NovelToon NovelToon

My You

Part 1

...Pertemuan ini, entah takdir atau nasib aku sama sekali tidak tahu? ...

...Setahuku, setiap manusia memiliki takdirnya. ...

...Baik denganku, begitupula denganmu....

...-Rafazhar Wicaksono-...

...___________...

Rafa Pov ~~~

Acara lamaranku antara berhasil atau tidak, wanita itu tiba-tiba menolak untuk menikah dalam waktu dekat, entahlah karena apa?

Aku sendiri tidak mengerti. Ketika disebutkan perihal menikah dia seperti orang tersengat listrik, terkejut dan shock begitu hebatnya. Sampai aku bisa menangkap kegelisahan dari wajahnya yang tiba-tiba memerah seperti Kepiting rebus.

Hari ini, dia meminta untuk bertemu. Seperti wanita kebanyakan, dia hanya mengatakan ada yang perlu dibicarakan. Aku sendiri tidak tahu menahu tentang semua rencana pernikahan kami, tapi kuharap semoga wanita itu tak berniat membatalkannya. Aku tidak ingin disiksa lagi oleh laki-laki itu.

“Assalamu'alaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Dia datang dengan wajah yang lebih tenang dari beberapa hari lalu. Senyumnya tersungging walau masih tertahan karena rasa malu. Dia menatapku sesaat, lalu duduk di kursi seberang meja.

Sengaja memilih tempat ini untuk menemuinya, selain karena di sini restoran seafood favoritku, tempat ini juga banyak menyimpan kenangan. Paling tidak, jika dia memang benar ingin membatalkan perjodohan kami, aku bisa menerima dengan senang hati begitu melihat ke lautan lepas. Deburan ombak selalu mujarab menenangkan kekacauan hati karena peliknya urusan hidupku yang penuh sandiwara.

Aku menatapnya seksama, bersiap menjadi pendengar yang baik atas apa yang akan disampaikan. Wajahnya lugu dan polos, namun tetap memiliki sisi tegas yang terpancar dari sorot mata yang agak menyipit.

“Terimakasih karena telah mau bertemu dengan saya,” ujarnya memulai pembicaraan.

“Sama-sama, saya sama sekali tidak keberatan.”

Sesaat dia menarik napas, seperti memikirkan apa yang akan ia katakan.

Sebenarnya tidak enak terus menatapnya seperti ini, takut jika akan timbul perasaan yang tak semestinya. Karena tak bisa dipungkiri, dia memiliki paras ayu khas wanita Jawa, tertutupi kehormatan dan mahkota malu yang terpelihara.

“Saya ingin membicarakan tentang pernikahan kita.”Dia menatapku sesaat, lalu kembali menundukkan pandangan.

“Iya, apa ada masalah?” tanyaku mengamati air wajahnya yang tampak tegang.

“Saya ingin membatalkan perjodohan ini.”

Inalillahi.

Sekarang akulah yang shock. Jika sebelumnya dia yang hawatir tentang pernikahan kami, sekarang aku yang serasa tersengat lebah mendengar hal ini.

“Saya tidak bisa menikah sekarang, saya ingin melanjutkan pendidikan,” jelasnya dengan wajah serius diiringi tatapan tegas.

Sesaat aku tertegun. Benar, aku tak mungkin menghancurkan masa depan dan impian seorang gadis hanya untuk memenuhi ambisi Papa. Wanita ini berhak untuk meneruskan pendidikan dan mewujudkan impiannya. Meski aku sangat penasaran alasannya menerima lamaran orangtuaku beberapa waktu lalu, sementara ia ingin melanjutkan pendidikan. Namun sudahlah, itu bukan urusanku. Aku juga tidak begitu tertarik dengan perjodohan ini.

“Saya mengerti dengan perasaan Ishita, saya senang jika kamu memikirkan pendidikan, dan mau berjuang untuk  mewujudkannya.” Aku tersenyum tipis, mencoba bersikap bijak. Meski jujur, kini aku dilanda kekhawatiran berlebih.

Wanita itu menatapku serius, wajahnya seolah memelas agar aku lepaskan.

“Saya akan beritahu keluarga tentang hal ini. Tenang saja, saya tidak menyalahkan kamu kok.”

“Serius?”

Aku mengangguk pelan. Mau bagaimana lagi?

“Alhamdulillah.” Dia tersenyum. Wajahnya yang sempat murung berubah menjadi ceria dengan tatapan berbinar.

Aku ikut tersenyum. Melihat ekspresinya membuatku merasa senang. Setidaknya aku tak jadi menghancurkan hidup anak orang.

“Ini cincin yang pernah diberikan Tante Renata ke saya, karena sekarang kita tidak memiliki hubungan apa-apa barang ini saya kembalikan.” Ishita menyodorkan kotak beludru kecil berbentuk hati ke arahku. “Terimakasih karena sudah mau mengerti dengan keinginan saya,” lanjutnya tersenyum, kemudian bangkit dari hadapanku. “Assalamu'alaikum.”

“Waalaikumusalam.”

Entah apa yang akan ku jelaskan pada laki-laki itu mengenai hal ini?

Tapi aku tidak mungkin menghancurkan seseorang hanya untuk menuruti ego Papa.  Aku bukanlah tipe laki-laki keras kepala seperti dia. Bersyukur aku dibesarkan pada tempat yang begitu kental dengan ritual agama, sehingga menjadikanku seseorang yang tahu dan mengerti mana hak dan kewajiban kita terhadap orang lain.

Bagiku Ishita memiliki hak untuk mencapai tujuan hidupnya, dan aku memiliki kewajiban untuk memberikan hak itu.

...***...

Ishita Pov ~~~

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat-Nya. Aku teramat bersyukur atas pertolongan yang Dia berikan.

Laki-laki itu ternyata tak seperti yang aku pikirkan, dia pria yang tampak baik.  Seandainya kami dipertemukan di lain waktu, mungkin aku akan menerima pinangannya. Namun sayang, kami bertemu disaat yang tidak tepat.

Aku sudah mengembalikan cincin lamaran kami. Ku harap dia bisa menjelaskan semua kepada orangtuanya, sehingga masalah ini bisa selsai dengan cepat. Selanjutnya giliranku memberi tahu ayah dan ibu.

“Ishi!”

“Ishita!”

Ayah?

Ada apa ini? Sebelumnya beliau tidak pernah memanggilku seperti itu, kecuali ada hal gawat.

Aku berlari dari dalam kamar. “Ada apa Ayah?” Ku lihat lelaki itu pucat pasi di ruang keluarga.

“Ibu, Nak. Ibu kamu,” ucap ayah gugup.

“Ibu kenapa Ayah?” tanyaku diliputi ketakutan.

“Ibu pingsan.”

Inalillahi.

Aku menutup mulut menahan tangis yang hendak keluar. Apa yang terjadi pada pintu surgaku?

“Telpon Ambulance, kita akan bawa Ibu ke rumah sakit.”

Aku bergegas meraih gagang telpon di dekat televisi, sementara ayah berlari menuju kamar ibu.Ya Tuhan entah apa yang terjadi sekarang?

Suara seorang laki-laki menjawab telpon, kemudian menanyakan lokasi rumah kami setelah ku beritahu apa yang terjadi pada ibu.

Setelah memutuskan sambungan, aku berlari menyusul ayah dengan jantung berdegup kencang. Semakin abnormal ketika ku lihat tubuh wanita yang telah melahirkan ku tergeletak dengan mata tertutup dan sedikit keringat dingin di dahi.

“Kamu sudah telpon Ambulance?”

“Iya, Yah. Ishi sudah telpon.”Aku menggosok tangan ibu dengan kuat, mencoba memberikan rasa hangat di tubuhnya. Sementara ayah bergegas mempersiapkan semua perlengkapan.

Air mataku menetes tak tertahan, tak bisa membayangkan jika harus kehilangan ibu. Wanita ini adalah orang yang paling berharga dalam hidupku, sebagai penopang dan penerang hidupku. Aku mencintainya dengan segenap hati dan tidak ingin ia pergi.

“Ibu .... ” Tangisku sudah tak tertahan sembari mencium punggung tangan ibu.

Suara riuh tiba-tiba terdengar memenuhi pekarangan. Ayah mengangkat tubuh ibu dengan enteng, ku ikuti menuju mobil putih dengan lampu sirine itu yang sudah terparkir dengan dua orang perawat yang langsung membantu ayah.

Beberapa petugas dengan sigap memasangkan beberapa alat medis untuk membantu kestabilan kondisi ibu. Aku dan ayah duduk di samping ibu dengan terus menggenggam erat tangannya. Ayah menitihkan airmata sembari mengusap-usap kepala istrinya, rasanya sakit sekali melihat semua ini. Entah bagaimana nasibku dan ayah jika ibu sampai meninggalkan kami?

Aku belum siap kehilangan ya Allah.

...***...

Rafa Pov ~~~

Ishita ingin mengakhiri perjodohan kami, dan aku tidak bisa melarangnya. Entah bagaimana nasibku? Biarlah itu urusan nanti.

“Terimakasih, Pak.”Aku memberikan lembaran uang pecahan 50 ribu kepada sopir taksi.

Pintu gerbang itu terlihat menyeramkan, seperti tembok raksasa keramat yang tidak pernah bisa dilewati oleh siapapun, termasuk aku dan Mama dengan sesuka hati. Setiap sisi memiliki pengamanan yang begitu ketat, hampir-hampir menyerupai istana Kepresidenan.

Aku berjalan ragu melewati gerbang besi yang menjulang tinggi sekitar 3 meter di atas kepala. Entah bagaimana tanggapan Papa begitu melihatku mendatangi rumah ini tanpa menutup kepala sama sekali?

“Mama ada?” tanyaku pada salah seorang penjaga di depan gerbang.

“Ada, Mas. Di dalam bersama Tuan.”

Aku mengangguk dan berjalan menuju pintu utama, menggenggam erat kotak cincin yang dikembalikan Ishita. Barang ini harus ku kembalikan kepada Mama untuk diberikan lagi pada wanita lain yang akan di jodohkan denganku.

Belum sampai di depan pintu, Mama dan Papa bergegas menuju mobil yang terparkir di depan garasi. Entah mau kemana mereka?

“Mama! Papa!” seruku berlari kecil menuju garasi.

Papa menatap dengan sinis, sementara Mama terlihat shock dengan keberadaan ku.

“Mama mau kemana?”

“Kita mau ke rumah sakit. Ibunya Ishita kena serangan jantung,” jelas Mama dengan wajah gelisah.

“Innalillah.” Seketika, bayang wajah perempuan itu memenuhi benakku.

“Masuk!” Perintah Papa menyadarkan ku, dan segara ikut masuk mobil.

Entah apa isi kepala Papa? Sampai ia mengijinkan untuk semobil menuju rumah sakit. Mengingat itu tempat umum yang didatangi banyak orang.  Tidak menutup kemungkinan ada paparazi yang mengawasi kebersamaan kami.

Entah apa rencana dari laki-laki ini?

Bersambung ....

__________

Jangan lupa vote dan komen readers...

😘😘😘

Semoga ketagihan sama cerita ini.

Part 2

...Hidup adalah pilihan...

...Apapun yang kita pilih memerlukan tanggung jawab....

...Aku memilihmu, dan menuntut ku untuk bertanggung jawab atas pilihan itu....

...-Ishita Zahra Haliza-...

...______________...

Ishita Pov ~~~

Ibu mengalami serangan jantung ringan.

Dokter sudah melakukan beberapa tes untuk memastikan, dan ternyata memang begitu adanya. Entah sejak kapan semua itu terjadi? Namun selama ini beliau terlihat baik-baik saja di depan kami, tak pernah mengeluh sakit.

Aku merasa begitu bersalah, tak peka dengan kondisi ibu. Dokter mengatakan kali ini hanya serangan jantung ringan, tetapi untuk ke depannya akan terjadi serangan yang fatal jika ibu terlalu banyak pikiran.

Apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya?

Entahlah? Rasanya tak sanggup jika membebani ibu dengan pikiran pembatalan pernikahan dengan Rafa. Bagaimana jika ibu mengalami serangan yang lebih parah lagi?

"Ishi .... " Ibu memanggil dengan lirih, suaranya seakan tertinggal di tenggorokan.

"Iya, Bu?" Tanganku menggenggam erat tangan ibu. Memberi dan mencari kekuatan dari tangan lembut itu.

"Kamu jangan hawatir, Ibu baik-baik saja." Mata sayu nya menatap dengan hangat. Berusaha menenangkan ku yang mungkin terlihat ketakutan.

Aku tersenyum tipis, menyembunyikan getir hati dan kekacauan pikiran. Masih tak sanggup membayangkan jika ibu harus pergi meninggalkan kami waktu ini, disaat aku masih membutuhkannya.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Membuat kami menengok bersamaan. Mempertemukan tatap ku dengan lelaki itu.

"Asalamualaikum."

"Waalaikumusalam," jawab kami serentak. Menyambut kedatangan keluarga tante Renata.

Masih dengan posisi di samping ibu, aku di kejutkan dengan sikap lelaki itu.

"Tante bagaimana?" Pertanyaannya berbarengan dengan tangan yang menggenggam jemari ibu. Hampir sama dengan posisiku sekarang.

"Tante baik-baik saja, Nak," jawab ibu dengan senyum mengembang, meski tertutupi alat bantu pernapasan.

"Alhamdulillah," serunya lagi. Menampakkan kelegaan yang terlihat pada air mukanya. Apa maksudnya? Apa dia benar-benar senang ibu tidak apa-apa?

"Tante minta sama kalian berdua untuk segera menikah. Tante ingin melihat Ishita jadi pengantin sebelum tante pergi." Ibu menatap kami penuh harap. Membuat hatiku semakin terkoyak ngilu.

Air mata menetes tanpa sadar. "Ibu tidak boleh berbicara seperti itu."

"Iya, Tante. Tante pasti bisa menyaksikan pernikahan Ishita." Rafa membantu menenangkan ibu. Mengurangi sedikit beban yang kini membuat bingung. Tak sadarkah dia jika ucapannya akan dianggap janji oleh ibu yang harus di tepati?

Entah dia sudah memberitahukan kepada kedua orangtuanya atau belum tentang pembicaraan kami tadi siang?

"Sebaiknya pernikahan nya dipercepat saja." Ucapan tante Renata membuatku menyadari satu hal. Rafa belum mengatakan apa-apa pada orang tuanya.

Dalam kondisi seperti ini, perasaan ingin melanjutkan pendidikan semakin mengerubungi ku. Namun bagaimana cara menjelaskannya? Apakah ibu dan ayah akan mengerti?

Satu sisi aku tak ingin menyakiti ibu, di sisi lain aku juga tak mungkin menikahi Rafa. Pria itu tahu alasannya. Menempuh pendidikan sambil berkeluarga, nyaris tak terlintas di pikiranku. Takut tak bisa berlaku adil pada suami dan anak-anakku.

Anak?

Astaga! Kenapa pikiranku sejauh itu?

"Bagaimana Rafa? Apa kamu setuju?" intrupsi ibu membuatku mengarahkan pandang kepada laki-laki berwajah manis itu.

Astaghfirullah .... mataku.

Rafa terdiam sejenak, memandangiku yang berusaha terlihat tenang di hadapan semua orang.

"Terserah Ishita saja, Tante."

Deg!

Bagaimana aku menjawabnya?

Dia tahu aku tak menginginkan pernikahan itu, tapi aku juga tak menginginkan ibu sakit. Allah .... apa yang harus ku lakukan?

Jika tadi, Rafa yang menjadi pusat perhatian, kini giliranku menjadi sasaran tatapan seluruh manusia di dalam ruangan ini. Tak terkecuali Rafa, yang memperlihatkan keprihatinan terhadap keadaanku.

Sentuhan tangan ibu di pucuk kepala, seketika membuatku melayang. Tuhan, aku tidak ingin kehilangan rasa sayang ini. Namun bagaimana dengan Belanda? Aku juga ingin ke sana.

Usapan tangan ibu semakin gencar. Lembut, namun ada tekanan di baliknya.

Aku membawa tatap ke wajah ayah. Mencoba memahami sinyal kecil yang ia berikan lewat tatapan lembut dengan sedikit senyum yang hampir tak terlihat. Ada anggukan kecil di kepalanya.

Inikah jalanku ya Allah?

Harus berjalan bersama dia? Laki-laki yang bahkan tak ku ketahui perangainya seperti apa? Pria yang hanya tampak baik, tak ku ketahui apakah benar-benar baik?

Iya, sepertinya harus ku putuskan.

Aku tidak ingin memenangkan ego dan membahayakan nyawa ibu. Biarlah rasa sesak menghimpit ku, asal jangan ibu yang mengalami sakit itu.

Sesekali aku menarik napas, berusaha untuk meyakinkan diri walau tak sejalan dengan hati.

"Iya, Bu. Ishi mau." Pilihan ini harus ku pertanggung jawabkan di kehidupan yang akan datang.

Pada saat ini yang ada di pikiranku hanya ibu. Tak penting hatiku seperti apa? Yang jelas hati ibu baik-baik saja.

"Terimakasih, Sayang. Ibu bahagia mendengar jawaban kamu." Entah beban berapa kwintal yang ada di pundakku? Namun saat ini rasanya aku akan hancur sebentar lagi.

Ibu menggosok punggung tanganku, mengucapkan terimakasih berkali-kali lewat tatapannya.

Entah apa yang membuat mereka semua begitu menginginkan pernikahan ini? Padahal aku dan Rafa sama sekali tak menginginkan ini.

Rafa menatapku lekat. Menampakkan raut bingung atas keputusanku. Jelas saja, tadi siang aku yang membatalkan perjodohan kami. Namun malam ini aku yang menyanggupinya.

Mungkin dia akan menganggap ku wanita labil? Tapi apa peduliku? Yang aku pedulikan hanya kondisi ibu. Tidak dengan Rafa, ataupun keluarganya.

...***...

Rafa Pov ~~~

Wajahnya menyendu, pinggir matanya terlihat berair dan sembab. Tadi siang dia terlihat begitu bahagia ketika aku setuju dengan pembatalan perjodohan kami, tapi saat ini ia terlihat sangat terpukul dengan keadaan ibunya yang mengalami serangan jantung tiba-tiba.

Bukannya mengatakan keinginannya untuk berkuliah lagi, ia malah menyetujui pernikahan kami. Entah wanita seperti apa dia ini?

Niatku mengatakan kepada Mama dan Papa tentang keputusan kami untuk membatalkan perjodohan, tak sempat ku sampaikan. Bahkan cincin yang diberikan oleh Ishita masih kusimpan di dalam saku.

Ku pikir itu akan berada di jari wanita lain, tapi rupanya akan kembali kepada jarinya. Entahlah ada apa dengan diriku? Namun ada sebersit rasa senang di hati ketika ia menyetujui semuanya. Meskipun aku tak begitu tertarik, tapi dengan semua ini aku bisa selamat dari amukan Papa.

Pergelaran pernikahan kami mungkin akan diadakan dalam waktu dekat? Entah dalam hitungan hari atu minggu aku tidak ingin ambil pusing. Tugasku hanya menikahinya, dan sudah, sebatas itu.

Bagaimana kami akan berusaha untuk saling mencocokan diri setelah menjadi pasangan? Aku sama sekali tak memikirkan.

Witing tresno jalaran suko kuleno.

Pepatah Jawa itu entah akan berlaku atau tidak pada kami? Yang pasti aku hanya ingin menjalani semua itu seperti air yang mengalir. Kalau nyaman teruskan, kalau tidak ... tak akan ku paksakan. Baik dia atau aku, kami memiliki hak untuk mencari kebahagiaan masing-masing.

"Aku harap kamu tidak menyesal dengan keputusan ini." Aku menatapnya seksama. Setelah sekian lama kami duduk di kursi taman rumah sakit, aku menyudahi kebisuan yang menyelimuti.

"Aku tidak akan pernah menyesal dengan keputusanku, selama itu bisa membuat Ibu bahagia." Iya, dia contoh anak berbakti pada jaman ini.

"Apakah karena itu saja?" Iseng, aku mencoba memancingnya. Sejak pertemuan pertama kami, dia begitu irit bicara.

Ishita menatapku. "Tidak ada alasan yang lebih tepat dan layak selain kebahagian dan kesehatan Ibu. Bagiku beliaulah yang terpenting." Bukan jawaban itu yang ku harapkan. Namun, yang dia katakan benar adanya.

Ishita hanya melakukan ini untuk sang ibu. Begitu juga denganku, yang melakukan ini karena suruhan Papa. Jadi ... ku pikir kita impas.

"Pakailah cincin ini, siapa tau nanti ibu kamu menanyakannya." Kotak beludru yang sempat dia kembalikan tadi siang, ku berikan kembali.

"Akan ku pakai. Terimakasih karena telah bersedia membantuku." Ishita memasukkan kotak kecil itu ke dalam saku jaket nya. Udara malam ini sebenarnya cukup dingin, tapi demi mendapatkan satu mufakat mengenai kehidupan kami. Aku bersedia duduk di sini.

"Terimakasih karena telah mau menikah denganku demi kebahagiaan ibu. Meskipun kamu tidak menginginkan hal ini sepertiku," lanjutnya mengarahkan pandang ke arah jalan raya. Aku baru tahu, jika perempuan ini adalah spesies introvert yang jarang peka dengan lingkungan sekitarnya.

Aku berada di sampingnya, tapi dia memilih menatap ke arah lain. Jika dalam kamus kesopanan dia salah besar. Dalam psikologi, menatap mata lawan bicara adalah point penting untuk mendapatkan respon yang baik.

"Sama-sama, " timbal ku singkat. Merespon seadanya, seperti yang dia inginkan?

Beberapa saat suasana menjadi hening. Ishita sibuk dengan pemikirannya, begitupun aku yang sibuk dengan pemikiranku. Pemikiran yang entah tersesat ke mana?

Aku menatap wajah Ishita seksama. Bulu matanya lentik dengan hidung bertulang tinggi. Bibirnya tebal, agak merah kehitaman. Sedikit kering, mungkin karena sering berpuasa?

Beberapa kali bertemu, baru kali ini aku memperhatikannya dengan detail. Ungkapan cantik sepertinya tak cukup.

"Rafa?" Bahuku sedikit berguncang.

Ishita?

"Kamu kenapa?"

Sejak kapan aku memperhatikannya? Sampai tak dengar dia memanggil namaku.

"Aku mau masuk ke ruangan ibu. Kamu mau tetap di sini?"

"Iya, duluan saja." Ada apa denganku?

"Asalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Astaga! Apa-apaan ini? Kenapa aku sampai kebablasan begini?

Ini tidak benar!

Bersambung ....

_____________

Jangan lupa vote dan komen.

Baca dengan teliti dan resapi. Semoga berfaedah.😘😘😘🤩

part 3

...Entah anugerah atau musibah?...

...Yang pasti takdir tak akan pernah berubah...

...Meski berat, tetap saja menikah itu ibadah....

...-Rafazhar wicaksono-...

...____________...

Rafa Pov ~~~

Dipingit. Iya, katanya begitu. Meskipun aku tidak tahu tujuan dan makna spesifik dari ritual itu. Yang terjadi hanya dia disembunyikan di dalam rumah, dan kami tidak dibiarkan bertemu. Aku tidak tahu maksud para nenek moyang kami melakukan itu? Namun jika mereka bertujuan ingin membuat kami saling merindu satu sama lain sebelum pernikahan, mereka salah besar!

Ishita ataupun aku tak saling memperdulikan, bagaimana bisa kami saling merindukan? Jika saja tak memikirkan masalah yang akan timbul, mungkin Ishita akan menggunakan kesempatan ini untuk kabur. Terlebih dia begitu ingin meninggalkan tanah kelahirannya menuju negara mantan penjajah, yaitu Belanda. Namun sayang, nasibnya malang sehingga harus terjebak dalam lingkaran kemunafikan bersamaku.

"Bagaimana? Kamu suka?" Pertanyaan itu hanya ku jawab gidikan bahu.

"Kamu ditanya dari tadi, jawabannya tidak tahu melulu. Kamu niat nggak sih nikah?"

Nggak!

"Rafa mana tahu, Ma? Kan aku laki-laki. Emang aku pakai gaun?" Satu tepukan kasar langsung mendarat di lengan. Membuatku meringis sakit.

"Kamu kalau ditanya, jawab yang benar."

Memang aku pernah didengarkan?

Jika boleh jujur, semua pakaian di sini menurutku sama saja. Semuanya berwarna putih, semuanya terbuat dari brokat, semua seperti di film Disney. Terus kenapa harus pusing?

"Baju ini untuk calon istri kamu. Kalau dia cantik kamu juga yang senang." Mama kembali melihat koleksi di ruang sebelah.

"Mau pakai apa saja, Ishita itu cantik."

"Apa kamu bilang?" Ada apa dengan ekspresi Mama?

"Nggak ada." Berusaha mengalihkan perhatian wanita setengah baya itu, aku menghampiri sebuah manekin yang dipakaikan gaun putih sederhana dengan payet di bagian dada. Modelnya seperti hoodie, tetapi terlihat elegan.

"Wah ... pilihan kamu bagus banget! Nggak nyangka selera kamu OK juga." Mama kegirangan setengah mati, memanggil karyawan butik dengan panik.

Hah?

"Mama yakin, Ishita pasti cantik sekali dengan gaun ini."

Siapa juga yang memilih gaun? Aku hanya berusaha menghindari Mama.

Wanita muda dengan pakaian hitam berlengan pendek itu, hanya menurut ketika Mama menyuruhnya membawakan gaun di manekin. Kemudian kembali memilihkan jilbab pada lemari kaca. Entah berapa jilbab yang akan dipakai Ishita? Jumlahnya sudah sangat banyak di tangan Mama. Berbagai warna, seperti daftar pelangi.

"Sekarang giliran kamu." Mama menarik tanganku menuju ruang ganti. "Pakai ini dan perlihatkan ke Mama nanti."

"Rafa juga, Ma?" Apakah seribet ini orang menikah?

"Iyalah Rafa ... Emang kamu mau pakai kaos oblong buat nikah?"

"Emang bisa?" Aku menyukai opsi itu.

"Enggaklah! Apaan sih? Masuk sana!" Tubuhku didorong ke dalam ruangan kecil tertutupi gorden berwarna gelap. Terdapat satu kaca besar di depanku.

Setelah mengganti seluruh pakaian, aku menatap diri di cermin. Satu kalimat yang terlintas di bibir.

"Wow!" Entah siapa mahluk di depan sana?

Selama hidup, aku tak pernah menyukai pakaian formal. Jenis pakaianku hanya berkutat pada jeans dan kemeja. Untuk celana bahan hanya ada 2 buah, dan itu terpaksa karena aturan perusahaan. Ku pakai hanya ketika rapat. Memang benar aku lulusan pondok pesantren, tapi di sana kami lebih sering menggunakan sarung dari pada celana.

"Astaghfirullah!" Bayang wajah dengan kerutan halus di cermin membuatku berjingkat. "Mama main masuk saja! Bagaimana jika Rafa sedang tidak berpakaian?" Untung tubuhku sudah terbungkus rapi.

"Sejak kamu masih belum mengenal celana dan kemeja. Mama yang mandiin kamu Rafa .... "

"Itu kan beda, Ma. Rafa sudah dewasa." Astaga ... Mama ini.

"Udahlah. Toh kamu sudah pakai baju kan?" Tubuhku ditarik ke luar, memutarnya berkali-kali. Entah apa yang ingin Mama pastikan?

"Ganti lagi ya?"

"Ma .... "

Aku menarik napas panjang. Tatapan itu membuatku tak bisa membantah.

...***...

Ishita Pov ~~~

Satu berkas lagi, semuanya sudah siap. Dalam map ini semua dokumen pendaftaran beasiswa ke Belanda sudah lengkap. Menunggu untuk dikirim ke kedutaan besar Belanda di Jakarta.

Aku tersenyum menatap cermin, impianku akan segera terwujud. Setelah mencari beberapa informasi dari berbagai narasumber, ternyata tak masalah mengajukan beasiswa meski sudah berkeluarga. Urusan hubungan dengan Rafa, akan aku bicarakan dengan pria itu nanti.

"Ishi!" Ketukan di pintu membuatku bergegas. Membuka benda kayu itu dan mendapati raut bingung Ibu.

"Kamu mau kemana?" Ibu menatap tubuhku dari ujung ke ujung. "Kamu mau kemana?" Pertanyaan diulang sekali lagi.

Kenapa ibu tegang begitu?

"Aku mau ke kantor pos, Bu. Ada apa?"

"Astaghfirullah, Ishi!" Tubuhku dibawa ke meja rias. "Ganti baju kamu." Ibu melepas peniti di pashmina.

"Kenapa, Bu?" Tanyaku panik. Pakaian sudah serapi ini kenapa dilepas?

"Kamu lupa? Kamu ini sedang dipingit."

Hah?

"Selama seminggu kamu tidak boleh ke luar sampai hari pernikahan." Rambutku kini sudah tergerai. Pashmina yang ku pakai entah raib ke mana?

Tidak boleh keluar? "Maksudnya?" Aku menatap pantulan wajah ibu di cermin.

"Selama dipingit kamu tidak boleh kemana-mana. Apalagi menemui Rafa." Rambutku disisir perlahan, kemudian diikat dengan karet.

"Siapa yang mau menemui Rafa, Bu?" Jangankan menemuinya, memikirkannya saja aku malas.

"Tadi, kamu mau ke kantor pos kan? Pasti mau kirimin Rafa surat."

Astaghfirullah. Memang ini zaman apa?

"Ibu salah faham. Ishi hanya mau ke kantor pos untuk mengirim berkas." Aku membalik badan menatap ibu.

"Berkas apa?"

Berkas beasiswa.

Aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Bisa jadi ibu akan syok dan akan masuk rumah sakit lagi. Tidak, biar Allah saja yang mengatur ke depannya bagaimana?

"Pokoknya kalian dilarang bertemu sampai hari pernikahan." Ibu meletakkan sisir di atas meja.

"Tapi, Bu?"

Ibu menggeleng tegas. "Setelah menikah kalian akan satu kamar juga." Kekehan ibu membuatku bergidik.

Satu kamar? Astaga! Kenapa perutku jadi mual memikirkannya? Aku bahkan tak berpikir sampai di sana.

Ibu ke luar meninggalkanku. Dan dengan entengnya mengunci pintu dari luar. Memang aku akan kabur apa? Meski ingin, aku masih punya hati untuk tak mempermalukan orang tua di depan umum.

Entah siapa yang mencetuskan ide dipingit menjelang pernikahan? Aku tak mengerti dampaknya secara langsung, selain hanya perasaan bosan dan tertekan. Setidaknya itu yang ku dengar dari teman-teman yang sudah menikah, dan satu suku. Acara adatnya panjang sekali. Belum siraman, bemum ini, belum itu. Apalagi Ibu dan Ayah keturunan Jawa ningrat. Entah selama apa prosesnya?

...***...

Rafa Pov ~~~

Sebentar lagi kamu jadi suami. Bersikaplah selayaknya suami, tidak selayaknya majikan terhadap pesuruhnya.

Sesekali aku menggaruk tengkuk mengigat perkataan pak kiai. Jelas sekali jika beliau memintaku memuliakan istri. Yang berarti Ishita. Wanita introvert, yang aku tidak tahu apakah bisa beradaptasi dengan kehidupanku nanti?

Setahuku, seorang introvert hanya asyik dengan dunianya sendiri.

Setelah pulang dari butik, aku memutuskan mampir ke pondok. Setidaknya meminta nasihat dari guru besar pondok mengenai pernikahanku.

Senakal-nakalnya diriku, perihal urusan sakral begini aku tak ingin salah langkah. Terlebih beberapa kali sempat mengikuti kajian tentang pernikahan, walau tak pernah berpikir akan menerapkannya dalam waktu sedekat ini.

Menikah itu memang berat, tapi seberat-beratnya menikah itu bernilai ibadah. Dan seberat-beratnya ibadah, itu berpahala.

Wajah sepuh lelaki itu membuatku menarik napas. Sedikit lega mendengar petuah bijaknya. Setelah sekian hari merasa tertekan dan bingung, aku menemukan secarik cahaya di lorong gelap.

Meski tujuan awal dari pernikahan ini sedikit salah karena niat Papa. Namun sebagai orang yang menjalankannya, aku harus meluruskan niat, membersihkan hati dan yang pastinya memantaskan diri.

Ishita mungkin tak berarti apa-apa bagiku saat ini. Begitupun aku yang tak berarti apa-apa untuknya. Namun sebagai kepala rumah tangga nantinya, aku adalah nakhoda yang menentukan bahtera akan berlayar dengan aman atau tidak?

Aku tak berharap lebih dari pernikahan ini. Tetapi setidaknya, aku harus berusaha lebih untuk tetap membuatnya baik-baik saja. Ishita adalah calon ibu, sekolah bagi generasi yang terlahir dari rahimnya. Entah anakku atau tidak yang akan dia lahirkan, kewajibanku memperlakukannya dengan baik. Seperti Rasululloh Saw yang selalu memperlakukan wanita dengan baik dan lembut.

Entah anugerah atau musibah? Tetap takdir tak akan berubah.

Bersambung....

______€€____

Bintangnya dong di pojok kiri. ⭐⭐🌟

Salam literasi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!