Chapter 3: Dia

Genta berniat untuk memasukkan barang-barang yang sudah ia beli tadi ke dalam bagasi. Tetapi setelah membuka pintu bagasinya ternyata di sana sudah penuh penuh dengan tumpukan pakaian yang belum sempat dikeluarkan setelah pergi berlibur bersama teman-teman kampusnya beberapa pekan yang lalu. Akhirnya ia terpaksa meletakkan barang belanjaannya di tengah.

'Bruuk'

Tiba-tiba saja benda putih berbentuk persegi panjang terjatuh dari totebag berisi peralatan lukis yang baru saja ia letakan di kursi tengah. "Loh, perasaan aku gak beli ini," gumamnya terheran-heran diikuti gerakan tangannya yang spontan menggaruk-garuk kulit kepala yang tidak gatal. Genta mengambil benda itu dengan segera dan mengusapnya agar debu yang menempel dari tanah bisa langsung tersingkir.

"Sepertinya aku tahu harus ke mana setelah ini," ujarnya dalam hati yang menuntun benaknya pada suatu tempat yang menjadi satu-satunya tempat ternyaman untuk mencurahkan apa yang saat ini melandanya.

Jemari tangannya kembali mencengkram erat  lingkaran pengubah arah di hadapannya, diikuti dengan kaki kanannya yang diletakan pada pedal gas kendaraan roda empat pribadi yang sedang ia kemudikan itu. Mobil Genta kembali melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Bedanya, saat ini ia sudah tahu kemana arah yang akan menjadi tempatnya melandas.

"Gen," sapa seorang pemuda yang berdiri di hadapan Genta dengan nada bicara yang terdengar sedikit menerka. Pemuda yang baru saja akan membuka gerbang untuk masuk ke rumahnya itu mengangkat sebelah alisnya mewakili ekspresi wajahnya yang kini dikelilingi penuh oleh tanda tanya. Yang disapa hanya melemparkan senyum khasnya yang membentuk bulan sabit, membuat dimple pada sisi pipi kanan dan kirinya terlihat lebih tampak sambil memainkan alisnya naik-turun untuk menggoda. Kemudian, bagai adanya kehadiran magnet dengan sumbu yang berlawanan, kedua kaki Genta mengajaknya untuk mendekat pada objek yang sudah tepat berada di depan netranya itu.

"Surpriseee!" Genta merentangkan kedua tangannya berniat mengejutkan pemuda di hadapannya. Seorang  pemuda yang dianggap spesial olehnya karena merupakan satu-satunya pendengar terbaik yang ia punya sejak masih duduk di bangku SMA bernama Tera.

Tera melemparkan tinjuan kecil pada perut teman lamanya itu. Reaksinya persis seperti apa yang sebelumnya Genta bayangkan. "Apaan, sih, lo?!" gertaknya.

"Udah masuk aja, gua tau, kok lo pasti lagi ada masalah, kan?" sambung Tera dengan cepat sambil merangkul pundak Genta yang masih sibuk mengusap perut yang menjadi sasaran Tera meski tidak ada rasa sakit yang tertinggal. Dengan hanya melihat sorot netra berwarna hitam legam milik temannya yang berbeda dari biasanya itu, Tera seolah tahu bahwa saat ini Genta pasti sedang tidak merasa baik-baik saja.

Setelah dipersilakan masuk, Tera mengajak Genta untuk segera menuju ruangan yang sudah tidak asing lagi bagi Genta. Dibukakannya dengan lebar pintu kayu berwarna hitam yang menambah kesan elegan nan serasi dengan nuansa kamarnya. Genta memasuki ruangan seluas 4x4 meter yang sudah ia anggap sebagai basecamp tanpa canggung, lalu meletakkan daksa yang mendadak lesu di atas kasur empuk milik temannya. 

Tera sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya setelah menyaksikan apa yang dilakukan sahabatnya itu. Dirinya yang masih bersandar di daun pintu jadi turut merasakan hatinya tergores walau belum sempat diceritakan apa yang sebenarnya terjadi oleh temannya itu.

"Jadi, kenapa lo?" tanya Tera memulai pembicaraan di antara mereka. Genta membuang napasnya dengan kasar, tubuhnya terlentang dan tatapannya fokus pada langit-langit kamar bernuansa hitam putih itu. Setelah mengatur emosinya, Genta mulai angkat suara, menjawab pertanyaan Tara dengan nada yang sangat tenang.

"Emang salah ya, Ter, kalau kita nentuin sendiri jalan yang mau kita lalui?" 

"Apa yang susah dari hanya memberi dukungan, apalagi gue kan anak semata wayang?" 

Bukannya memberi jawaban yang ditanya malah balik memberikan pertanyaan. Membuat yang mendengar hanya dapat terdiam seribu bahasa, kepalanya jadi dipenuhi tanda tanya sebab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang kini berbaring di ranjangnya. 

"Hmm, kalau itu gue juga gak tau sih Gen," diikuti dengan gerakan bahunya yang sedikit terangkat membuat Genta menghela napas pasrah.  "gue kira lo udah gak berharap untuk itu," sambung Tera.

Tera membuka laci tersembunyi yang berada di bawah ranjangnya dan mengeluarkan semua barang yang ada di sana. Ratusan kertas putih yang tergores dengan tinta-tinta berwarna hitam kini memenuhi lantai di kamarnya. Sketsa di kertas itu di bentuk  berurutan dengan bingkai yang beragam guna menjelaskan cerita yang akan  disampaikan oleh penciptanya. 

"Lo udah namatin ini?" tanya Genta terkejut hingga tubuhnya yang lesu menjadi sangat energik seperti baru tersetrum listrik dengan tegangan tinggi. Yang ditanya hanya mengangkat sebelah alisnya dan  mengangguk pelan.

Di SMA dulu, Tera dan Genta memang tergabung dalam sebuah klub seni yang berlangsung tiga jam sepulang sekolah. Klub seni yang ada di sekolahnya itu termasuk yang paling lengkap diantara sekolah-sekolah lain di distrik Barren. Di dalam klub itu terbagi lagi menjadi empat kelas, diantaranya:  kelas seni rupa, seni musik, seni tari dan seni drama. Mereka berdua bertemu di kelas seni rupa.

Saat itu klub seni di sekolah mereka merupakan klub yang paling sepi peminatnya di antara klub lain yang ada, bahkan kelas seni rupa hanya terdapat tiga orang termasuk Genta dan Tera. Jadi, meskipun kelas formal mereka berbeda tetapi mereka bisa tetap akrab sampai hari kelulusan tiba. Selain itu mereka juga lebih banyak menghabiskan waktu untuk klub dibanding sekolah formalnya. Terlebih Tera yang hampir tidak pernah absen untuk pergi ke kelas seni.

"Berapa lama lo namatin ini?" tanya Genta lagi yang masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ratusan kertas yang berada di hadapannya kini sudah menjadi rangkaian komik yang sudah tamat.

"Bulan lalu, gue baru namatin cerita sekaligus sketsa  yang waktu itu gue karang pas masih aktif di klub," balas Tera santai. 

Ekspresi wajah Genta tidak dapat membohongi perasaannya, mendengar jawaban Tera membuat dirinya bangga. Jika dibandingkan dirinya tidak sebanding dengan kekonsistenan sahabatnya itu.

"Hebaat," puji Genta.

Tera menepuk pundak Genta pelan sambil menundukan kepalanya yang berat. "Tapi, semua itu sia-sia, Gen."

Kemudian ia  mengembalikan semua kertas-kertas itu ke tempat semula dan menarik kursi di dekat meja belajarnya untuk duduk. "Nasib kita sama, Gen," lirih nya. "bukan cuma lo sendiri yang gak dikasih dukungan  dari keluarga, gue pun juga sama. Mereka masih aja keras nuntut gue untuk jadi pegawai negara Gen," sambungnya.

"Andai aja, kita gak lahir dan tinggal di distrik kutukan ini, Ter, mungkin impian kita bisa aja dengan mudah terwujud," sesal Genta. 

"Sebentar deh," cetus Tera. Jemarinya kini sibuk mengobrak-abrik rak buku di hadapannya dan mengambil secarik foto yang tersimpan rapi di sela salah satu buku favoritnya. Tera menunjukkan foto lama yang menyimpan banyak cerita tentang keluarganya itu. Foto usang yang menampilkan anggota keluarga besarnya membuat ia menemukan secercah harapan baru.

"Gue inget Gen, gue punya om yang tinggal di distrik lain," ucap Tera dengan semangat yang menggebu.

"Serius lo?" timpal Genta yang tak kalah heboh. Keduanya saling menatap satu sama lain dengan sorot mata yang begitu gembira.

"Kenapa kita gak coba buat healing ke sana?"

"Ide bagus, Ter."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!