Setelah dua hari satu malam berada di perjalanan, Genta dan Tera akhirnya tiba di sebuah gerbang besar yang bertuliskan Distrik Barrier. Berbeda dengan perbatasan Barren yang dijaga ketat oleh banyak petugas dengan tubuh kekar dan jenjang, distrik ini justru hanya dijaga oleh satu petugas yang terlihat sudah sepuh.
Badannya sudah sedikit bungkuk dan rambut-rambut di tubuhnya rata berwarna putih.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya kakek penjaga itu setelah melihat kedua pemuda turun dari sedan hitam yang mereka bawa.
“Saya ingin mencari alamat ini, Kek,” ungkap Tera sembari menunjukkan secarik kertas yang sudah lusuh berisikan alamat rumah pamannya itu.
Kakek itu dengan segera memakai kacamata yang sedari tadi hanya dikalungkan di lehernya, lalu membaca alamat yang diberikan oleh Tera perlahan. “Untuk menuju alamat ini, dari sini kalian lurus saja lalu belok kiri dari pertigaan, ikuti jalan sekitar lima kilometer, di sana baru ada perumahan dari alamat ini,” tunjuk penjaga itu.
“Baik, Kek, kalau begitu, terima kasih,” ucap Tera dan Genta kompak, lalu ia kembali masuk ke dalam mobil.
Tera mengambil alih setir, menggantikan Genta yang sudah sedari pagi mengemudi. Dengan mengingat-ingat apa yang ditunjukkan oleh si kakek penjaga tadi, Tera menginjak pedal gas perlahan agar jalan yang ia tuju tidak terlewati, terlebih ini adalah distrik yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.
Genta menikmati perjalanan yang santai itu, dengan begitu ia jadi memiliki kesempatan untuk melihat dengan jelas suasana distrik Barrier yang tidak terlalu padat seperti distrik Barren. Di distrik ini, mereka masih dapat melihat banyak kebun-kebun tanaman hijau yang segar serta suara burung-burung yang berkicau saling sahut.
Bukan berarti di Barren tidak ada, tetapi karena jumlahnya yang sedikit membuat pemandangan seperti itu menjadi langka. Tak jarang juga pemandangan di Barren hanya sebatas pemandangan buatan yang dirancang oleh para arsitek ternama.
Setelah perjalanan lambat yang tidak memakan waktu sampai satu jam, Tera menginjakan rem tepat di depan pagar rumah besar tingkat dua yang dibalut dengan warna dinding yang serba putih.
Kemudian, keduanya turun dari mobil dan mendekat ke gerbang yang tinggi itu. Genta mengangguk kecil ketika Tera menatapnya untuk membunyikan bel yang berada di belakang pagar, lalu Tera memberanikan diri untuk menekan tombol kecil tersebut.
Tak lama setelah itu, seorang pria paruh baya dengan kacamatanya yang tebal muncul dari dalam rumah, menghampiri kedua pemuda yang berdiri di depan pagar rumahnya.
“Ya?Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria itu dengan ramah.
“Saya ingin mencari Pak Tomi Buana, Pak,” jawab Tera sopan.
“Itu saya sendiri, ada apa ya dan kamu siapa?” tanya pria itu kembali sambil membukakan gerbang tinggi miliknya itu dan mempersilakan Genta dan Tera untuk masuk.
Pertemuan itu memang terasa sangat canggung karena meskipun memiliki hubungan darah yang masih dekat, baik Tera dan paman Tomi belum pernah bertemu sebelumnya.
“Saya Lentera Buana, Pak, putra Pak Aksa,” jawab Tera memperkenalkan diri sambil menunjukkan foto keluarga Buana yang disimpannya di ransel.
“Ohh, kamu anaknya Aksa, sini sini duduk dulu,” ucap paman Tomi mempersilakan mereka berdua untuk duduk di sofa ruang tamunya.
“Kalau ini siapa?” tanya paman itu lagi.
“Saya Genta, Pak, temannya Tera,” balas Genta dengan sangat gugup.
“Ohh, saya kira adiknya,” ujarnya sambil terkekeh.
“Kalian ada perlu apa nih, sampai datang jauh-jauh dari Barren, gak sama orang tua lagi?” tanya paman Tomi lagi.
Tera menceritakan seluruh kronologi ceritanya hingga ia dan Genta bisa sampai di sini, mulai dari kehadiran Genta yang tiba-tiba berdiri di depan pagar rumahnya, sampai semua keluh kesah mereka terhadap tuntutan kedua orang tua mereka di sana. Paman Tomi, mendengarkan cerita kedua pemuda itu dengan sangat antusias.
“Nah, jadi begitu ceritanya, Pak,” simpul Genta mengakhiri cerita yang dimulai oleh Tera.
“Paman,” sanggah Tera pelan, karena Genta yang sedari tadi terus-terusan memanggil pamannya dengan sebutan seperti orang asing.
“Jadi, karena cita-cita kalian tidak didukung oleh orang tua kalian, makanya kalian melarikan diri ke sini.”
Melihat kelakuan mereka paman Tomi hanya bisa terkekeh sambil sesekali menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, mulai besok kalian tinggal saja di sini dulu, sekalian temani paman sendirian,” pintanya.
“Eh? Di rumah sebesar ini paman cuma sendiri?” tanya Tera terkejut, pasalnya memang sedari tadi sejak mereka mulai berbincang tidak ada satu anggota keluarga pun selain paman Tomi yang meyambut kedatangan mereka berdua.
Paman Tomi mengangguk, “Iya, dulu Paman memiliki istri dan dua anak perempuan, karena terlalu sibuk dengan dunia sendiri, mereka marah memutuskan untuk pergi dari rumah meninggalkan paman seorang diri. Setelah dua hari tidak pulang, paman menjemput mereka yang ternyata tinggal di rumah mertua yang tidak jauh dari sini. Baru saja paman akan berangkat untuk menjemput mereka, seseorang menelpon paman mengabari bahwa mereka bertiga mengalami kecelakaan.”
“Bagaimana paman bisa tahu kalau mereka ada di sana?” tanya Genta.
“Sehari sebelumnya, paman memang sudah menelpon istri paman, kami sudah saling berbicara dan memaafkan satu sama lain,” jelasnya.
Genta dan Tera hanya dapat mengangguk dan turut berduka atas kejadian yang menimpa paman Tomi. Setelah saling bertukar cerita, tak terasa jam di sudut ruang tamu yang bernuansa putih seperti rumah sakit itu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Paman Tomi pun mengantar mereka berdua ke kamar tamu yang cukup luas untuk diisi dua orang sekaligus.
Mereka memindahkan semua barang-barang yang mereka bawa di mobil ke ruangan yang masih bernuansa rumah sakit yang dibantu juga oleh Paman Tomi. Setelah semua barang masuk paman Tomi berpamitan dan berjalan menuju pintu keluar kamar.
“Paman,” panggil Genta menghentikan langkahnya.
“Kenapa, Gen?” tanyanya sambil membalik tubuhnya yang sudah membelakangi mereka berdua.
“Apakah kami boleh menggembangkan hobi yang kami punya di sini? Seperti melukis atau menggambar?” tanya Genta lagi
Paman Tomi menghampiri Genta dan duduk di kasur yang ditempatinya, “Kenapa tidak?” ujarnya mengembalikan pertanyaan Genta. Tera hanya diam dan melihat mereka dari seberang ranjangnya.
“Jika memang itu yang kalian suka, kejarlah! Dulu paman datang ke sini juga karena impian yang tidak sejalan dengan latar belakang orang tua. Ya kan, Tera,”
Tera dengan spontan mengangguk, pasalnya keluarga besar Buana memang berprofesi sebagai pegawai negara sejak dulu. Hal itulah yang membuat dirinya tidak ingin meneruskan jejak kedua orang tua yang tidak sesuai dengan passion-nya yang lebih condong ke seni.
“Ah iya, terkait mimpi kalian. Dari yang paman dengan sore tadi, sepertinya paman tahu apa kelemahan kalian,” ujarnya.
“Apa itu, Paman?” tanya mereka begitu antusias dengan kompak.
“Kepercayaan diri.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments