Chapter 15: Meditasi

Distrik Bloom adalah sebuah distrik yang didalamnya dipenuhi oleh para penduduk yang memegang teguh keyakinan optimisme. Optimisme sendiri merupakan paham keyakinan atas segala sesuatu yang baik. Penduduk distrik ini percaya bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi dalam menjalani kehidupan di dunia. Mereka memiliki harapan yang baik dalam segala hal yang mereka kerjakan. Apapun yang terjadi nanti pada akhirnya, mereka yakin  pasti ada makna lain yang tersirat di dalam perjalanan itu dan tidak ada kata-kata buruk yang terucap dari lisan mereka untuk dapat menyesali pilihan hidup yang telah terjadi.

Semua penduduk distrik Bloom sangat  sejahtera dengan penuh kesederhanaan. Tidak ada satupun dari mereka yang memasang wajah murung. Bahkan hal itu juga berlaku pada sebagian penduduk yang berada dalam kelas ekonomi terendah sekalipun. Hampir semua dari penduduk yang merupakan tuna wisma, setiap harinya harus merasakan teriknya matahari siang hari dan dinginnya malam di luar rumah, tak jarang mereka juga sering merasa kelaparan. Namun, dengan paham optimisme mereka yang kokoh, mengeluh dan memaki takdir bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan. Karena mereka percaya bahwa semua hal yang pahit itu akan berubah menjadi manis ketika waktunya tiba.

...***...

 Tera mengambilkan segelas air mineral untuk Rui yang sudah menjelaskan panjang lebar bagaimana kehidupan masyarakat di Bloom. Rui yang juga sudah kehausan tidak menolak segelas air yang diberikan oleh penyewa penginapan milik ayahnya itu dan meminumnya perlahan.

“Rui,” panggil Genta yang membuat Rui menoleh ke arahnya, “Bisakah kami belajar tentang keoptimisan itu?” sambungnya.

 Rui membalas, “Tentu saja, mari ikuti aku!”

Sesuai dengan ajakan Rui, mereka berdua mengikuti langkah kecil gadis periang berambut pendek sebahu itu untuk keluar dari penginapan.  Gadis itu membawa mereka ke sebuah tepian sungai dengan rerumputan yang hijau dan segar, udara di sana juga terasa  sejuk membuat mereka tidak mempermasalahkan teriknya mentari di siang hari.

Suara aliran deras sungai berair bening seperti kaca itu memanjakan indera pendengaran mereka yang tanpa sadar  juga memberikan efek relaksasi. Seketika hati mereka menjadi lapang, rasanya yang mereka ingin lakukan hanyalah mengembangkan senyuman dan tawa selebar  mungkin. 

“Waah! Aku belum pernah merasakan ketenangan seperti ini sebelumnya,” ujar Genta sumringah.

“Sekarang, duduklah!” 

Genta dan Tera menuruti perintah gadis yang berdiri membelakangi mereka, lalu tanpa beralaskan apa-apa mereka bertiga duduk di atas rerumputan yang segar itu. Setelah duduk dengan nyaman, Rui tak mengatakan sepatah kata pun dari bibirnya membuat suara kicauan burung yang sedang ramai bernyanyi terdengar dengan samar.

“Terus kita ngapain?” tanya Tera yang tak tau harus apa setelah melihat Rui dan Genta yang sudah memejamkan mata tanpa alasan.

“Ikuti aku, Ter!” ajak Rui dengan mata sedikit mengintip untuk memastikan apakah Tera sudah mengikuti apa yang ia lakukan atau belum.

“Sekarang tariklah napas kalian dalam-dalam dan buang perlahan. Ulangi sampai kalian merasa tenang!”

Genta yang mulai merasa tenang malah hanyut terbawa arus dalam bayang-bayang ingatan masa kecil miliknya yang sebenarnya sudah rusak. Memori itu membawanya pada peristiwa-peristiwa yang membuat dirinya menjadi sosok yang begitu pesimis. Rasa percaya diri yang ia punya lambat laun memudar sebab orang-orang terdekat di keluarganya tidak memberikan dukungan pada sesuatu yang ia minati. Terlebih kepada ibunya yang membuatnya sangat kecewa, padahal dia adalah satu-satunya sosok yang sangat ia percayai  dulu  sebelum akhirnya mengenal Tera di bangku SMA. 

Tidak hanya Genta, hal itu juga berlaku pada Tera. Alih-alih membayangkan hal-hal yang indah selama berteman baik dengan satu-satunya teman sefrekuensi yang ia punya, ingatanya malah kembali pada masa-masa suram yang tidak pernah ingin ia ingat, dimana dirinya hampir setiap hari dibentak habis-habisan oleh ayahnya karena selalu membuat sketsa untuk komik yang akan ia buat. Ayahnya selalu saja memaksanya untuk melakukan hal lain yang bisa menunjangnya untuk dapat bekerja di kantor pemerintahan sebagai pegawai negara.

“Mulai sekarang, buanglah ingatan-ingatan yang menyakiti kalian. Sedalam apapun luka yang pernah kalian terima di masa itu, cobalah untuk dimaafkan! Ubahlah ingatan itu dengan pikiran-pikiran yang positif! Coba ambil sisi positif nya, jika kalian tidak pernah berada dalam posisi seburuk itu, apa mungkin kalian mati-matian berjuang demi tujuan itu?" Suara Rui yang tenang, masuk perlahan ke dalam benak kedua pemuda tersebut.

Setelah beberapa menit berlalu, Genta dan Tera dengan kompak  membuka pejaman mata mereka. Hembusan angin yang cukup kencang melayangkan helaian rambut lebat keduanya. 

"Sekali lagi, aku merasa lega Rui," ucap Genta bangga.

"Apa sekarang rasa pesimis itu masih ada?" tanya Rui sambil menatap kedua teman barunya itu dalam-dalam.

"Aku tidak yakin," ujar Tera dengan wajah yang sedikit khawatir.

"Kenapa,Ter?" Rui kembali bertanya.

"Aku merasa kalau hal ini tidak bisa hilang begitu saja," sambung Tera termenung.

"Menurutku, hal itu terjadi karena kau berpikir demikian, Ter. Cobalah untuk menghindari dulu pikiran seperti itu dan mulailah melakukan hal yang paling kau takuti. Ku rasa setelah kau menjalankannya ketakutan itu tidak seburuk apa yang kau bayangkan," jelas Rui mencoba meyakinkan Tera.

"Tapi bagaimana jika orang-orang diluar sana tidak menerima karya kami?" celetuk Genta yang ikut masuk dalam obrolan Tera dan Rui.

       "Apa perlu hal semacam itu kau pikirkan? Kau tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang berada diluar kendalimu, Gen. Fokus pada tujuanmu saja!" balas Rui yang kali ini ikut terbakar dengan semangat jiwanya yang berapi-api.

            "Apakah semua itu akan berhasil?" 

            "Tentu saja!" jawab Rui sangat yakin.

 Setelah beberapa jam berada di tepian sungai yang asri untuk belajar sedikit tentang keoptimisan, mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah karena hari sudah semakin sore dan matahari akan segera tenggelam menyisakan gelapnya malam. Kali ini, Tera yang memimpin perjalanan itu.

 “Rui!” sahut Tera sambil mengingat-ingat jalan yang ia lalui tadi.

 “Ya,” balas Rui antusias.

 “Pernahkah kamu mendengar sebuah kisah tentang Museum Stone?” sambung Tera melanjutkan ucapannya.

 Genta tidak memberikan komentar apapun, meski begitu wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang bertanya-tanya sendiri dengan benaknya. Apakah tidak masalah menanyakan hal itu sekarang pada Rui yang notabenenya penduduk asli distrik ini. Ia hanya takut jika Rui yang sudah baik kepada mereka ini akan berpikir hal yang tidak-tidak dan akan menjauhi mereka. Sebab, awalnya sudah dimulai dengan pengakuan palsu bahwa mereka pergi ke sini untuk sekadar berlibur tanpa mencari apapun. 

 “Tentu saja, aku kan pribumi,” balas Rui girang dan tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Genta. “Apa kalian juga pernah mendengar kisah itu sebelumnya?” tambah Rui sambil memberikan pandangannya pada Genta yang berada tepat di sisinya.

 “Aku?” tanya Genta salah tingkah sambil menoleh ke kanan dan kiri memastikan bahwa yang ditanya benar-benar dirinya. Melihat reaksi lucu Genta yang bingung membuat Rui mengembangkan senyumnya, diikuti dengan anggukan kepala yang lembut untuk kembali meyakinkan.

Genta membalas senyuman Rui dengan sedikit rona merah di pipinya karena merasa malu. Tanpa sadar kata-kata yang keluar dari lisannya untuk menjawab pertanyaan dari Rui adalah sebuah kejujuran. Lidahnya yang tak bertulang dengan lancar menceritakan hal yang sebenarnya terjadi, mulai dari alasan mereka pergi dan saran Paman Tomi untuk pergi ke Bloom.

   Seketika Rui menghentikan langkahnya dan ekspresi wajahnya berubah dengan singkat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!