Chapter 1 : Kenapa?

 Jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, tetapi jemari Genta masih sibuk dengan kuas lukis yang sedari tadi menari-nari dengan lincah di atas sebuah canvas besar di hadapannya. Sesekali ia mendekatkan pandangannya untuk memberi detail-detail kecil pada objek yang sedang ia lukis. Suasana malam yang hening menambah konsentrasinya terhadap aktivitasnya itu. Tanpa sadar bulir-bulir air  di dahinya jatuh bergantian, membasahi wajahnya yang rupawan. Sesekali ia mengusap keringat itu dengan handuk kecil yang menggantung di lehernya.

 Setelah menambahkan tanda tangan dan tanggal pada lukisan yang sudah sempurna, Genta menggeser bangku yang didudukinya itu sedikit ke belakang. Ia memiringkan kepalanya condong ke kanan, kedua bola matanya yang berwarna hitam legam menjadi berbinar setelah menatapi hasil dari setiap goresan kuas yang ia buat. “Wow,” gumamnya sambil membuang napas dengan kasar. Bibirnya kini mengembang membentuk bulan sabit, membuat dimple yang terletak di kanan dan kiri pipinya terlihat dengan jelas.

Beberapa menit berlalu ia memandangi hasil lukisan itu, wajah Genta tiba-tiba saja berubah 180 derajat. Senyum manis yang tadi sempat mekar kini kembali layu, wajahnya kembali datar seperti hari-hari biasanya. Kenikmatan dalam hatinya sudah berakhir setelah membayangkan begitu banyak reaksi sinis orang-orang di sekitarnya, disusul dengan degupan jantungnya yang berdetak lebih cepat daripada biasanya.

Genta pun berdiri dari tempat duduknya, ia membalikan kanvas yang ada di hadapannya sehingga hanya katun polos dan kayu-kayu penyangganya saja yang dapat terlihat. Ia dengan segera menyimpan kanvas itu di dalam lemari bersama beberapa tumpukan kanvas lainnya. Setelah itu ia mengembalikan semua perlengkapan lukisnya ke tempat semula. Entah sudah keberapa kali ia merasakan hal yang tidak mengenakan hatinya seperti ini. Pikirannya terus dihantui dengan bayang-bayang masa lalu yang pernah menimpanya.

Berpasang-pasang mata menatapnya sinis sambil tidak henti-hentinya mencibir. Memorinya saat SMP itu dulu selalu saja terlintas di benaknya ketika ia baru saja menyelesaikan karyanya yang akhir-akhir ini menjadi semakin sering  terlintas di ingatannya. Sebuah memori singkat yang memakan habis rasa percaya dirinya  sampai saat ini untuk kembali menunjukkan hasil dari karya lukisnya tersebut. 

Genta membaringkan tubuh besarnya yang lelah ke atas kasur. Pandangannya kini menjadi kosong. Entah sampai kapan ia akan terus terjebak dalam perasaan sedihnya itu. Perlahan kedua kelopak matanya mulai tertutup, ia lelap dalam tidurnya.

...***...

Genta meneguk segelas air mineral yang sudah tersedia sejak malam di atas meja belajarnya. Jiwanya belum sepenuhnya terkumpul. Kedua matanya juga  masih lengket menahan rasa kantuk karena tidur terlalu larut. Seperti rutinitas yang ia lakukan di hari-hari biasanya, ia membuka jendela lebar-lebar agar udara di kamarnya itu saling bertukar dengan sejuknya udara pagi dari luar ruangan. Dengan tubuh yang masih lesu diliriknya jam yang menggantung di salah satu sisi dinding kamarnya. Sontak kedua pupil mata Genta membesar diikuti dengan alisnya yang tanpa sadar juga terangkat.

"Aku gak salah liat kan?!" gumam Genta dalam hati sambil beberapa kali mengedipkan sepasang matanya dengan cepat berharap apa yang ia lihat saat ini tidak benar-benar terjadi. Kantuknya seketika menghilang, dengan sigap ia bangkit dari duduknya dan berjalan cepat menuju kamar mandi. 

Sementara itu di ruang makan, keluarga Genta yang hanya beranggotakan ayah dan ibunya itu sudah tak sabar menunggu kedatangan anak semata wayang mereka yang belum juga keluar dari kamar. "Gentaa!!" panggil ibu Genta dengan lantang sembari meletakkan piring besar  berisi nasi goreng yang baru saja diangkat dari teflon. Bersamaan dengan ayah Genta yang juga ikut serta membantu istrinya yang sedari tadi sibuk menyiapkan sarapan dengan membawakan jug berisi susu sapi segar yang kemudian diletakan di atas meja makan. 

"Sebentar, Bu…," sahut pemuda berusia 20 tahun dari dalam kamarnya yang terletak tidak jauh dari ruang makan. Tak lama, Genta keluar dari kamar dengan rapi. Ia mengenakan kaus hitam dilapisi kemeja berwarna putih polos yang kancingnya dibiarkan terbuka serta celana jins hitam yang menambah keserasian penampilannya hari ini. Tidak tertinggal rambut wolfcut-nya juga tertata dengan sempurna. Lalu, ia berjalan tegap menghampiri kedua orang tuanya yang sudah lama menanti di meja makan setelah menutup pintu kamarnya perlahan.

"Maaf, aku terlambat lagi," pinta Genta menundukkan kepalanya untuk mengakui kesalahannya pagi hari ini sambil menarik kursi yang masih kosong di hadapannya untuk duduk. Suaranya terdengar sedikit bergetar, entah karena efek air dingin yang ia gunakan untuk mandi tadi atau karena dirinya yang takut karena sudah merusak mood  kedua orang tuanya di pengawal hari.

"Pasti karena semalam kamu melukis lagi kan?!" jawab ayah  dengan sinis.

"Sudah berapa kali sih Ibu bilang sama kamu Gen, jangan ngabisin waktu tidur  untuk hal-hal yang gak penting kayak gitu, mendingan juga kamu tuh fokus sama pendidikan kamu, gak nurut banget sih anak ini kalo dikasih tau!" sambung ibu Genta menambahi jawaban sinis dari suaminya itu.

"Nah, bener, tuh, yang dikatakan Ibumu. Daripada kamu buang-buang waktu untuk hal yang gak penting, gak ada manfaatnya sama sekali untuk masa depan kamu dan justru malah ganggu waktu belajar dan istirahat kamu mendingan kamu tuh belajar sedikit-sedikit sama ayah gimana caranya mengelola bisnis keluarga kita." 

Genta hanya diam, ia menarik napasnya dalam-dalam guna mengontrol emosinya yang sudah terkumpul sejak lama agar tidak meledak begitu saja di hadapan kedua orang tuanya. Sebab hal ini bukanlah hal yang baru baginya, telinganya seakan ingin lepas ketika lagi-lagi harus mendengar ocehan yang sama saat ia muncul terlambat untuk sarapan.

"Pokoknya mulai besok gak ada lagi yang namanya melukis, Ibu akan suruh orang untuk buang semua barang kamu yang gak berguna itu! Kamu harus jadi penerus bisnis keluarga kita!" nasihat  Ibu dengan serius.

 Genta mengerutkan dahinya tak terima. Selama ini ia juga sudah berjuang sedikit demi sedikit mempelajari caranya mengelola bisnis keluarganya itu sebagai bentuk hormat kepada kedua orang tuanya, meski ia tahu bahwa itu benar-benar di luar passion-nya. Seringkali ia rela meninggalkan hobinya demi menyenangkan hati kedua orang tuanya, tetapi di mata mereka Genta hanyalah anak pemberontak yang gemar menghabiskan waktunya untuk melukis. 

"Tapi kan, Aku gak pernah tertarik untuk itu Bu," dengus Genta menahan nada bicaranya agar tetap stabil.

"Apa susah nya sih untuk nurut?!"  bentak Ayah sambil menggebrak tangan kanannya di atas meja makan. Menghancurkan suasana sarapan yang biasanya berjalan dengan tenang.

Genta berdiri dari duduknya. Matanya memanas, jantungnya juga berdegup tidak stabil, hatinya seolah teriris mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ayahnya itu. Bahkan keluarga yang selama ini ia anggap sebagai rumah tidak pernah mendukung satu-satunya impian yang ia punya.

Genta pun menjauh dari ruang makan. Kakinya melangkah dengan cepat menuju pintu keluar. Beberapa kali kedua orang tua Genta meneriaki namanya untuk segera kembali ke tempat semula, tetapi yang dipanggil tidak menghiraukan suara-suara dari balik tubuhnya yang cukup besar itu. Ia hanya terus berjalan menuju pintu keluar dengan membawa segenap perasaan campur aduk yang sudah tidak dapat dijelaskan.

"Kenapa mereka tidak pernah menghargai usahaku?"

Terpopuler

Comments

Young Nappi

Young Nappi

seangat terus buat Aurhornya, jangan lupa mampir sama like yaa.,🤗

2023-10-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!