Perjalanan dari distrik Barrier ke Bloom rupanya tidak memakan waktu yang begitu banyak seperti perjalanan dari distrik Barren menuju Barrier yang menghabiskan waktu sampai dua hari satu malam. Hanya diperlukan waktu 12 jam untuk mereka bisa sampai di Bloom, itupun sudah termasuk istirahat sejenak di tepi jalan.
Pada pukul tujuh malam mereka sampai di Bloom. Tera yang sudah menggantikan posisi Genta untuk menyetir, menghentikan laju mobil yang ia kendarai tepat di depan gapura bertuliskan ‘Selamat Datang di Distrik Bloom’. Berbeda dengan kedua distrik yang wilayahnya dipagari dengan gerbang-gerbang yang menjulang tinggi, distrik ini justru hanya diberikan penanda perbatasan distrik dan tidak ada seorang pun yang menjaga di sana.
“Sepi banget, Ter. Apa gak apa-apa kalau kita langsung masuk?” tanya Genta ragu-ragu.
Belum saja Tera memberikan keputusan, seseorang dengan perlahan mengetuk jendela kaca mobil dari luar, membuat mereka berdua terkejut bukan main.
Pria separuh baya yang melihat dengan samar ekspresi mereka berdua tertawa terbahak-bahak. “Tenang saja, saya manusia kok,” ucapnya dengan lantang mengingat ruangan mobil kedap suara.
Tera menurunkan kaca jendela dengan tangan yang masih bergidik ketakutan.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria itu dengan ramah.
“Saya dan teman saya ingin pergi ke penginapan di distrik ini, Pak,” jelas Tera.
“Di sini banyak kok, Dik. Mau saya antar ke salah satunya?” tawar pria itu.
Tera dan Genta mengangguk antusias, lalu pria itu dengan sepeda kumbangnya mengantar mereka berdua ke sebuah tempat penginapan. Tera menginjak pedal gas dengan sangat hati-hati agar tidak mendahului pria bersepeda yang sedang menunjukan arah di depannya itu. Pemandangan malam di Bloom mencuri perhatian mereka.
Tidak banyak kendaraan berlalu lalang di jalanan besar distrik ini, semuanya seperti serempak sudah lelap dalam tidur. Sesekali terdengar aliran deras dari sungai yang berada tidak jauh dari jalan besar yang mereka lewati. Kesunyian yang damai ini belum pernah Genta dan Tera temukan di Barren yang padat.
Pria itu menghentikan laju sepeda kumbangnya tepat di sebuah rumah sederhana yang cukup untuk di tempati mereka berdua. Rumah itu dikelilingi dengan ladang hijau nan segar dan sinar rembulan yang terang menambah keindahan malam di Bloom.
“Ini salah satu penginapannya, Dik,” ucap Pria itu setelah Genta dan Tera turun dari mobil. “Bagaimana? Atau mau dicarikan yang lain?” sambungnya.
“Tidak usah repot-repot, Pak, ini sudah sangat cukup untuk kami,” tolak Genta.
“Terima kasih banyak ya, Pak,” tambah Tera.
Pria itu pun pergi meninggalkan mereka berdua di depan penginapan. Tak lama, seorang perempuan yang sepertinya seusia dengan mereka keluar dari samping rumah penginapan itu dan berjalan menghampiri mereka.
“Kalian berdua penduduk baru ya?” tanya gadis itu dengan tatapan lugu.
“Ooh, bukan kok, kami hanya pendatang yang ingin berlibur di distrik ini,” balas Genta tersenyum kaku karena sebenarnya itu bukanlah tujuan mereka datang kemari.
“Baiklah, ini adalah penginapan milik ayahku. Mari kuantar ke dalam!” seru gadis itu tak menghiraukan jawaban dari pemuda asing dihadapannya.
Gadis berambut pendek sebahu itu membuka kunci penginapan sederhana yang akan ditempati Genta dan Tera dalam beberapa malam ke depan. Ia juga memberikan kunci cadangan itu ke Genta.
“Semoga kalian suka ya!” ucap gadis itu.
“Terima kasih banyak ya. Oh iya, kenalkan nama saya Genta Athaya, biasa dipanggil Genta. Kalau ini teman saya namanya Lentera Buana, tapi panggil aja Tera,” balas Genta sambil mengulurkan tangan kanannya kepada gadis itu.
Gadis itu pun membalas uluran tangan Genta sambil memperkenalkan diri juga. “Aku Rui.” Setelah itu ia pulang ke rumahnya yang hanya berjarak lima langkah, lalu Genta dan Tera kembali menurunkan barang bawaan mereka satu per satu dan memasukkannya ke dalam penginapan.
“Wah pas banget Gen, kamarnya ada dua,” seru Tera yang begitu girang.
“Gue yang ini, ya,” pilih Genta sambil berjalan cepat memasuki kamar yang terlihat lebih besar padahal sama saja jika diukur menggunakan satuan ukur.
“Hmm, mulai lagi,” hembus Tera.
...***...
Pagi itu Genta dan Tera bangun lebih awal tidak seperti hari-hari biasanya. Meski dari ruangan yang berbeda keduanya sama-sama membuka pintu jendela lebar-lebar. Seperti rutinitas Genta setiap pagi akhir-akhir ini, ia sudah disibukan dengan peralatan lukis yang tak pernah tertinggal lengkap dengan kanvasnya. Sedangkan, Tera ia juga mulai merancang sketsa dan alur cerita yang akan ia buat selanjutnya. Pagi itu, keduanya sibuk dengan hobi mereka masing-masing.
Setelah beberapa jam berlalu, seseorang dengan tiba-tiba mengetuk pintu penginapan itu. Genta dan Tera yang sudah sama-sama selesai dengan karyanya dan akan merapikan peralatan mereka ke tempat semula menjadi terjeda. Mereka membuka pintu kamar dengan kompak, lalu dengan tatapan bingung mereka berjalan menuju pintu masuk.
Tera membuka pintu perlahan, ternyata sosok dibalik pintu adalah Rui dengan mangkuk sedang berisi sup hangat. “Pagii,” sapanya riang.
“Hufft, kukira siapa,” ujar Tera sambil membuang napas lega.
“Hehe,” Rui terkekeh. “Maaf ya kalau ganggu, ini ada titipan dari ibu aku untuk kalian sarapan,” sambungnya sambil memberikan mangkuk kaca yang sudah penuh dengan isinya kepada Tera.
“Terima kasih, ya Rui,” timpal Genta melemparkan senyumnya dengan kepala yang setengah mengintip dari pintu.
“Pagi-pagi gini, kalian ngapain sih?” tanya Rui penasaran.
Tidak langsung menjawab pertanyaan gadis di hadapannya, Tera malah mengajak Rui untuk masuk ke penginapan itu dan memintanya untuk duduk sejenak di ruang tamu.
“Sebentar ya,” ucapnya.
Genta yang tidak tahu apa-apa, menemani Rui duduk di sofa ruang tamu yang sederhana. Mereka tidak mengatakan sepatah kata pun, keduanya hanya saling menatap dengan tatapan yang canggung. Tidak lama, Tera keluar dengan selembar kertas A4 yang ia genggam dengan erat.
“Taraa,” ucap Tera dengan raut wajah yang gembira sembari menunjukkan coretan-coretan yang ia buat itu di hadapan Rui.
“Waah, bagus banget,” puji Rui dengan mata berbinar setelah melihat wajahnya yang dijadikan sketsa indah oleh Tera.
“Ini untuk kamu Rui.” Tera memberikan secarik kertas itu pada Rui.
“Ada apa nih?” ledek Genta melihat kelakuan temanya yang sedang berbunga-bunga itu.
Tera melemparkan tatapan sinis pada Genta dan dengan cepat memberikan perlindungan untuk dirinya. “Engga ada apa-apa kok, tiba-tiba aja aku inget Rui pas lanjutin komik baru yang akan aku buat.”
Mendengar jawaban itu, Genta berusaha sekuat tenaga menahan tawanya. Sebab antara Rui dan komiknya tidak sama sekali memiliki keterkaitan.
“Kamu komikus?” tanya Rui antusias.
Tera menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menjawab pertanyaan Rui dengan singkat, “Bukan, kok.”
Genta yang gemas dengan cepat meraih tangan Rui dan mengajaknya berlari untuk melihat karya-karya Tera yang ia bawa di kamarnya.
“Eh Gen, lo mo ngapain?” Tera mengikuti mereka dari belakang dengan wajah yang sangat panik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments