part 14

...Sebuah rasa tak akan tersampaikan jika tanpa pembuktian...

...__________...

Rafa Pov~~~

Netranya berbinar bak kilatan bintang yang memukau. Bibirnya tersenyum dengan pipi merona. Setelah sekian hari menunggu, hari ini ahirnya tiba.

"Terimakasih." Satu kecupan ku daratkan di keningnya. Dijawab anggukan kecil yang dia lanjutkan dengan menenggelamkan diri di ceruk leherku. Hangat napasnya membuatku tenang dan melayang.

Momen seperti ini, tak ku sangka akan terjadi juga. Ketika hati mulai mengambang, dia memberi keyakinan jika semua akan baik-baik saja.

"Kamu tidak kuliah hari ini?" tanyaku menaikkan rambut yang menutupi wajahnya.

Menggeleng dia hanya mengeratkan pelukan. Seolah tak mau melewatkan pagi ini. Aku Pun begitu, tetapi tak mesti dengan melalaikan tugas yang lain.

"Yakin kamu nggak kuliah? Kok aku baca di jadwal kamu masuk 4 kali seminggu?"

Ishita mendongak dengan bibir mengerucut, jelas sekali jika dia sebal dengan pernyataan ku.

"Bukannya kamu yang pengen banget kuliah? Kok sekarang malah jadi males?"

"Libur deh hari ini ... iya, Mas ya?" Tangannya menaikkan selimut sampai leher, menutupi tubuh polosnya yang sedikit kedinginan. "Aku masih ngantuk," ujarnya memejamkan mata.

Tersenyum, aku menyentuh ujung hidungnya. Dibalik sikap keras kepalanya, dia masih punya sifat manja yang tak terduga. "Aku juga masih ngantuk, tapi kamu harus ingat ... jika anak-anak kita berhak punya ibu yang cerdas. Bukankah kamu pernah mengatakannya?"

Perlahan, dia membuka mata dengan senyum mengembang. "Oh ... aku punya suami yang sangat bijak," ujarnya membangunkan tubuh, menaikkan selimut sampai dada.

"Kamu mau mandi bareng?" godaku, dijawab delikan tajam. Yang justru membuatku tertawa melihat ekspresinya.

"Jangan harap!" serunya bergegas masuk ke kamar mandi. Sesaat kemudian terdengar suara shower.

Memakai kaos yang tersampir aku berjalan ke luar kamar. Menuju dapur untuk membuat kopi. Setelah sekian pagi terlewat, baru kali ini aku merasa benar-benar merasakan segarnya udara pagi.

Membuka kulkas ku dapati beberapa butir telur. Entah bisa membuat apa untuk jadi sarapan?

Memeriksa ponsel, ku lihat beberapa resep sederhana yang mungkin cocok untuk sarapan kami pagi ini.

"Masak apa?" Pertanyaan Ishita yang ku jawab dengan gidikkan bahu. Memberi isyarat menatap piring yang sudah terisi dua omleat.

"Mau makan bareng?" tanyaku meraih garpu dan memberikan kepadanya. Dijawab anggukan kecil sembari menuang air minum pada gelas.

"Sepiring berdua?" tanyanya ketika melihatku membawa sebuah piring berisi omleat ke meja makan.

"Ingin mencoba?" Mendudukkan tubuh aku menarik sebuah kursi untuknya, dan tanpa pikir panjang Ishita duduk sembari menatap ke arahku. Ada kilatan bingung di netranya.

"Kenapa?" Aku menatapnya lekat, membuatnya buru-buru menggelengkan kepala.

Memakan omleat yang disajikan, Ishita hanya terdiam menatapi makanan yang terbuat dari telur itu. Sesekali mengecek ponsel miliknya.

"Kamu cantik," pujiku meneruskan suapan. Membuatku  mengutuk diri karena tak bisa bersikap ekspresif ketika mengatakan hal yang romantis. Bahkan dadaku berdegup abnormal ketika melihat wajah terkejut Ishita.

Terkekeh, Ishita memukul lenganku pelan. "Kamu juga ngomong gitu semalem."

Dan itu berhasil membuatku tersedak ludah sendiri. Bukankah tak seharusnya dia mengingatkan hal itu? Otak pria akan selalu bekerja seperti itu ketika di balik selimut. Apa dia tidak mengerti jika itu membuatku malu?

Menyelesaikan sarapan, Ishita bangkit membawa piring kotor ke dapur. Ku ikuti dengan membawa satu gelas yang kami pakai secara bergilir. Iya, benar kata Rasullullah Saw, hal itu bisa meningkatkan keintiman pasangan, dan aku merasakannya. Mengekori Ishita seolah menjadi kebiasaan.

"Kamu pulang jam berapa?" tanyaku ikut membasuh tangan pada wastafel. Kemudian mengikuti lagi ketika Ishita mengelap tangan.

"Mungkin sore. Ada beberapa hal yang harus ku urus," jawabnya merapikan lengan baju yang tadi terlipat. Ku Bantu merapikan ikatan jilbabnya di balik leher yang sedikit kacau.

Embusan napasnya membuatku mengerang tertahan. Itu menggelitik leherku. Posisi kami sekarang seperti sedang berpelukan, mesti pada kenyataannya Ishita hanya terdiam kaku ketika merasakan pergerakan tanganku menyentuh jilbabnya.

"Aku akan pulang cepat," bisiknya membuatku salah tingkah. Apa dia berhasil membaca pikiranku?

Memberikan sedikit mantra yang hampir membuatku melemas, Ishita tersenyum kemudian berlari kecil meninggalkan rumah. Aku merasakan jantungku tak lagi berada di tempatnya.

Bukankah dia sangat hebat untuk ukuran seorang pemula?

Rasanya aku ingin menambah masa cuti sebulan lagi.

...****...

Ishita Pov ~~~

Melihat ekspresi Rafa membuatku mengerti satu hal, jika pria itu sangat sensitif terhadap sentuhan. Bahkan dengan tersentuh napas ku saja dia sudah seperti orang frustasi. Kupikir dia akan sangat kaku jika menyangkut hal yang intim, tapi nyatanya dia cukup hangat dan  lembut semalam.

Sampai di halaman kampus, aku bergegas menuju lantai 3 memasuki kelas profesor Patra  yang akan mengajarkan kami social enterprise. Ini hari pertama kami bertemu dengan dosen sepuh itu, semoga dia pria yang baik dalam memberikan nilai.

Berdiri di depan pintu ku dapati kelas sudah dimulai. Tentu saja membuatku mengomel di dalam hati mengingat ulah Rafa yang membuatku menunda-nunda meninggalkan rumah. Pria itu membuatku tak ingin jauh darinya.

"Nyonya Wicaksono?" Seorang wanita yang tampak lebih dewasa dariku menghampiri dengan tangan bersedekap. Mata kucingnya di lindungi kacamata persegi yang membuatnya terlihat tegas. Begitupula dengan rambut hitam tergerai yang bergelombang. Lengkap dengan stelan kemeja hitam dan rok span selutut yang cukup ketat. Mirip seperti penampilan Jlo di film Boy the next door. Dewasa dan sexy.

"Apa kau akan tetap berdiri disana sampai kelas selsai?"

"Eh? Tidak." Tersadar dari lamunan aku bergegas mencari kursi kosong. Duduk di dekat seorang mahasiswi pekerja kantoran yang langsung berbisik di telingaku.

"Dia putrinya Prof. Patra, dan mulai sekarang dia yang akan gantiin bapaknya."

Hah?

"Dia yang akan ngajar kita?"

Aku dijawab anggukan lemah oleh perempuan bernama Clarisa itu. Kemudian kami memperhatikan kuliah yang kembali dimulai oleh dosen baru kami. Wanita yang tidak ku tahu namanya.

Satu jam penuh dengan semangat membahas kewirausahaan sosial, kelas di akhiri dengan salam hangat oleh perempuan mirip Jenifer lopez tersebut. Semua kami tampak menyukai cara mengajarnya. Dia penuh dengan semangat dan juga pemikiran-pemikiran cerdas tentang wirausaha yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

"Aku Khansa." Sebuah tangan tiba-tiba terulur di depan wajahku. Membuatku mendongak dan mendapati dosen baru kami sedang mengajakku berkenalan.

"Ishita," jawabku menyambut uluran tangannya. Ku lihat sekeliling, ternyata kelas sudah kosong.

"Ishita Zahra Haliza Wicaksono." Dia menyebut nama lengkap ku beserta embel-embel nama keluarga Rafa. Darimana dia tahu?

"Aku sudah membaca profilmu. Dan aku seperti pernah melihatmu sebelumnya."

Hah? Seingat Ku kami tak saling kenal.

"Aku bercanda." Dia tertawa kecil, membuatku ikut tersenyum yang entah karena apa. Jujur, aku tak terbiasa mengobrol dengan orang asing. Apalagi dengan sikap ibu dosen ini, dia cukup aktif mengeluarkan suara.

"Aku ingin mengajakmu mengopi. Apa kau bisa?" Dan pertanyaan satu ini semakin membuatku kebingungan. Kenapa harus aku? Bukankah jika ingin membahas sedikit, aku termasuk mahasiswi tak disiplin bahkan pada hari pertama kuliahnya?

"Sejujurnya aku akan pulang." Iya, aku harus pulang menemui Rafa. Ini waktu makan siang, dan dijamin dia sudah uring-uringan karena tak mengerti harus makan apa?

Melenguh kecewa, dia tersenyum hambar. "Padahal aku ingin sekali mengobrol denganmu," ujarnya merapikan letak lensa. "Tapi ya sudah, jika kamu harus pulang aku tak bisa memaksa."

Sebentar. Otakku mulai kacau saat ini. Aku adalah mahasiswi baru yang notabenenya belum mengenal para pengajar disini, dan tiba-tiba ada dosen baru yang seakan menawarkan persahabatan, bukankah ini sedikit aneh?

"Maaf." Aku menggigit bibir dan memberikan salam hormat. "Aku sangat menyesal karena harus menolak niat baik, Ibu. "

"Jangan memanggilku Ibu, aku hanya beda tiga tahun denganmu. Panggil Khansa saja, aku lebih suka."

Tersenyum, aku mengangguk. Kemudian memohon undur diri meninggalkan dosen cantik itu. Aku mendapat kejutan dari semalam, yang berhasil membuatku menggelengkan kepala.

Semalam, Rafa yang bersikap romantis sampai tadi pagi. Sekarang dosen baruku yang bersikap sangat bersahabat. Bukankah aku beruntung memiliki orang-orang yang perduli? Meski terbilang sedikit 'aneh'

Memesan taksi online aku dikejutkan dengan nada dering ponsel. Sebuah chat dari Rafa.

Dia mengajakku makan siang? Tumben. Tapi ini tawaran yang cukup bagus. Untuk pertama kali kami menghabiskan waktu di luar. Biasanya hanya di dalam rumah seorang diri, dan sesekali ditemani Rafa.

Menaiki taksi yang ku pesan aku meminta sang sopir untuk mengarahkan kendaraannya ke cafetaria dekat kampus. Setelah sampai, aku mencoba mencari sosok yang seharian ini menghuni hati.

Sebuah siluet dengan senyum mengembang membuatku mengarahkan langkah ke meja dekat jendela. Dia selalu tampak mempesona dengan kemeja dan jeans gelapnya. Apalagi rambut tebalnya yang terlihat agak sedikit berantakan, membuatnya terlihat lebih tampan.

Berdiri, Rafa meraih pinggangku dan mendaratkan satu kecupan di dahi. Membuatku terpekik karena ulahnya yang cukup frontal. Seorang Rafazhar wicaksono paling anti pamer kemesraan di depan umum, tapi detik ini dia melakukan sesuatu yang membuatku hampir jatuh pingsan.

"Apa kamu lapar?" Rafa membawaku duduk pada kursi empuk cafe. Diikuti dengan dia duduk di seberang meja.

Tersenyum, dia menyodorkan seporsi wafel caramel yang cukup menggiurkan. "Kamu butuh yang segar dan manis." Segelas jus mangga dengan cream berdiri di samping piring Wafel.

"Kamu?" tanyaku menatap sisi mejanya yang kosong.

"Aku sudah makan macaron tadi. Sekarang giliran kamu." Kemudian dia menyedot ice capuccino di gelasnya.

Mengangguk, aku menyuapkan potongan wafel ke mulutku. Menikmati rasa manis coklat dan karamel yang meleleh jadi satu. Dia tahu dengan baik seleraku.

"Bagaimana kuliah hari ini?" Rafa meraih garpu yang kupakai untuk menyuapkan potongan wafel.

"Kamu masih lapar?" tanyaku dijawab anggukan cepatnya. Kembali memasukan wafel ke mulutnya yang meninggalkan jejak coklat di sekitar bibir.

Mengusap wajahnya dengan tisu dia menyentuh tanganku. "Aku juga nggak ngerti kelaparan banget dari tadi subuh." Dia meraih jus mangga ku. Kebiasaan yang selalu dia lakukan ketika minum. Meminum apa yang aku minum.

"Mungkin karena semalam?" ujarku membuatnya tersedak kecil, kemudian menatapku dengan sedikit tajam.

"Ini tempat umum Ishi .... " Rafa mengeram kemudian menarik ujung hidungku.

Memang ada yang salah dengan ucapanku? Benar bukan jika bercinta mengakibatkan lelah dan lapar? Rafa Aneh!

"Bukankah seharusnya kamu pulang?"

Terkejut, aku melihat ekspresi tak biasa dari orang yang berdiri di hadapan kami. Membuat Rafa menatap kami secara bergilir, kemudian pegangannya tiba-tiba mengerat di jariku.

Apa yang perempuan ini lakukan di tempat ini?

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!