Kecepatan speedometer yang ada di hadapan Genta terus bergeser ke arah kanan seiring ritme dalam degupan jantungnya bertambah. Otot-otot kecil pada punggung tangannya menjadi terlihat dengan jelas ketika seluruh jemarinya mencengkram erat lingkaran empat spoke yang memiliki jari-jari simetris sebagai pengubah arah pergerakan transportasi roda empat pribadi yang sedang ia kendarai. Bagai menerka keberadaan jiwa dalam setiap insan, suasana kalbunya masih tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Saat ini yang ia rasakan hanyalah luapan emosi yang sudah tidak dapat dibendung dengan apa pun lagi.
Sesekali salah satu tangannya menghentak-hentakan pengendali arah mobil itu dengan keras bergantian dengan punggungnya yang sengaja ia benturkan kasar ke bantalan empuk yang berada tepat di belakangnya sebagai tempat ia duduk untuk mengemudi. Tidak hanya itu, rambut yang sudah tertata dengan sempurna pagi ini turut menjadi sasaran dari kemarahannya. Tangannya dengan cepat mengacak-ngacak rambut hitam berkilau di kepalanya dengan brutal sambil sedikit menarik-narik segenggam rambutnya yang berhasil ia raih dengan perlahan.
Bukannya mereda, justru emosi yang sedang mendekap erat kalbunya itu semakin bertambah seolah tidak ingin buru-buru pergi begitu saja dari sisinya.
Dalam tempat kecil yang sangat kedap Genta dengan sadar membuka mulutnya lebar-lebar diikuti dengan suara lantang yang keluar dari pita suaranya yang bergetar, ia melepaskan semua emosi yang ia pendam selama ini sampai-sampai yang terlihat dengan jelas dari lehernya hanya garis-garis kecil berwarna biru sedikit kehijauan yang menonjol. "Aaargh! Kenapa, sih?" raungnya tak tertahan.
Sejak Genta masih duduk di Sekolah Dasar, kedua orangtuanya memang selalu mendorongnya untuk berkecimpung di dunia fashion dan tata busana. Baik itu menjadi peraga busana dari hasil busana-busana yang diproduksi oleh perusahaan keluarganya maupun belajar tentang bagaimana busana yang sempurna itu bisa tercipta. Mulai dari cara memilih kain-kain yang berkualitas, warna, pola dan lain sebagainya. Bahkan ibu Genta juga pernah sangat bersemangat memasukan putra semata wayangnya itu untuk ikut kelas menjahit saat baru saja naik ke SMP.
Genta sempat menuruti perintah ibunya untuk ikut kelas menjahit itu dengan dijanjikan akan dibelikan hadiah berupa tablet baru. Namun, baru saja kelas menjahitnya berjalan selama tiga pekan Genta merengek minta keluar sebab saat itu kelas menjahit didominasi oleh murid perempuan seusianya. Ia hanya satu-satunya murid laki-laki di kelas itu sehingga membuat dirinya tidak betah berada lama-lama di sana.
Dari banyaknya cara orang tua Genta mengenalkan dunia fesyen dan tata busana kepadanya agar ia tertarik meneruskan bisnis keluarga, sayangnya semua yang dilakukan oleh mereka hanyalah sia-sia. Meskipun sesekali ia masih menerima tawaran untuk menjadi peraga busana di perusahaan keluarganya dengan terpaksa, tapi ia menolak keras jika harus ditunjuk menjadi penerus bisnis tersebut. Genta selalu mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa ia punya jalan sendiri untuk bisa berhasil tanpa harus menjadi penerus bisnis fesyen keluarganya yang cukup ternama di distrik Barren. Yang paling penting jalan yang akan diperjuangkan Genta harus sesuai dengan passionnya bukan hanya sekadar tuntutan orang tua dan segenap keluarga besar.
Setelah menjauh entah kemana dari lingkungan rumahnya, Genta akhirnya menghentikan laju mobilnya pada satu toko peralatan tulis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Toko itu terlihat sedikit kuno dan usang tetapi tidak dengan stok barang yang terpajang dengan rapi di dalamnya. Di sana, tidak satu pun pemandangan yang ia lihat terasa familier. Tempat baru yang begitu asing membuat pandangan matanya yang berwarna hitam legam mengamati dalam-dalam beberapa objek yang ada dari balik benda transparan yang membatasi pandangannya dengan apa yang ia lihat di seberang sana.
Kemudian pandangannya terfokus pada suatu titik, dimana terdapat dua anak kecil yang usianya sekitar 12 tahun sedang sibuk berbelanja di sana. Raut wajah kedua anak itu sangat riang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi sesekali gelak tawa mereka terdengar menembus kaca jendela mobil milik Genta. Tanpa sadar hal itu mengundang Genta memunculkan senyuman tipis di wajahnya. Kedua anak itu mengingatkan dirinya akan seorang sosok penting yang begitu berharga dalam hidupnya.
Karena penasaran dengan toko yang ia lihat. Ia pun memutuskan untuk memarkirkan sedan hitamnya tepat di depan toko alat tulis tersebut dan keluar dari kendaraan kesayangannya. Sepasang kaki jenjang Genta membuat langkahnya menjadi lebih cepat untuk sampai di pintu masuk toko minimalis berukuran 5x5.
"Selamat datang!" sambut seorang wanita yang berdiri di kasir sambil melemparkan senyum tipisnya pada Genta.
Genta membalas dengan menundukkan kepalanya sejenak, lalu kedua matanya langsung dimanjakan dengan berbagai jenis peralatan tulis yang tertata rapi di rak-rak yang ada di sana. Mulai dari bolpoin, pensil, penghapus, penggaris, rautan dan masih banyak lagi, semua brand alat tulis berkumpul menjadi satu di toko alat tulis ini. Tidak hanya itu, di salah satu sudut toko terdapat satu rak berisi peralatan-peralatan lukis yang selama ini ia perlukan. Tanpa melihat harga yang melabeli barang-barang itu, Genta mengambil satu per satu jenis kuas, cat akrilik dan kanvas yang ia perlukan lalu memasukkannya ke keranjang yang baru saja ia ambil dari sisi kanan kasir.
Belum puas dengan barang-barang yang sudah dimasukan kedalam keranjang plastik berwarna hijau yang ia jinjing, Genta mendekat ke sebuah rak yang berisi kertas gambar dengan ragam ketebalannya. Ia pun terdiam dan memandangi satu persatu kertas-kertas itu. Ingatannya lagi-lagi kembali pada suatu masa ketika tawanya mengembang begitu cerah. Ditemani dengan berbagai alat lukis dan pena-pena berwarna hitam dengan bentuk dan fungsi yang berbeda-beda. Entah sudah berapa lama, perasaan bahagia itu belum lagi ia rasakan.
"Sial, ternyata tidak mudah hidup tanpa bayang-bayang masa lalu," gumam Genta yang tanpa sengaja tangannya memasukan kertas gambar itu ke dalam keranjang belanjanya.
Genta pun melangkah ke kasir untuk membayar barang-barang yang ia beli. Emosinya memang sudah lenyap entah kemana sejak melihat kedua anak kecil yang keluar dari toko alat tulis itu, tetapi kini perasaannya malah tergantikan dengan kesedihan. Genta membuang napasnya dengan kasar setelah keluar dari toko. Berbelanja tidak membuat hatinya merasa lebih baik.
"Apa lagi yang harus kulakukan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Nuha Saputro
bagus sekali
2023-11-04
1