Chapter 5: Pergi

Genta dan Tera langsung meluncur ke supermarket hari itu juga untuk membeli segala keperluan yang akan menemani mereka selama perjalanan yang sudah mereka rencanakan itu berlangsung.

"Mulai dari mana,nih?" tanya Tera bingung saat sedang menarik satu troli dari deretan troli-troli lain yang ada di hadapannya.

"Makanan," balas Genta penuh semangat.

Tera mengacungkan dua jempol, lalu berjalan mendahului Genta ke arah rak supermarket yang dipenuhi berbagai macam makanan ringan dan siap saji. Mereka memasukkan hampir semua jenis makanan itu ke dalam troli dengan asal.

"Selanjutnya," ucap Tera dengan lantang sampai-sampai beberapa orang di sekitarnya menatap mereka berdua dengan tatapan bingung.

"Peralatan mandi," jawab Genta yang masih bersemangat, walaupun terdengar satu level lebih turun dari nada bicara sebelumnya.

Tera mendorong troli yang kini sebagiannya didominasi oleh makanan dan melangkah menuju ke rak peralatan mandi seperti apa yang dikatakan oleh Genta. Kali ini, barang yang mereka masukkan hanya seperlunya, tidak sebanyak ketika memasukkan makanan.

"Selaan–" Belum selesai Tera mengatakan kata tersebut keras-keras. Jari telunjuk Genta tiba-tiba mendarat di bibirnya.

"Sstt! Berisik tau! Gue malu!" bentaknya sedikit berbisik dengan ekpresi wajah yang panik dan pipinya yang memerah seperti ubi ungu yang dikukus karena tidak tahan dengan tatapan orang yang mulai mengarah pada mereka berdua.

Melihat wajah konyol temannya tersebut Tera tertawa puas, menghadirkan setitik air mata yang mengembang pada kedua sudut matanya. Pasalnya ia sangat mengerti bahwa Genta tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi di tengah keramaian orang-orang yang tak dikenalnya. "Satu kosong," ledek Tera yang melanjutkan langkahnya mencari keperluan lain yang akan dibeli.

Setelah semua keperluan terkumpul di dalam troli yang Tera bawa, pandangan matanya kini teralihkan dengan rak alat gambar yang terpajang dari seberang tempatnya berdiri. Tanpa berpikir lama, ia pun mendekati rak tersebut. Awalnya ia hanya mengambil satu pena yang ia butuhkan, tetapi setelah melihatnya lagi Tera malah memborong peralatan itu.

Genta yang tertinggal melihat samar-samar kelakuan temannya itu dari kejauhan, lalu menghampirinya.

"Apa gak kebanyakan, tuh?" tegur Genta yang ternyata berhasil memberikan efek kejut kepada Tera. Melihat reaksi kaget temannya itu membuat Genta terbahak-bahak. Sudah lama ia tidak melihat Tera yang tampangnya cool itu terkejut setelah sekian lama tak berjumpa.

"Hehe, satu sama," ledek Genta puas membalas perlakuan Tera sebelumnya.

Setelah berjam-jam membeli keperluan untuk pergi besok, tak terasa langit sudah berubah menjadi gelap. Sebelum memutuskan untuk pulang, Tera mengajak Genta untuk makan terlebih dulu di sebuah rumah makan seafood favoritnya yang tidak jauh dari supermarket tersebut.

"Baru kali ini lagi, nih, setelah dua tahun lulus sekolah gue bisa ketawa puas banget," ujar Tera sambil menunggu hidangan pesanannya datang. "Thank you, lho, udah tiba-tiba main ke rumah," sambungnya.

"Yeeeh, harusnya gue yang makasih tau, dah di izinin main," balas Genta memamerkan jajaran giginya yang bersih.

Keduanya pun saling memalingkan wajah, jijik sendiri dengan apa yang baru saja mereka katakan. Hari itu, waktu terasa berlalu begitu cepat. Sama seperti saat masih aktif di kelas seni rupa waktu SMA dulu. Bertemu kembali dengan sahabat membuat hari mereka kembali memancarkan warna.

***

Malam itu Genta tidak pulang ke rumah. Ia menginap di kamar tamu yang berhadapan langsung dengan kamar Tera. Kebetulan dalam sepekan kedua orang Tera tidak pulang karena ada urusan bisnis mendadak yang mengharuskan mereka tetap tinggal di hotel dekat perusahaannya. Kondisi rumah aman terkendali dan rencana yang sudah mereka rangkai sejak kemarin tidak terganggu.

Sebelum matahari memunculkan diri, mereka berdua sudah sibuk mengemasi barang-barang yang akan dibawa. Genta yang sudah lebih dulu selesai mengemasi barang miliknya yang lebih sedikit bertugas mendata barang-barang yang sudah siap diangkut ke dalam mobil. Setelah hampir dua jam berlalu, mereka akhirnya selesai dan siap untuk pergi ke distrik tempat paman Tera tinggal.

"Oh, iya omong-omong, peralatan itu jadinya gimana?" tanya Genta menunjuk tumpukan totebag yang berisi alat lukis yang sebelumnya ia beli sebelum datang ke rumah Tera dan sekantong besar paperbag berisi peralatan gambar yang dengan khilaf dibeli Tera saat belanja kemarin.

"Aah, iya juga," jawab Tera yang baru ingat "Gimana kalau sekalian kita bawa aja, Gen? terus sekalian kita mewujudkan mimpi di sana!" sambungnya menggebu-gebu.

Genta megangguk, mengiyakan saran temannya tersebut. Lalu, mereka pun saling memasukan barang-barang yang tertinggal tadi ke dalam mobil.

"Huuft, capek juga ya," ujar Genta sambil menyeka keringat yang bercucuran dengan deras di dahinya. Lalu, meneguk air mineral dingin dari botol yang ia genggam sampai habis saking harusnya.

"Ini bukan mimpi kan, Gen?" tanya Tera sambil memandangi sedan hitam milik Genta yang sudah dipenuhi banyak muatan itu.

"Bukan, kok," balas Genta bersemangat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya antusias, tetapi berbeda dengan nada bicaranya yang energik, raut wajahnya seketika malah layu seperti tanaman yang tidak disirami. "Rencana kita ini bakal berhasil ga ya, Ter. Gimana kalau penduduk di sana ternyata gak menerima kedatangan kita atau bahkan lebih parah lagi?" sambungnya pesimis.

Tera menghela napas panjang, "kalau hal itu nanti terjadi, satu-satunya cara yang bisa kita lakuin cuma inget sama rencana awal untuk mulai membangun apa yang kita impikan, Gen. Gak ada cara lain," tegasnya. Kemudian mereka berangkat dengan mobil yang dikemudikan oleh Genta.

Sesampainya di ujung distrik, banyak sekali pria berbadan kekar dan gagah dengan kemeja hitam yang mereka kenakan tengah berdiri tegak menjaga perbatasan distrik Barren yang akan mereka lewati itu. Sebelumnya Genta dan Tera tidak mengetahui akan hal ini, sebab ini adalah kali pertama bagi mereka bepergian jauh melintasi perbatasan distrik. Salah satu dari mereka berjalan mendekat ke arah sedan hitam kesayangan Genta dan mengetuk kaca jendelanya, isyarat agar pengemudi menurunkan kaca tersebut. Genta yang panik segera mengikuti instruksi dari pria besar nan gagah itu dengan dasi birunya yang membedakan ia dari pria lain yang berdiri di sana.

"Kalian sudah memiliki izin pergi?" tanya pria yang sepertinya pemimpin penjaga perbatasan itu dengan tegas.

Genta dan Tera yang tidak tahu apa-apa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan polos. Kemudian pak ketua itu mengantar mereka ke kantor perizinan yang letaknya tidak jauh dari perbatasan distrik. Pak ketua, menyuruh mereka duduk terlebih dahulu di ruang tunggu bersama beberapa orang lainnya yang juga sedang mengurus perizinan keluar lalu ia pergi meninggalkan mereka berdua di sana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!