Anantari terbangun dari tidur pulasnya seharian ini. Badannya yang semula kaku, kini sudah terasa lebih ringan dua kali lipat, suhu badannya juga sudah kembali normal. Sorot matanya tertuju pada jarum jam yang dengan cepatnya sudah menunjukkan pukul enam petang. Ia duduk dengan tegap di kasurnya yang empuk, lalu salah satu tangannya meraih remote pengontrol suhu ruangan untuk menurunkan suhu yang membuatnya sedikit menggigil.
Lelapnya tidur membuat tenggorokan wanita itu terasa kering, ia pun mengambil segelas air mineral yang sudah disiapkan Mbak Hana jauh sebelum dirinya terbangun. Setelah meneguk segelas air sampai habis, matanya dibuat berbinar ketika melihat buket berisi bunga-bunga yang masih segar dengan keranjang buah yang masih tersegel didalamnya. Wanita itu pun memanggil pegawainya dengan suara yang sedikit lantang dan tanpa menunggu lama Mbak hana yang selalu cekatan sudah berada di hadapannya.
“Ada apa, Bu?” tanya Mbak Hana terengah-engah
“Tadi Margi berkunjung lagi ya?” tanya Anantari memastikan.
“Iya, Bu. Memangnya kenapa?” balas Mbak Hana dengan pertanyaan lagi.
“Gak apa-apa,” ujar wanita tersebut.
Setelah majikannya selesai bertanya, Mbak Hana pun pamit keluar dari kamarnya. Berbeda dengan reaksi saat pertama kali Margi datang mengunjunginya. Kali ini, wajah wanita paruh baya itu tak lagi murung. Hatinya seakan mengatakan terima kasih, karena di saat anak satu-satunya yang ia tahu sedang healing bersama sahabatnya, Margi selaku keponakannya memberikannya perhatian penuh. Tanpa sadar Anantari tersenyum. Namun, dengan cepatnya ia segera menghapus image baik keponakannya itu jauh-jauh. Ia kembali teringat bahwa kematian ayahnya disebabkan oleh adiknya dan sampai saat ini ia harus memegang teguh prinsip awalnya untuk membenci adik beserta keluarga kecilnya.
“Paling ini hanya akal-akalan Indira saja untuk mengambil empatiku kembali,” gumam wanita paruhbaya itu sambil membuang buket bunga pemberian ponakannya itu yang ia genggam.
... ***...
“Haduh, kenapa gak bilang dari awal sih kalau tujuan kalian ke Bloom untuk pergi ke Museum Stone? Kan kalau aku tahu dari awal bisa kuantar pagi ini,” omel Rui.
“Hehe, maaf ya! Waktu itu aku takut duluan kalau jujur,” balas Genta merasa tidak enak sebab pikiran negatifnya sendiri.
“Memangnya kenapa?” tanya Rui lagi
“Iya, aku takut kalau saat itu langsung to the point kamu malah gak suka sama kita dan ngusir kita di malam itu juga,” ujar Genta memberi penjelasan atas ketakutannya itu.
“Yeeh, lagian sih negatif thinking,” ledek Rui.
Ketiganya pun akhirnya melanjutkan perjalanan mereka untuk sampai ke rumah sebelum bulan benar-benar muncul. Sambil saling bercerita waktu terasa singkat berlalu dan tak terasa mereka sudah tiba di depan pintu penginapan.
“Istirahat ya, besok pagi aku akan mengantar kalian ke Museum Stone,” ucap Rui sambil melangkah masuk ke rumahnya yang tidak jauh dari penginapan yang di sewa Genta dan Tera. Mereka pun masuk ke tempat yang mereka tinggali masing-masing.
Malam itu saking bersemangatnya Genta dan Tera tidak bisa tidur dengan nyenyak. Mereka berandai-andai jika penawar rahasia itu mereka temukan, mereka bisa dengan mudah menghilangkan ketakutan yang mereka punya dan menggapai mimpi mereka dengan mudahnya. Mereka sudah tidak sabar dengan kunjungannya besok, ke sebuah museum kuno sederhana yang menyimpan begitu banyak sejarah seni didalamnya, begitulah yang mereka berdua bayangkan tentang Museum Stone yang belum pernah sama sekali mereka kunjungi.
...***...
Berbeda dengan kemarin, pagi ini langit terlihat mendung, meski begitu hal itu tidak sedikitpun mengubur semangat Genta dan Tera untuk pergi ke Museum Stone bersama Rui.
“Wih, udah siap aja nih,” ledek Rui dari depan pintu rumahnya.
Genta dan Tera hanya tersenyum, lalu Rui yang sudah rapi dengan midi dress hitam yang dipadukan dengan kets berwarna putih gading menghampiri mereka berdua. Dengan jepit rambut kecil berbentuk bunga yang ia pakai di pelipisnya, membuat gadis itu terlihat cantik sempurna.
“Kita berangkat sekarang?” tawar Tera yang bertugas sebagai pengemudi sedan hitam milik Genta hari ini.
“Yuk!” balas Genta dan Rui kompak.
Ketiganya pun dengan riang memasuki sedan yang akan membawa mereka ke tempat tujuan dengan selamat. Rui yang sudah terlanjur duduk di belakang, meminta izin kepada Genta untuk menukar posisi duduk mereka berdua. Karena ia adalah satu-satunya orang yang mengetahui jalan, Rui duduk di samping Tera sebagai pemandu jalan yang akan membimbing Tera menuju Museum. Perjalanan yang mereka lalui terasa sangat singkat sebab dataran distrik yang tidak terlalu luas. Dalam waktu kurang dari satu jam, Tera sudah bisa memarkirkan mobil yang ia kendarai tepat di parkiran museum yang akan mereka bertiga kunjungi.
“Eh, secepat ini?” celetuk Genta yang belum saja beristirahat didalam mobil karena terus-terusan terpaku dengan keindahan alam di Bloom.
Saat menginjakkan langkah pertama di lobi Museum Stone, Genta dan Tera tidak henti-hentinya memuji kemewahan desain museum itu. Meski disebut-sebut sebagai museum kuno, tampaknya isi bangunan berwarna putih itu dijaga bak permata yang sangat berharga.
“Ini benar-benar diluar ekspektasiku, Rui,” puji Genta sangat kagum sambil menatapi seluruh sudut luar bangunan dalam-dalam.
Tidak ingin membuat langkah kaki teman-temannya hanya terhenti di lobi dan memupuk rasa penasaran mereka berdua, Rui pun mengajak mereka untuk masuk ke dalam museum itu. Namun, belum saja mereka melangkahkan kakinya, tiba-tiba seorang pria dengan tubuh ramping dan wajah yang menarik mengejutkan mereka.
"Selamat datang di Museum Stone!" sapanya lantang. "Sebentar tampaknya kalian berdua terlihat asing, apa yang sebenarnya kalian cari?" tanya pria dengan tampilan nyentrik di hadapan mereka itu.
“Lho, bagaimana dia tahu,” kata Genta dalam hati.
"Hmmm, aku mencari penawar rahasia," bisik Genta memilih jujur meski dengan suara yang sedikit bergetar karena takut.
"Aah baiklah, tidak perlu memasang tampang menjijikan itu, kalian akan kuantar,” ucap pria itu dengan wajah yang berada hanya satu jengkal di hadapan Tera.
“Terima kasih,” balas Genta yang sudah tak sabar memasuki ruangan indah di dalam museum itu. Kakinya sudah hampir menginjak satu langkah, tapi dengan sikapnya pria berjas merah itu menahannya.
“Sebentar, jangan terburu-buru anak muda, aku belum memberitahumu apa syaratnya kan,” tangkasnya sambil menaikan sebelah alisnya dengan licik.
“Syarat?” timpal Tera sambil mengerutkan dahi seakan tidak terima dengan keputusan pria itu.
“Ya. Aku tahu gadis ini adalah penduduk asli Bloom. Maka dari itu, jika kalian menginginkan penawar rahasia, kalian harus berusaha mendapatkannya dengan usaha sendiri tanpa campur tangan penduduk Bloom,” jelas pria itu. “Bagaimana? Apa kalian bisa menyepakati peraturan itu?” sambungnya. Kali ini, tubuh pria yang tidak bisa diam itu, merangkul Genta dan Tera dari tengah. Tak ketinggalan, senyumnya yang sinis turut megembang setelah memberikan pilihan yang sulit kepada kedua pemuda pendatang itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments