapi sejak bertemu aku merasa sudah kenal lama dengan Khansa. Terlebih dia begitu ramah sejak pertemuan pertama kami.

"Rencananya kapan, Buk Khansa melansungkan akad nikah?" tanyaku tak sabar. Berharap yang baik-baik untuk wanita ini. Terlebih sejak kemarin aku sempat berburuk sangka kepadanya.

"Kamu akan jadi orang pertama yang tahu itu." Dia menggengam tanganku, dengan tatapan yang tak ku mengerti. Membuatku sedikit salah tingkah melihat tatapan itu.

"Ibuk kenapa melihat saya seperti itu?" tanyaku sedikit gugup. Lalu dia menggeleng lemah.

"Sebagai seorang perempuan, saya ingin tahu pendapat kamu boleh?" Dia memutar tubuh menghadapku. Mungkin agar lebih leluasa?

Aku mengangguk setuju. Membuatnya mulai membuka suara.

"Bagaimana pendapat kamu tentang wanita kedua dalam sebuah rumah tangga?" Dan percayalah, pertanyaan itu tak pernah terbesit di otakku akan keluar dari mulut seorang Khansa Aulia Muslimah. Profesor muda tamatan Boston yang IQ nya berada di atas rata-rata.

Apakah dia sedang mencoba menganalisa sikologis ku?

Menelan ludah yang sedikit serat, aku tersenyum tipis. "Siti Hajar juga wanita kedua."

Khansa mengernyit. Matanya menatapku penuh tanya.

"Meski menjadi istri kedua, tak melunturkan pandangan baik kaum muslimin kepada beliau. Bahkan dia di juluki Ummu wa Rasul, ibunya para Rasul. Karena beliau adalah istri Nabi Ibrahim. Bapaknya para Nabi." Menjeda sebentar, aku menatap ke depan. Melihat lalu lalang manusia yang terkadang menatap kami keheranan. Sebab keakraban yang mungkin sebenarnya tak lazim di mata mereka?

"Bahkan Siti Hajar melahirkan seorang Nabi dari rahimnya, Nabi Ismail. Jadi bagiku, wanita kedua tak selamanya buruk. Dengan satu syarat, poligami dilakukan hanya karena syari'at. Seperti Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Siti Sarah yang meminta Nabi Ibrahim untuk menikahi budaknya, agar Nabi Ibrahim bisa memiliki keturunan yang akan meneruskan perjuangan beliau dalam Islam. Jadi tujuannya murni karena Syari'at." Semoga penjelasanku bisa memuaskannya. Meski aku sendiri tak tahu apa tujuannya bertanya seperti itu?

Khansa tak berniat menjadi wanita kedua kan? Tuhan, jangan sampai. Dia terlalu indah untuk melakukan hal itu.

Termenung sekian detik. Wanita berwajah tegas itu tersenyum  mengangguk-anggukan kepalanya. "Terimakasih."

"Terimakasih untuk apa?"

"Untuk penjelasan kamu barusan." Dia menggengam tanganku. "Jadi apakah kamu percaya dengan takdir Ishita?" tanyanya lagi. Kujawab anggukan mantap.

"Tentu saja. Karena aku muslim. Percaya pada Qada' dan Qodar Allah adalah rukun iman. Jika tak percaya berarti aku tak beriman."

"Berarti kamu akan menerima apapun itu meski menyakitkan untuk kamu?" Bukankah pertanyaannya semakin aneh?

"Insya allah." Aku menatapnya dengan tersenyum sampai suara klakson mobil sedikit menyentak kami.

"Jemputanku sudah datang." Khansa mencoba berdiri. Bertepatan dengan bunyi ponsel di dalam tas.

Ibu?

"Angkat saja, saya bisa sendiri kok. Calon suami saya juga nanti turun."

Syukurlah. Aku tak jadi merasa bersalah padanya.

"Kalau begitu saya permisi, Buk," pamitku berjalan menjauh, mengangkat telpon yang sepertinya penting. Tumben ibu menghubungiku.

"Halo, Asalamualaikum," sapaku mendengar suara ibu di seberang telfon. Wanita itu terdengar menghela napas lega.

"Tumben, Ibu menelpon. Ada apa, Bu?" Aku berdoa semoga tak ada masalah besar yang sedang terjadi.

"Tidak, Shi. Ibu hanya kangen." Terdengar dengusan halus di sana.

"Ibu menangis?" tanyaku yang kini sudah ikut meringis sedih. Sepertinya semua anak tak akan tahan mendengar suara orang tuanya jika berjauhan. Ada rindu menggulung yang siap mengoyak hati.

"Kenapa Ishi tidak pernah pulang?"

"Maaf, Bu. Ishi sedang sibuk dengan Mas Rafa." Menggigit bibir aku merasakan sesak di dalam dada. "Insya Allah minggu depan Ishi pulang."

Semenjak menikah aku sama sekali tak pernah bertukar kabar dengan orang tua. Bukan tak mau, melainkan takut mereka kepikiran. Aku juga tahu, ibu pasti sangat ingin menghubungiku. Namun dilarang ayah, karena ingin membiasakanku. Membisakanku untuk hidup tanpa mereka.

Bukankah hidup sangat miris? Bahkan sebagai anak dan ibu kami harus belajar membiasakan diri kehilangan. Agar tak saling mencari jika salah satu pergi. Ah! hidup kejam sekali. Meski di lauhul mahfudz nanti, setiap saudara seiman akan saling mencari dan menolong. Termasuk antara orang tua dan anak.

Mengahiri acara lepas kangen dengan ibu aku memutuskan kembali ke tempat tadi. Dan beruntungnya masih menemukan Khansa yang sedang di bantu oleh calon suaminya menuu mobil.

Dan tunggu ... semoga mataku sedang tidak dalam mode blur akibat menangis tadi. Mengapa aku seperti mengenali punggung itu? Iya, punggung tegap dengan tengkuk putih itu. Tubuh jangkung dengan jeans gelapnya.

Sebentar, sebentar ... aku mengerjapkan mata berulang. Menyesuaikan penglihatan ke arah manusia yang kini akan memasuki mobil mereka.

Mobil itu?

Bersambung ...

Dan apa yang terjadi selanjutnya?

Terpopuler

Comments

Syaiful Amri

Syaiful Amri

bukannya rafa anak pesantren.. knp ngambil proyek club??

2024-02-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!