“Semua barang sudah masuk, Ter?”
Tera mengacungkan kedua jempolnya tinggi-tinggi, meyakinkan Genta bahwa semua barang yang ingin mereka bawa sudah lengkap tidak satu pun ada yang tertinggal.
“Kalian yakin akan pergi ke sana?” tanya Paman Tomi khawatir, karena berbeda dengan kedatangan mereka di distrik Barrier yang ingin berkunjung ke rumah orang yang mereka kenal, di Bloom tidak ada satu pun anggota keluarga yang tinggal di sana.
Genta dan Tera mengangguk kompak dengan sangat yakin, setelah tiga hari berturut-turut dibuat tidak tenang dengan keputusan kepergiannya hari ini.
“Paman tidak perlu khawatir, sebab kami sudah memikirkan semua ini dengan matang selama tiga hari berturut-turut,” ujar Genta sambil mengelus punggung Paman Tomi agar merasa tenang.
“Apa Paman juga ingin ikut, agar tidak kesepian di rumah?” tanya Tera mengkhawatirkan pamannya yang hanya tinggal seorang diri di rumah sebesar itu.
Paman Tomi menggeleng. “Tidak perlu, masih ada banyak urusan yang tidak bisa Paman tinggalkan begitu saja.”
“Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu ya, Paman,” ucap Genta sambil berjalan ke arah sedan hitamya yang mesinnya sudah menyala.
Paman Tomi menghentikan langkah Tera di belakang tubuh besar Genta yang kini sudah naik ke mobil, lalu ia memberikan secarik alamat yang mengarah ke Distrik Bloom yang akan mereka tuju. “Ini pegang, Paman sudah lama menyimpannya, hati-hati ya!”
“Iya, Paman, terima kasih. Oh iya, ada sesuatu yang mau Paman titip tidak selama kami pergi ke Bloom?” tanya Tera lembut.
“Apa ya? Oh iya, ada satu titipan Paman sih, jika nanti kalian sudah berhasil menemukan penawar itu, bawalah ke mari, dan jangan diminum terlebih dahulu, ya,” pinta Paman Tomi.
Tera yang tidak menanyakan hal itu lebih jauh hanya mengiyakan, lalu ia berjalan cepat mendekati mobil yang sudah ada Genta yang menunggunya di dalam. Mereka pun melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan Paman Tomi yang masih berdiri di depan pagar rumahnya.
...***...
Seorang pemuda dengan kemeja rapi berwarna silver menekan bel kediaman putri pertama keluarga Sadana sambil menjinjing sekeranjang buah-buahan segar dan sebuket bunga yang indah. Tidak lama seorang pelayan perempuan membukakan pintu besar itu dan mempersilakan pemuda itu untuk masuk.
“Mas Margi,” sapa Mbak Hana dengan riang.
“Apa tante ada di dalam, Mbak?” tanya pemuda itu dengan raut wajah yang khawatir bukan main.
“Ada, Mas, di dalam,” jawabnya ramah.
“Boleh saya mengunjunginya ke kamar?”
Mbak Hana mengangguk. Lalu, dengan cekatan mengantar pemuda itu ke dalam kamar Anantari yang sedang terbaring tak berdaya. Wajah pemuda itu berubah dua kali lebih khawatir dan sedih setelah melihat wajah wanita yang ia hormati setelah ibunya menirus dan pucat.
“Kenapa tante gak dilarikan ke rumah sakit aja, Mbak?” tanyanya sambil meletakan keranjang buah dan sebuket bunga yang ia bawa di atas meja yang berada di samping ranjang milik tantenya.
“Susah Mas, saya sudah bujuk beberapa kali tapi ibu malah menolak terus,” keluh Mbak Hana yang sudah kehabisan cara untuk membawa majikannya ke rumah sakit agar dirawat.
“Kak Genta sudah tahu?”
Mbak Hana menggelengkan kepalanya sambil menunduk. Setelah percakapan itu berakhir, tiba-tiba saja Anantari terbangun dari tidurnya. Dirinya dibuat emosi dengan kehadiran orang yang juga ia benci selain adiknya setelah kepergian ayahnya 10 tahun yang lalu.
“Mau apa kamu di sini?” erangnya sambil mengerutkan dahi.
“Tante sudah bangun, Margi cuma ingin jenguk Tante, Margi khawatir,” terang pemuda itu dengan raut wajah yang sudah gembira melihat kakak dari ibunya sudah bangun.
“Gak usah sok baik ya kamu! Pasti ibumu kan yang suruh, bilang saja sama dia, apa gak puas dengan mencelakai kakek? Sekarang masih mau mencelakai saya?” bentak Anantari.
“Tante, semua itu cuma salah paham, Mamah tidak salah,” ucap Margi tak terima.
“Sudah, pergi sana, saya tidak mau dengar omong kosong kamu!”
“Sudah, Mas, lebih baik kita keluar dulu biar Ibu tenang,” bisik Mbak Hana sambil mengantar Margi ke luar dari ruangan yang hawanya berubah menjadi panas itu meski terpasang pendingin suhu ruangan.
Margi pun menuruti perintah asisten terpercaya kakak sepupunya itu.
“Kenapa ya Mbak, tante masih mikir kalau semua kejadian itu bersumber dari Mamah, padahal kan Mamah sudah berusaha sebaik mungkin untuk merawat Kakek, tapi malah percaya begitu aja sama bukti palsu yang dia liat. Jahat banget orang yang udah bikin hubungan kakak beradik tante dan Mamah jadi hancur kayak gini,” keluh Margi memelas.
Sepuluh tahun yang lalu, Anantari memang menitipkan ayahnya yang sudah sakit-sakitan itu ke Indira, adik satu-satunya yang ia punya. Dikarenakan jadwalnya yang padat untuk mengurus bisnis fesyen keluarga Sadana, membuatnya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk merawat ayahnya itu.
Ibunya yang sudah meninggal, membuatnya berpikir daripada menitipkan ayahnya ke pegawai-pegawainya untuk dirawat, lebih baik menitipkannya ke orang terpercaya yang masih memiliki hubungan darah.
Indira yang memegang divisi lebih ringan di perusahaan fesyen Sadana, mengiyakan tawaran kakaknya itu. Ia mengambil cuti selama kakaknya belum bisa pulang ke rumah karena jadwalnya yang sangat padat bertemu dengan banyak klien dari berbagai penjuru dunia. Namun, setelah merawat ayahnya selama tiga hari, Indira dihadapkan dengan situasi yang tidak mengenakan, tiba-tiba ayahnya pingsan tidak sadarkan diri. Ketika ia menekan dada ayahnya pelan untuk memberikan pertolongan pertama, seseorang mengedit rekaman CCTV, mengubahnya seakan-akan Indira menyekap ayahnya yang sudah tak berdaya itu.
Setelah tidak mendapatkan respon apa-apa, Indira panik dan langsung memanggilkan pegawainya satu per satu untuk segera membawa ayahnya ke rumah sakit untuk diperiksa. Sayangnya, takdir berkata lain, ayahnya harus menutup usia sebab penyakit yang sudah sejak lama menyerangnya itu. Karena, tidak ingin mengganggu konsentrasi kakaknya, Indira tidak memberi kabar apa pun dan langsung mengambil tindakan untuk mengubur ayahnya dengan cepat.
Setelah Anantari selesai dengan semua pekerjaan, ia memutuskan untuk pulang dengan perasaan yang sangat bahagia karena bisa bertemu dengan ayahnya kembali. Berbeda dengan ekspektasinya yang indah, ia malah dikejutkan dengan kabar kematian ayahnya. Indira meminta maaf sebesar-besarnya kepada kakaknya itu atas keputusannya untuk mengubur ayahnya lebih cepat. Awalnya dengan hati yang sangat berat, Anantari telah menerimanya lapang dada dan berusaha mengerti dengan keputusan adiknya itu.
Namun sayangnya, hubungan saudari yang baik-baik saja itu harus terpecah belah setelah seseorang tak di kenal mengirimkan sebuah rekaman CCTV palsu yang memperlihatkan bahwa kematian itu disebabkan oleh adiknya sendiri. Hatinya menjadi kacau, sejak saat itu ia membenci adiknya sendiri beserta keluarganya.
“Yang sabar ya, Mas, kalau sudah dendam memang susah untuk diluruskan,” ucap Mbak Hana berusaha menenangkan hati Margi yang sedih sambil menepuk pundaknya yang sudah layu. Setelah itu, Margi pun berpamitan dengan Mbak Hana dan pergi meninggalkan rumah milik tantenya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments